Mungkin anda tidak percaya jika benteng bisa di bungkus dengan hanya menggunakan kain sarung. Bagaimana bisa, benteng yang begitu panjang dan besar bisa di tutupi dengan kain tenun. Padahal, proses pembuatannya secara manual dengan tenaga masyarakat lokal. Bahan untuk membuatnya pun pasti banyak. Tetapi itu pernah terjadi di pulau Buton Kota Baubau Sulawesi Tenggara pada acara karnaval Budaya Buton yang digelar di kawasan benteng Keraton Buton. Sumber: Penyarungan Benteng Keraton Buton (ray_march_syahadat.blogspot) Sumber: Penyarungan Benteng Keraton Buton (ray_march_syahadat.blogspot) Benteng Keraton Buton adalah bekas peninggalan Kesultanan Wolio, panjangnya 3 km dengan tinggi rata-rata 4 meter dan lebar (tebal) 2 meter. Bangunannya terdiri atas susunan batu gunung bercampur kapur dengan bahan perekat dari agar-agar, sejenis rumput laut. Luas seluruh kompleks keraton yang dikitari benteng meliputi 401.911 meter persegi. Area yang demikian luas itu mengalahkan benteng terluas di dunia sebelumnya yang berada di Denmark. Makanya, pada tahun 2006 Benteng Keraton Buton masuk Guiness Of Record dan penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI). Penyarungan benteng yang menggunakan kain tenun khas buton di buat secara manual oleh tangan-tangan kreatif para penenun. Konon pengerjaan kain tenun itu memperkerjakan 6000 orang, namun di sebuah desa di Kabupaten Buton hanya dengan melibatkan 120 orang, mereka mampu membuat 4000 sarung dalam kurun waktu satu setengah bulan. Sarung itu telah membungkus benteng keraton wolio yang ada di Kota Baubau. Penyarungan benteng Keraton Buton sepanjang 2.740 meter dan lebar 180. Keberhasilan itu tidak lain adalah hasil karya dari para penenun, mereka adalah wanita-wanita hebat yang dengan penuh kesabaran bisa membuatnya dengan tempo yang tidak terlalu lama, mereka juga membuatnya dengan sangat rapi dengan mempertahankan ciri khas sarung buton. Hasil dari tangan-tangan terampil penenun Desa Lalibo, Benteng Keraton Buton kembali mendapatkan penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) karena telah berhasil membungkus benteng keraton dengan kain tenun untuk pertama kalinya di dunia. Tentu tidak cukup dengan sebuah penghargaan saja yang dirasakan oleh mereka, tanpa adanya perhatian pemerintah kepada para penenun yang selama ini sudah memberi kontribusi nyata dan sekaligus mempromosikan daerah lewat tangan-tangan terampil mereka. Para penenun ini juga dengan bangga mempromosikan hasil karyanya dengan mempertahankan khas kain tenunan agar nilai-nilai budaya Buton tetap melekat pada setiap karya yang mereka buat. Sumber: Ibu WA LAGI sedang menenun Sumber: Fotokita.Net Sebagai warga Buton, saya lebih suka mengenakan sarung Buton saat ke masjid atau saat hari lebaran. Rasa penasaran untuk melihat langsung proses pembuatannya. Di atas sebuah rumah panggung, ibu itu tengah sibuk dengan beberapa peralatannya. Saat ku dekati dan melihatnya, ia sedang menggulung beberapa benang yang digunakan untuk membuat kain. Ibu itu adalah Wa Lagi (49) warga desa Lalibo Kecamatan Mawasangka Kabupaten Buton. Sejak dirinya berusia 17 tahun, ibu Wa Lagi sudah melakukan pekerjaan menenun sarung, ada ribuan sarung tenun yang sudah di buatnya semenjak pertama kali menenun hingga saat ini. Pantas saja wanita itu dengan lincah mengurai helai-helai benang itu lalu di olahnya dengan cepat menggunakan alat yang sederhana, masyarakat setempat kerap menyebutnya “Yohua” atau alat pembuat sarung tenun berbahan kayu. Kerjanya manual namun tak begitu sulit, butuh beberapa lama untuk membuat sebuah sarung. Biasanya ibu Wa Lagi hanya butuh waktu empat hari untuk menyelesaikan satu buah sarung tenun. Sarung-sarung yang sudah jadi, ia langsung pasarkan atau biasanya ada yang memesan khusus. Selembar sarung tenun ia hargai dengan 155 sampai 120 ribu rupiah. Kualitas dan ketebalan kain yang dibuat berbeda dengan kain yang beredar di kebanyakan tempat. Corak warna dan benang yang mereka gunakan dipilih sesuai ciri dan khas. Hampir semua masyarakat di desa ini melakukan pekerjaan menenun sarung. Dari menenun, mereka bisa menghidupi keluarga dan menyekolahkan beberapa anak mereka hingga keperguruan tinggi. Salah satu diantarannya adalah Ibu Wa Lagi, ia telah mampu menyekolahkan anaknya hingga lulus dan mendapat gelar sarjana. Ia sangat bangga karena sedikit demi sedikit penghasilan dari sarung yang ia buat bisa menghidupi keluarganya selama ini. Kesabaran itu ibarat membuat selembar kain tenunan yang mulanya dari sehelai benang namun dengan penuh kesabaran, benang-benang itu di rajut menjadi satu dan akhirnya menjadi selembar kain. Semua butuh proses dan proses panjang dari perjuangan ibu Wa Lagi, kini ia dapat rasakan. Anak yang dulu dirawat dari kecil hingga dewasa, bisa menamatkan pendidikannya sampai pada perguruan tinggi. Kini, ia telah menjadi seorang pejabat penting pada sebuah pemerintahan desa. Anaknya kini menjadi terhormat sebab kini ia menjabat sebagai kepala desa. Desa yang ia pimpin tidak lain adalah desa yang selama ini telah membesarkannya dari tangan penenun. Desa Lalibo memiliki banyak potensi untuk dikembangkan. Selain potensi sumber daya alam yang bisa di kelola dan dimanfaatkan sebagai tempat pariwisata, desa ini juga memiliki potensi sumber daya manusia yang mumpuni diantaranya adalah penenun sarung khas buton yang kini terus berjalan seiring persaingan pasar bebas. Kain-kain olahan pabrik yang bermerk, sangat menggiur para konsumen untuk tidak memakai produk lokal dari industri rumahan warga desa. Padahal dari hasil penjualan sarung-sarung itu, sangat membantu perekonomian mereka di desa. Kita berharap, kreatifitas dari para penenun terus dikembangkan. Perhatian dan bantuan dari pemerintah daerah setempat sangat dibutuhkan agar para penenun bisa mendapatkan bantuan modal usaha nantinya. Baubau, 17 September 2014
KEMBALI KE ARTIKEL