Dalam kondisi yang demikian, menuntut orang yang masih mendamba hukum perlu lebih banyak belajar bagaimana hukum bisa ditegakkan dan menimbulkan efek jera. Para pembelajar tidak hanya bersimpuh dibawah undang-undang, tetapi juga memberikan 'nafas kehidupan' bagi hukum dengan mempertajam analisis dan penafsiran atas hukum. Para pembelajar ini juga terkadang menjadi pembelot atau bi'dah hukum. Mereka belajar, mendalami hukum namun kemudian tidak mengabdi kepada hukum dan keadilan. Mereka menelanjangi hukum, tampak bugil dengan segala kekurangan hukum yang diungkap secara kasat mata.
Di negeri ini, hukum menjadi telanjang. Telanjang dengan segala kesalahan dan kekurangan yang diungkap dengan menggunakan dalil-dalil dan teori hukum. Sehingga hukum menampakkan dirinya menjadi tidak sempurna. Hukum tidak dibalut dengan keadilan, tidak didandani dengan moral dan ahlak bagi para pengembannya. Bahkan ketika hukum menjadi telanjang, libido pengemban hukum meningkat dan tidak berkuasa atas syahwat ego untuk memperkosa hukum.
Untuk itu pembelajar hukum tidak boleh pasrah terhadap proses hukum yang tunduk pada kepentingan politik, tetapi hrs berani mempengaruhi proses tersebut. Bahkan merebutnya dari genggaman para penegak hukum korup, agar hukum menjadi hukum yang berkeadilan dan berperikemanusiaan. Ketika para pembelajar hukum diam, maka hukum akan menjadi boneka para antek2 mafia hukum. Ya, para pembelajar hukum bersembunyi dibalik teori dan dalil yang dibangun untuk memperkokoh tembok pertahanan intelektual. Atau mereka lebih asyik memainkan peran ganda sebagai, sebagai intelektual dan legal enterpreneur. Menggadaikan hukum untuk kepentingan ego.
Hukum adalah kita, mengapa kita menyerahkan hukum kepada pengemban hukum yang gagal menampilkan hukum yang adil dan humanis? Hukum adalah bukan mereka. mari kita rebut hukum dan menjadikan kita menjadi pemilik tunggal hukum. Ketika kita merebutnya dari para pengemban hukum korup, hukum harus dikembalikan pada jati dirinya. Adil, spt pisau dg 2 sisi yang sama tajam. Masyarakat kehilangan kontrol atas cara berhukum, baik dalam proses pembentukan, penegakan hukum maupun evaluasi terhadap keberlakuan hukum. Demokrasi yang seharusnya mampu mendekatkan rakyat dalam menentukan hukum bagi dirinya, mengalami kesenjangan karena distorsi perwakilan.
Proses pembentukan hukum hanya sekedar menjadi pertarungan kepentingan pemegang kekuasaan politik yaitu (elit) partai politik. Rakyat ditempatkan disudut ruangan demokrasi, dan dipaksa untuk mengamini setiap keputusan politik. Rakyat terpinggirkan, mengalami keterasingan. Sehingga ketika hukum diterapkan, rakyat mengalami ketergagapan, kebingungan. Saat rakyat bingung, penegak hukum dengan lantang menyuarakan, 'atas nama undang-undang, rakyat harus tunduk dan patuh terhadap hukum'. Inilah anomali hukum.
Rakyat dipaksa menjadi hamba hukum. Mengabdi tanpa syarat kepada hukum. Disisi lain, rakyat tidak mempunyai kesempatan untuk memilih atau menentukan hukum yang baik dan adil bagi dirinya. Ya, demokrasi mendistorsi hukum. Rakyat harus mengembalikan hukum untuk dirinya. Dengan menjadi berdaya dalam berdemokrasi. Keberdayaan rakyat akan menyisihkan politisi yang hanya haus kekuasaan dan kemudian menjadikan hukum menjadi budaknya.