Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Petani Organik di Desa "Jambu" Mete

5 September 2014   23:57 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:30 152 2
Lelaki berseragam dinas itu baru saja tiba, ia langsung memakirkan sepeda motornya dibawah kolong sebuah rumah panggung. Kelihatannya ia sangat terburu-buru. Dan saat menaiki tangga rumah, saya langsung disapa olehnya. Ternyata ia adalah seorang perangkat desa. Bapak yang masih mengenakan pakaian dinas itu adalah lelaki yang saya cari. Bapak itu adalah Adulah (49), ia seorang pegawai negeri sipil (PNS) di Kabupaten Buton. Selain staf di kecamatan tempat ia tinggal, Adulah juga bertanggung jawab sebagai Sekretaris Desa (Sekdes) di Desa Banga Kecamatan Mawasangka Kabupaten Buton. Ilustrasi Jambu Mete Pak Adula di Kebun Mete Organik Cukup lama ia mengabdikan dirinya sebagai staf magang hingga akhirnya ia terangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) di tahun 2007 silam. Kebahagiaan sangat dirasakan oleh bapak dengan lima orang anak ini. Ia sudah banyak mensyukuri meskipun beberapa masalah sempat melandanya saat diangkatnya menjadi pegawai. Namun itu dianggapnya adalah cobaan. Dan setiap masalah ada hikmah yang selalu menyertai orang-orang yang mengalami kesusahan. Dalam diskusi saya dengan pak Adula, beliau banyak bercerita tentang potensi dan mimpi-mimpi desa kedepan. Pak Adula sangat berharap desanya menjadi desa terdepan dari sekian banyak desa di Kabupaten Buton, ia menginginkan masyarakat desa Banga bisa sejahtera dengan memanfaatkan potensi Sumber Daya Alam yang ada. Tentu semua tidak keluar dari visi dan misi desa “Terwujudnya desa Banga sebagai desa yang Jaya, Aman, Makmur, Berilmu, dan Usaha (JAMBU)”. Desa Banga adalah salah satu desa dari 17 desa yang ada di Kecamatan Mawasangka Kabupaten Buton. Sejak tahun 1972 desa ini terbentuk seiring berjalannya pemerintahan orde baru. Dominan penduduk yang mendiami desa tersebut adalah masyarakat berkebun. Mereka membuka lahan dengan menanam berbagai jenis tanaman. Salah satu potensi yang banyak dimanfaatkan untuk menambah penghasilan mereka adalah Jambu Mete. Pak Adul sendiri sejak duduk dibangku kelas 5 sekolah dasar sudah memanfaatkan jambu mete untuk membantu mata pencaharian keluarga. Sepulangnya sekolah, Pak Adul selalu menyempatkan waktunya untuk mencari buah jambu mete yang berjatuhan, dikumpulnya satu per satu buah yang jatuh lalu disimpan dalam sebuah wadah. Setelah cukup, ia lalu bergegas pulang untuk dikumpul dalam sebuah karung dan selanjutnya akan dijual. Biasanya ia menjualnya kepada seorang pengumpul dengan harga per kilogram. Begitulah setiap harinya Pak Adul memanfaatkan musim jambu mete untuk membantu ekonomi keluarga. Keluarga bapak Adula sangat ramah, maklumlah warga desa yang masih memegang erat adat istiadat, jauh dari budaya kota yang acuh tak acuh. Karena keramahan keluarga itu, memikat banyak tamu berkunjung dirumah sederhana mereka, baik warga lokal maupun warga asing. Saya yang baru beberapa jam berada dirumahnya, langsung diajaknya untuk makan siang bersama. Melihat tak ada ikan, Pak Adul lalu mengajak saya untuk kesebuah tempat dibelakang rumahnya, pak Adul memiliki sebuah tambak ikan. Ternyata selain berkebun, Pak Adul juga memanfaatkan lahan untuk memelihara ikan. Namun sayangnya saat musim kemarau tiba ia mendapat banyak masalah dengan tambaknya, salah satu faktornya adalah kekurangan stok air. Tambaknya menjadi kering sebab air laut yang selama ini dimanfaatkan tak mampu mengairi tempatnya. Jarak antara laut dan tambak ikan miliknya memanglah cukup jauh sehingga air laut sulit untuk mengairi tempat pak Adul memelihara ikan, begitupun sebaliknya jika saat panen tiba mereka kesulitan untuk mengeringkan air di dalam tambak. Masalahnya adalah mereka tidak mempunyai mesin penyedot, sama permasalannya dengan tambak-tambak lain disekitarnya. Terpakasa, mereka melakukannya dengan alat seadanya dengan menguras banyak tenaga. Padahal setiap tahun, mereka banyak menghasilkan banyak ikan yang bisa bernilai ekonomi untuk masyarakat desa. Jaring ikan mulai di pasangnya, pak Adula membuat semacam pagar didalam tambak miliknya. Meski panas menyengat, ia terus melepas setiap helai-helai jaringnya. Dan hasilnya cukup banyak, jaring pak Adula berhasil menjerat banyak ikan. Ia lalu melepaskan satu per satu ikan dari jaring lalu dimasukan dalam sebuah keranjang. Hasil tangkapan hari ini cukuplah banyak dan kami lalu bergegas pulang kerumah. Perutku sudah tak sabar menyantap habis ikan-ikan bandeng ini. Maklumlah, jarak untuk ke desa ini memang jauh dan perjalananku cukup banyak menguras energi. Saat ikannya matang, saya menyantapnya sampai kesela-sela tulang kepala ikan, lezat. Pak Adula di Tambak Ikan Miliknya Usai jam makan siang, perbincangan saya lanjutkan kembali. Siang tadi belum tuntas perbincangan ku bersamanya soal pedesaan, maka saya pun kembali berbincang-bincang bersama Pak Adul dan juga bersama istrinya. Istri Pak Adula adalah seorang seniman, beliau penyanyi lagu daerah khas Buton. Jenis musik tradisional yang ia nyanyikan dengan bahasa daerah, biasa kami menyebutnya “Kabanti”. Di setiap acara-acara adat kampung, wanita itu selalu bernyanti dengan ditemani seorang pemain gitar yang biasa kami sebut pemain “Gambus”. Namun, akhir-akhir ini wanita itu mulai tak bernyanyi lagi. Biasanya ia banyak mengisi acara pernikahan dari kampung ke kampung atau acara-acara adat lain. Entah, di zaman kekinian masyarakat mulai berganti jenis musik dengan menyewa para penyayi dangdut yang serba seksi dengan menggunakan mesin elekton atau alat band musik modern. Padahal, kalau musik “Kabanti” terus dilestarikan ini adalah salah satu aset kekayaan daerah yang perlu dilestarikan sebab dalam setiap lagu tersimpan makna dari petuah para leluhur kita. Pak Adula di Kebun Jambu Mete (Foto: ICS) Ilustrasi Kacang Mete Organik Melihat potensi Jambu Mete di desa itu, Pak Adula tergabung dalam sebuah kelompok petani jambu mete Internal Control System (ICS) dengan beranggotakan 42 orang. Jambu Mete sangat berkembang didesa itu, beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) secara sukarela turut berpartisipasi mendampingi para petani dengan harapan para pemilik lahan jambu mete itu bisa mengelola kebun mereka dengan baik. Kepada masyarakat, LSM secara masif melakukan penyuluhan jika pentingnya pengelolaan Jambu Mete bisa dikelola secara organik dan tidak menggunakan bahan obat-obatan atau pupuk yang berbahan kimia. Tentu jika dibandingkan dengan petani lain yang sering memakai bahan kimia, petani Mete Organik memiliki keunggulan tersendiri. Mete Organik jauh lebih bagus kualitasnya dibanding dengan Mete Non Organik, tentu harga jualnya pun berbeda. Didalam kelompok tani, Pak Adula menjabat sebagai ketua kelompok. Ia aktif mengkampanyekan gerakan pertanian organik melalui penyadaran masyarakat tentang produk-produk sehat, ramah lingkungan, dan layak konsumsi. Maka di Tahun 2007 lalu, Pak Adula mendapat kesempatan untuk mengikuti pelatihan petani organik yang diadakan oleh Aliansi Organis Indonesia. Ia sangat senang dan bangga, sebab ia menjadi satu-satunya orang timur yang menjadi peserta pelatihan di Bogor saat itu. Pak Adula dianggap pantas karena ia telah berhasil dan konsisten menjadikan Mete didesanya menjadi Mete Organik. Itu dibuktikan setelah tim inspeksi dari BIOCert mengeluarkan lisensi atas lahan seluas 46,5 ha yang berlokasi di Desa Banga Kecamatan Mawasangka Kabupaten Buton, produk yang disertifikat adalah Kacang Mete. Sertifikat Produk Organik (Organic Product Certificate) dari sebuah lembaga sertifikasi organik, produk ramah lingkungan dan ramah sosial “BIOCert” yang didirikan oleh Aliansi Organis Indonesia sebuah organisasi masyarakat sipil yang mendorong terintegrasinya prinsip dan praktek pertanian organik dan fair trade di Indonesia. Dalam menjalankan kegiatannya, BIOCert didukung oleh personil yang kompoten di pertanian organik, produksi pertanian ramah lingkungan, ramah sosial, inspeksi, dan sertifikasi.
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun