Aku sangat yakin, kecantikan yang dipancarnya bukanlah hasil edit akibat polesan alat kecantikan salon, ini asli mempesona, tidaklah mungkin alat kecantikan mampu membuat lekuk lesung pipit yang menggingsul senyumnya, tidaklah mungkin salon tercanggih mampu memoles adat dan adapnya sebagai wanita santun.
Rasa kagumlah yang mampu mengawali kisah cinta hingga sekarang, bahkan saat tubuh ini roboh dipembaringan akibat kecelakaan kapal ferry menuju Negara Jiran untuk mengusung nama Negeri Gurindam ke ranah nternasional dibidang Sastra Lisan khususnya Pantun terkandas karena kapal yang memberangkatkanku karam tersapu gelombang angin Barat dan taong, membuat kapal terhempas dahsat sebanyak tiga kali dan blub...blub...blub dengan cepat laut menelan kapal beserta muatannya, entah berapa lama aku tak sadarkan diri, namun seingat fikir ini, lima belas dari empat puluh dua orang dinyatakan Tewas, dan Jenazah yang berhasil ditemukan lima hari kemudian hanyalah delapan orang saja, sisanya hilang, itu pernyataan yang ku ingat dari seorang anggota SAR saat aku berada di Rumah Sakit.
“maaf, anda siapanya Tuan Mamad?”. Aku mendengar ucapan dokter yang bertanya kepada Siti, tapi kenapa Dokter tidak bertanya kepadaku saja, aku kan telah sadar dari koma, meskipun katanya aku koma selama dua hari, tapi aku masih mampu menjawab pertanyaan yang sepele itu kok, maunya Dokter bertanya kepadaku, “maaf ncik Mamad, disamping awak ni siape? Atau, Mad awak kenal tak dengan orang disamping awak ni?, atau, apa saja”.
Sejurus dari kecamuk fikirku yang entah datangnya dari mana hingga bisa memikirkan seorang dokter yang sempat terbaca dari sudut mataku tepat di tanda pengenalnya, dr.Rifa’i. Sp.BS, aku mendengar perbincangan Siti dan dokter yang menyatakan aku lumpuh akibat cedera yang kualami mengakibatkan tulang belakangku retak cukup parah hingga sumsum tulang belakangku tidak lagi pada standar ciptaan Tuhan. “ape? Saye lumpuh dok?”. Sergapku seakan telah mengikuti pembicaraan sejak awal. “iya, anda lumpuh akibat keretakan tulang belakang yang membuat sistem syaraf anda terganggu, karena sumsum tulang belakang anda pecah”. Begitu keterangan dokter dengan segudang ilmu yang dipelajarinya untuk mendapatkan gelar Sp.BS (Spesialis Bedah Syaraf). “Bang, abang harus kuat dengan berite ini, Siti akan kabarkan dengan Emak dan Abah”. Ucapan siti begitu tegar digaung telingaku, meskipun kulihat airmatanya sudah tak terbendung, lesung pipitnya yang gingsul hilang seri. “adekah care agar saye bise sediekale dok?”. Tanyaku seakan tidak menghiraukan ucapan Siti yang justru membuatku menjadi lemah, ya..lemah karena tak sanggup melihat airmata seorang gadis yang sebentar lagi kupersunting ini membasahi wajah serinya bukan lemah karena pernyataan dokter ‘TUAN MAMAD LUMPUH’.
“ada, tapi kita harus mencari donor yang cocok”. Jawab dokter. “donor? Apenye yang diDonor ni dokter?”. Pertanyaanku seakan membuat diriku sendiri menjadi pusing karena penjelasan ilmiah dokter yang tidak aku pahami. “iya, diDonor. Sumsum tulang belakangg anda harus diganti, itupun harus dengan pendonor yang cocok, dan proses penyebuhan tidaklah sebentar waktunya”. Aku tertegun, gugup, kecamuk, takut, semua galau menyatu dibenakku. Abah dan Emak telah berada disampingku, mereka menagisiku, bahkan Abah yang selama ini tegar dalam mengarung bahtera pahit manisnya hidu pun tampak berlinang.
***
Dari sudut jendela rumah, kulihat Siti lari tergopoh dengan membawa bungkusan plastik hitam, “assalamualaikum...assalamualaikum...”. “wa’alaikumsalam Siti, silelah masuk”. “eh..abang tau dari mane yang datang ni Siti?”. Wajahnya tampak memancarkan rona dengan sambutan salamku, begitu tulusnya dia menyayangiku bahkan hingga sekarang hanya kursi roda sebagai pelengkap hidupku, tidak nampak sedikitpun kasih sayang Siti kepadaku berkurang, bahkan lebih.“abang taulah yang datang ni Siti, kan sekilas ikan di air sudah tau jantan betinenye”. Jawabku seakan menutup kebimbangan akan kurangnya kasih sayang dari Siti atas kekuranganku.
“alah abang ni, masih aje macam dulu dengan selorohnye”.
“tak lah siti...tadi abang tengok Siti dari jendele ni, hehehe”. “ade hajat besar nampaknye ni, lari tergopoh-gopoh dah macam dikejar polong”.
“ini ha..Siti nak tunjukkan dengan Mak baju nari pesanan sanggar semenanjung yang Siti jahit ni bang”
“e’eh...bile awak belajar jahit dengan Mak?”
“tulah..jangan asek tido aje, siti kemaren belajar dengan emak, sebab semenjak abang di Rumah Sakit, emak sengaje banyak nerime pesanan dari biasenye untuk bantu abah tebus obat abang, dan juge bekalan ilmu untuk kite saat dah kawin nanti bang, makenye siti bantu emak juge sambil belajar, bang”.
Seerr..degup jantung ini memompa darah begitu cepatnya, “kawin”, itu kalimat dengan lima huruf yang menerawang diantara otakku, apakah mungkin Siti masih se-begitu tegarnya menerima keadaanku yang seperti ini.
“oi bang...e’eh kite becakap tak dilayan die”. Sergah siti menyadarkanku dari lamun yang begitu jauh
“eh..anu, iye bagus tu bagus”. Spontan jawabku
“apenye yang bagus bang, belum lagi siti tunjukkan baju ni, Siti tadi tanye, Emak mane?”. Siti seakan tidak menghiraukan perbedaan fisikku beberapa tahun yang lalu.
“ooh..emak tadi pergi sekejap kerumah mokteh minah, katenye nak ambil bahan baju yang dipesan dari seberang, kalau abah, belum balik melaut dari semalam, petang agaknye abah balik, yang awak tecogok dimuke pintu tu ape pasal? masuklah”.
“ee...tak lah bang, kalau ade emak, siti masuk, tapi kalau abang sorang je di rumah ni siti tak nak masuk, ape kate orang nanti bang”.jawabnya.
Sungguh, begitu teguhnya siti menjunjung adat dan budaya ajaran dari almarhum ayah dan ibunya saat masih kecil, meskipun sebagian umurnya dibesarkan oleh pak long, abang dari almarhum ayahnya, tidak menghapus memori ajaran keluarganya, kini siti tidaklah penari lagi, mengingat kebutuhan hidup yang meningkat, sebagian harinya dia habiskan untuk melatih tarian dan menjahit.
***
“mad...bile agaknye engkau nak melamar?, dah setahun mase tunang engkau dengan siti, aku tu bukannye makse, hanye sekedar mengingatkan saje, tak baik juge kalau betunang belame-lame”.
“iye pak long, saye juge berfikir begitu, tapi...”
“tapi ape mad..duet yang jadi fikiran engkau?, janganlah engkau risau mad, nikah tu yang penting niat bukan duet, hahaha uhukuhuk”. Seloroh pak long terbatuk saat menghembuskan asap linting 87 nya membuat hati ini sedikit lega, bahwa beliau tidak marah, meski terkadang raut wajah pak long yang dulunya terkenal sebagai pelaut handal ini cukup membuat gugup lawan bicaranya, ditambah lagi efek alami guratan umur yang menandakan dia tidak semuda dulu, namun bekas goresan ekor pari masih melintang diwajahnya, konon pari yang menyebabkan goresan itu ditangkap dilaut cina selatan, daerah Serasan pulau tujuh terlepas dari pengait ikan saat kapal oleng diterjang ombak.
“ape yang pak long cakap tu memanglah betul, tapi berikanlah waktu sedikit bagi saye untuk mengumpulkann modal pesta kelak dari penjualan buku kariye saye ni ”. jawabku mulai tenang sambil menyodorkan buku dengan Cover merah maron bergambar sampan kayu berwarna coklat tua, dan diatasnya bertuliskan judul “ANTOLOGI PUISI SECIAU HARAP” oleh Mamad Ibni Yusof.
“bagus warne buku ni”. Dibolak baliknya buku itu. “tapi aku tak suke gambarnye, burok sangat, terlalu lemah artinye untuk lelaki seperti awak mad”. Aku tertarik atas komentar pak long, meskipun pengetahuan sastranya sangat sedikit, namun setidaknya pak long telah memberikan masukan kepadaku sebagai seorang penulis pemula, karena aku sangat sadar atas segala kekuranganku hanya menulislah yang bisa aku perbuat, hingga tubuh ini benar-benar pulih terutama pulih M E N T A L.
“ape yang membuat pak long tak suke dengan gambarnye?”. Aku bertanya ingin tahu, berharap akan diberikannya jawaban yang mampu menggugah semangatku yang lemah ini.
“mad...aku ni pelaut, besar dilaut, hidup dilaut, laut mane yang tak aku layar, laut cine, laut thailand, laut malaka, hampir semue laut yang ade di negeri ini dah aku jaring ikannye, seharusnye engkau pasang gambar perahu besar, atau kapal ‘lancang kuning’ misalnye, janganlah pasang gambar sampan macam ni...tak bagos...tak bagos”.
Panjang lebar penjelasannya, yang mampu membuat aku tersenyum simpul dan mampu melupakan dinginnya angin di pelantar ini, mampu melupakan sejenak traumaku atas kejadian lima tahun silam yang membuat hidupku bertumpu pada putaran roda di kursi roda, namun ada benarnya juga perkataan pak long hamid yang sebenarnya bernama Ahmad Najib, itupun aku tahu nama lengkapnya dari Siti, saat membersihkan kamarnya lebaran haji tahun lalu.
“iye, iye...betol juge kate pak long, kenape saye tak ganti dengan perahu ye gambarnye”. “ha..taupon engkau, tapi tak payah lah engkau ganti dulu, nanti lame pulak nungu gantinye, lame laku bukunye, lame jadinye engkau nikah dengan Siti, hhahahaha uhukhukhukhuk”.
***
Tertatih langkahku belajar menapak yang telah sekian tahun lamanya tapak ini tak menapak di bumi, ku kumpulkan sejenak tenagaku dengan setiap tarikan panjang nafasku, “bismillah...”. terus aku lanjudkan dengan lantunan zikir. “ya..sedikit lagi..awas..pelan-pelan, jangan terburu-buru.” Dokter Rifa’i memberiku semangat sekaligus aba-aba agar lebih berhati-hati.
Sungguh sayang, ingin berita bahagia ini aku sampaikan kepada Siti tentang seorang penonor mulia yang mau menghibahkan sumsum tulang belakangnya, malaikat agaknya, sungguh...Siti harus segera mengetahuinya, tapi dimana? Hampir setahun siti meninggalkanku dan berjanji akan segera kembali, masih terngiang perpisahan dengannya dengan janji tidak lama, hanya tiga bulan saja di ranah Jiran, katanya saudara jauhnya yang disana menawarkan pekerjaan untuk menjadi koki di restaurantnya, dangan berat hati aku mengizinkannya, pujuk rayunya tentang rencana tabungan untuk menikahlah yang membuatku luluh, saat itu aku hanya pasrah, bisa apa selain menulis beberapa buku yang tingkat kelarisannya sungguh jauh dari prediksiku, sungguh, zaman ini sangat sulit mencari orang yang minat membaca sastra, terlebih lagi siapalah aku ini yang hanya penulis pemula tanpa label.
***
Tepat setahun semenjak kepergian siti, aku pulih, benar-benar pulih jika dipandang sudut fisik, tetapi masih butuh penyembuhan bathin ini, terlebih tanpa adanya kabar siti dari seberang.
Gontai langkahku terganggu ketika menuju pantai depan rumah, pak long hamid berteriak memanggil namaku, ternyata dari tadi pak long telah menunggu kedatanganku ke pantai, karena pantai adalah rutinitasku pelepas rindu menungu kedatangan siti, terlebih lagi, hari pernikaah kami hanya tinggal beberapa minggu lagi.
“mad...aku terpakse lakukan ini, aku harap engkau jangan marah dengan aku”.
Aku bingung, ada apa ini? Justru akulah yang harus minta maaf karena siti pergi atas restu dariku, andaikan saja...akh sudahlah.
“ade ape pak long? Kenape saye harus marah, tak ade angin tak ade ribut, tak akan laut berkocak”.
“begini...ini tentang siti...bahwe siti...”.
“siti?? Ade ape dengan die? Die dah balek kah? Dimane die?”. Spontan segala pertanyaan aku lontarkan kepada pak long, karena itulah yang aku tunggu selama ini, tapi, kenapa aku harus marah terhadap berita siti? Ada apa ini?.
“sabarlah mad, sebenarnye saat siti hendak pergi, die ade nitipkan ini kepade aku, untuk aku serahkan dengan engkau, tepat tige minggu sebelum acare pernikahaan, begitu amanahnye”. Pak long menyodorkan amplop coklat polos tanpa tulisan, tentu saja aku langsung menyambarnya seperti cergam menyambar anak ayam.
“ape isinye ni pak long?”. Tanyaku singkat
“buka lah, akupun tak tau isinye ape”. Pak long pun menjawab singkat, seakan paham dengan kecamuk rasa yang mendekap fikirku.
“Bang...
Maafkan siti, mungkin inilah bukti terbesar cinte siti ke abang, meskipun siti paham bahwe ini sedikit menyakitkan hati abang, biarlah taak mengape, yang penting abang bise bangkit dan berjalan kembali.
Letak guci diatas peti
Merah juge warne diramu
Cinte suci kubawa mati
Biar disurge kite bertemu
Pokok pedade pokok kerakap
Pokok ceri disamping jati
Cinte suci tiade mengharap
Ienye memberi sepenuh hati
Bang...sesungguhnye kite berdue itu satu, sumsum tulang belakanglah yang jadi penyatu”
Linang airmataku tidak mampu ku tahan, dengan tegap aku beranjak, kukerahkan seluruh tenaga dan suaraku, kulepaskan teriak terakhirku sebelum aku rebah tak sadarkan diri.
SIITIIIIII..............!!!