Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Aksi Anarkhis: Terang Benderang dalam Skenario Gelap

10 Februari 2011   05:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:44 221 0
Diawal bulan Februari 2011 ini, bangsa Indonesia disuguhi dengan 2 (dua) aksi kekerasan oleh sesama warga bangsa. Angka 2 (dua) bisa merupakan sebuah kebetulan, anarkhisme terjadi dalam 2 kali aksi di bulan kedua 2011. Jumlah ini dalam konteks kekerapan belum dapat menjadi kekuatiran, tetapi tindakan yang merendahkan harkat martabat kemanusiaan tidak perlu menunggu terjadi dalam jumlah yang masif. Tindakan yang merendahkan kemanusiaan yang terjadi pada 2 (dua) aksi kekerasan tersebut dapat dilakukan pemaknaan sebagai berikut; pertama, bagian dari skenario besar untuk menjatuhkan wibawa SBY atau bagian dari skenario pembela SBY untuk mengalihkan isu-isu yang mengerubuti pemerintahan SBY akhir-akhir ini. 

Munculnya pemaknaan pertama yang bersifat dualisme karena watak gelap dari skenario yang dibangun oleh pihak-pihak tertentu. Kekuatan politik dari dua kubu yang berbeda bisa menggunakan skenario yang sama dengan tujuan (baca: kepentingan) yang berbeda. Aksi kekerasan yang dipilih memang menjadi sarana 'ampuh' untuk bisa mencapai tujuan yang dikehendaki. Keampuhan sarana tersebut memang sudah pernah diujicobakan baik dalam skala 'regional' maupun 'lokal'. Dalam konteks lokal, sarana tersebut hampir tidak pernah tuntas penyelesaiannya dan cenderung menjadi 'api dalam sekam'. Konflik yang berasal dari sentimen keagamaan (penulis enggan menggunakan istilah konflik agama) merupakan konflik yang mudah disulut.

Kemudahan menyulut konflik berbasis sentimen keagamaan didukung pula adanya lembaga atau ormas yang sering tampil ke publik untuk membela kepentingan agama. Ormas/lembaga seperti ini mudah 'dibujuk' atau diarahkan untuk menjadi 'pencipta' konflik di tengah masyarakat. Dugaan adanya pertemuan kepentingan antara kelompok politik dan ormas tersebut membutuhkan kepekaan dari aparat negara. Kepekaan tersebut tidak dimaksudkan agar aparat negara bisa menenggari inter-relasi antara kelompok politik tertentu dengan ormas tertentu. Melainkan peka terhadap aktualisasi pertemuan kepentingan dengan memanfaatkan isu-isu sensitif yang terjadi dimasyarakat.

Masalah antar keyakinan (inter-faith) di Indonesia belum bisa dituntaskan oleh negara. Selain masalah keyakinan merupakan masalah personal paling dalam, tidak sekedar subyektif tetapi super-subyektif bagi pemeluk keyakinan tersebut. Watak super-subyektif inilah yang menjadi energi konflik yang luar biasa, ketika keyakinan yang dipegang diganggu, diciderai atau ditandingkan oleh pihak lain. Kebelum-tuntasan dalam penyelesaian konflik berbasis sentimen keagamaan, akan terus mendorong kelompok-kelompok politik menggunakannya demi memperjuangkan kepentingannya. Dan sepertinya, konflik dengan basis seperti menjadi 'senjata' ampuh untuk memperjuangkan kepentingan politik mereka yang menggunakannya.

Sindrom Mayoritas & Lalainya Negara

Kedua, sindrom mayoritas (majority syndrom) adalah perasaan bahwa diri atau kelompoknya berjumlah banyak, sehingga menganggap diri/kelompoknya mempunyai kekuatan lebih utk berperilaku semena-mena dan melakukan penindasan terhadap pihak non mayoritas. Sindrom ini melampaui batas agama, suku, ekonomi, waktu dan tempat. Mayoritas mempunyai potensi untuk (selalu) menyalahgunakan kekuatan jumlah yang digunakan untuk mewujudkan atau memaksakan kepentingannya. Dan penyalahgunaan kekuatan jumlah terjadi dimana saja (tidak hanya di Indonesia), mayoritas ingin selalu menang sendiri dan akan menggunakan kekuatannya agar pihak non-mayoritas mengikuti kemauannya.

Refleksi atas sindrom mayoritas dalam kontek 2 (dua) aksi kekerasan yang terjadi adalah dengan mengajukan pertanyaan, apabila yang mayoritas di negeri ini adalah Ahmadiyah, apakah Ahmadiyah juga tidak akan 'menindas 'Islam. Pun demikian apabila Kristen yang mayoritas, apakah agama minoritas akan berani membakar tempat ibadah orang kristen (yang mayoritas).

Ketiga, terjadinya kelalaian negara untuk melindungi warga negara. UUD 1945 sebagai konstitusi bagi warga negara Indonesia (dan masih berlaku) menyatakan dalam alinea keempatnya bahwa Indonesia ada salah satu tujuannya adalah 'melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia'. Fakta bahwa ada aksi atau tindakan yang merendahkan harkat martabat kemanusiaan manusia Indonesia, disebabkan oleh kelalaian negara. Lalainya negara memberikan perlindungan perlu menjadi keprihatinan. Apabila negara sudah tidak mampu melindungi warga negaranya, maka keberadaan negara Indonesia juga patut dipertanyakan. Apakah masih relevan Indonesia dipertahankan?

Kelalaian negara dapat dipilah menjadi 2 (dua) yaitu [1] kelalaian pemerintah dalam hal ini pejabat yang terkait dengan masalah keagamaan dan inter-faithnya; dan [2] kelalaian POLRI (yang sebenarnya juga bagian dari pemerintah) dalam mengantisipasi terjadinya aksi anarkhisme di masyarakat. Kelalaian negara menunjukkan daya tumpul indera kepekaan negara dalam melihat dinamika masyarakat. Daya tumpul indera kepekaan ini mungkin karena salah satu faktornya adalah watak korup yang sudah menjadi habitus para pejabat dan anggota pemerintahan. Korupsi menghambat atau (sudah) merusak 'syaraf' kepekaan, sehingga terlambat mengirim 'peringatan dini' ketika terjadi akselerasi dinamika masyarakat terkait isu-isu yang berkembang di masyarakat.

Korupsi juga sudah menina-bobokan pejabat dan anggota pemerintahan terhadap hakekat keberadaannya untuk melayani masyarakat. Dan ketika ternina-bobo oleh korupsi, melupakan tujuan diadakannya Indonesia yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia. Dititik inilah, skenario gelap dengan memanfaatkan konflik berbasis sentimen keagamaan mudah diwujudnyatakan. Korupsi akan memudahkan kelompok-kelompok politik dengan kepentingan yang beragam menumpulkan daya peka untuk mencegah terjadinya tindakan yang meniadakan perlindungan warga negara Indonesia.

Kelalaian negara dapat meniadakan Indonesia. Ancaman terhadap kebhinekaan akan menghancurkan bangunan Indonesia. Untuk itu perlu membangun kesadaran berIndonesia yang tiada pernah lelah, kesadaran bahwa Indonesia tidak berada dalam ketunggalan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun