Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana Artikel Utama

White Rose #4; Perpisahan

16 April 2015   17:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:01 140 3
Dika menjemput Rose dan mengajaknya bermain di lapangan, Dika benar-benar mengembalikan semangat Rose. Dia terus meyakinkan gadis itu bahwa kakinya pasti akan kembali normal dan gadis itu bisa menjadi pemain basket yang hebat seperti impiannya.

Rose duduk untuk melepas lelah di samping Dika, "Mawar, aku sangat senang bisa ketemu kamu di sini!" seru Dika, Rose terdiam. Ia mengerti maksud Dika, bahwa Dika akan segera kembali lagi ke kota. Rose tertunduk, ia merasa sedih dengan kepergian Dika tapiia juga tak bisa melarangnya bukan?

"Aku masih pingin di sini, tapi.....aku tetap harus kembali ke Jakarta!"
"Kapan kamu akan pulang ke Jakarta?"
"Besok!"

Rose menolehnya, "besok?" desisnya. Rose kembali terdiam dan melempar pandangannya ke depan. Sekarang Dika yang menatapnya, ia tahu ada kesedihan di antara mereka. Ia juga merasa sangat berat berpisah dengan Mawar padahal mereka baru bertemu kemarin. Ia menyadari ada sebuah rasa lembut di hatinya sejak bertemu dengan gadis itu. Entah apa namanya, tapi mungkin orang dewasa bisa bilang itu cinta pada pandangan pertama. Mungkin suatu saat jika sudah dewasa ia akan mengerti apa perasaan itu sesungguhnya.

"Aku cuma sedih karena kamu satu-satunya teman yang aku punya!" desis Rose, "kok kamu bilang gitu, kamu itu kan baik. Aku yakin kok, nanti kamu akan dapat banyak teman!" Dika mencoba memberinya semangat lagi.

"Mana ada yang mau berteman sama anak pincang kaya' aku!"
"Kamu jangan bicara seperti itu, kamu harus yakin kalau kamu pasti akan sembuh. Kamu akan segera membuang tongkat itu, kamu akan berlari, meloncat dan melakukan apapun yang kamu suka!"

"Tapi dokter bilang....!"
"Dokter itu bukan Tuhan, mereka tak bisa menvonis kita seenaknya. Selama kita mau berusaha, kita pasti bisa. Jadi kamu jangan pernah menyerah!"

Rose kembali memandang Dika, "terima kasih ya, kamu selalu memberi aku semamgat!" Rose melemparkan senyuman manis, Dika membalas senyuman itu. "kamu jangan khawatir, aku akan kasih kabar kalau sudah sampai di Jakarta!"

Mereka ngobrol lama di sana seraya bercanda, setelah itu Dika menggendong Rose di punggungnya. Sama seperti dulu Ricky suka melakukannya, hal itu membuat Rose teringat kakaknya dan harus menitikan airmata.

"Apa kita akan ketemu lagi?" tanya Rose, "tentu saja, kenapa nggak?" sahut Dika, ia berjalan perlahan karena menggendong Rose di punggungnya.

"Memangnya kamu nggak bakalan lupa sama aku, pasti nanti kalau sudah di Jakarta kamu lupain aku!"
"Nggak bakal!"
"Beneran?"
"Ih...., kamu nggak percayaan amat sih. Dengerin ya, aku nggak bakal lupain kamu sampai mati!" janjinya, "jangan bicara seperti itu, aku nggak suka!"

"Loh, kok nggak suka?"
"Aku suka bicara soal kematian!"

Dika terdiam, ia jadi ingat. Rose bercerita kalau keluarganya meninggal karena kecelakaan mobil itu, dan ia jadi tak suka naik mobil.

*****

Seluruh persiapan sudah di bereskan dan di masukan ke dalam mobil. Orang tua Dika sedang pamitan dengan saudaranya sementara Dika gelisah di dalam mobil. Dia harus bertemu Mawar sebelum pergi tapi rumah paman Fahri cukup jauh dan berlawanan arah, ia juga tak mungkin kabur. Kedua orangtuanya memasuki mobil, duduk di depan.

"Aduh....anak mama kok cemberut gitu. Biasanya paling semangat kalau udah mau balik ke Jakarta?" seru Asti, "kita perginya bisa nunggu sebentar nggak Pa?" tanya Dika. "memangnya mau nunggu apa lagi?" tanya Irfan.

"Sebentar.....aja!" pintanya seraya celingukan ke kanan dan kiri, "kamu ini kaya' orang sibuk aja, nunggu apa sih celingukan begitu?" tanya Asti. Tapi Dika tak menyahuti ocehan orangtuanya. Ia berharap Mawar akan datang untuk mengantarnya pergi.

Akhirnya Irfan tetap menjalankan mobilnya, membuat Dika jadi tambah murung. "sebenarnya ada apa sayang?" tanya Asti. Dika hanya menggeleng pelan lalu melempar pandangannya ke samping. Sekilas ia seperti melihat seseorang, lalu ia pun menoleh ke belakang dan Mawar memang berdiri di jalan setapak menuju jalan raya.

"Pa, berhenti pa!" seru Dika dengan lantang membuat Irfan harus menginjak rem secara mendadak. "apa ada sih, jangan ngagetin papa dong?" protes Irfan. Dika tak menyahut, ia langsung saja meloncat keluar dan berlari ke belakang. Menghampiri Rose yang berjalan perlahan dengan tongkatnya. Asti ikut keluar dari mobil dan memperhatikan putranya.

"Kok kamu jalan di sini?" tanya Dika, "aku nggak berani datang ke rumah tante kamu makanya aku potong jalan aja ke sini!" sahut Rose.
"Oh....gitu!"
"Kamu beneran mau pergi sekarang ya?"
"Besok kan aku dah mulai masuk sekolah lagi!"

Asti kembali masuk ke dalam mobil, "siapa anak itu ma?" tanya Irfan. "nggak tahu pa, Dika nggak pernah cerita, tapi sepertinya mereka sudah akrab!"

Rose menyodorkan sebuah kepalan tangan ke arah Dika, anak lelaki itu menatap tangan mungil gadis di depannya lalu kembali ke wajahnya.
"Apaan?" tanya Dika.
Rose membuka kepalan tangannya, di telapak tangannya ada sebuah kalung berliontin bunga mawar dengan berlian dan saphire berwarna putih. Kilauannya terpancar oleh silau sinar matahari, "ini apa?" tanya Dika memungut benda itu dan mengamatinya. Ia memutar liontinnya, di belakangnya terukir White Rose, lalu ia melirik Rose.

"White Rose, kedengarannya lebih enak di ucap!"
"Jangan!"
"Kenapa?"
"Cuma keluarga aku yang boleh panggil aku dengan nama itu!"
"Tapi itu kan artinya sama saja, cuma beda bahasa!" protes Dika, "pokoknya nggak boleh!" keukeuh Mawar. "tapi....kalau aku pingin panggil kamu dengan nama itu, gimana?"

Rose terdiam, "ehm....., boleh. Asal.....kalau kita pas berdua aja!" syaratnya. "ok, terus apa maksudnya ini?" tanya Dika menunjukan kalung itu.
"Aku mau kamu simpan itu buat aku, jangan sampai hilang ya!" pintanya.

Dika sedikit termangu mendengar pernyataan Rose, "kenapa kamu kasih ke aku?" tanya Dika. "karena aku percaya sama kamu!"
"Tapi aku nggak punya apa-apa buat aku kasih ke kamu!"
"Nggak apa-apa, kamu udah kasih aku hal yang lebih berharga. Dengan kasih aku semangat dan mau berteman sama aku!"

Dika jadi sedikit tersipu, terdengar bunyi klakson dari mobil orangtuanya, "Rose, aku harus pergi. Nanti aku telepon ke rumah paman Fahri kalau sudah sampai!" janjinya. "iya, jangan lupa ya?"
"Beres!" serunya memberi senyuman lalu mulai melangkah pergi. Sebelum masuk ke dalam mobil ia menyempatkan diri untuk menoleh Rose, tapi gadis itu malah sudah berjalan memunggunginya. Mungkin memandang dirinya pergi akan membuatnya sedih itu sebabnya ia memilih untuk tak melihat. Dika memasuki mobil.

"Siapa sayang?" tanya Asti.
"Teman ma!"
"Teman...., kaya'nya spesial!" sindir Asti, "Rose memang spesial!" sahut Dika seraya memandang liontin mawar putih di tangannya.

Rose pergi ke lapangan dan memandang hamparan hijau itu, ia teringat semua kenangannya bersama Dika yang sangat singkat. Itu memang pertemuan yang singat tapi cukup meninggalkan sebuah kenangan manis. Ia ingat tiap detail kalimat yang Dika ucapkan untuknya dan tak akan melupakannya. Benar, setelah lima jam ia berpisah dengan Dika. Anak lelaki itu meneleponnya, setelah itu setiap pagi Dika menelponnya sebelum berangkat sekolah. Oleh dorongan dari Dika, Rose menjalani terapi untuk kakinya. Ia bahkan sangat bersemangat untuk sembuh.

Setelah itu telepon dari Dika pun mulai berkurang, sekarang jadi seminggu sekali karena jadwal Dika juga padat. Mulai dari sekolah, latihan basket, sampai les tambahan. Tentu itu cukup menyita waktu dan membuatnya kelelahan. Hubungan mereka semakin erat melalui telepon selama hampir dua tahun, tapi suatu malam Dika menelponnya dan memberikan kabar yang cukup membuat Rose sedih.

"Ke Inggris?" desis Rose,
"Papaku dimutasi ke sana, jadi kami harus pindah!"
"Apa kita masih bisa telpon-telponan?"
"Kalau ada waktu aku akan telepon kamu!"

Ada keheningan di antara percakapan itu, "Rose!" panggil Dika, "kamu marah ya?" tanyanya, "nggak, kenapa harus marah?"
"Habis kamu diem aja. Oya, gimana kaki kamu?"
"Aku sudah mulai bisa jalan tanpa tongkat meski masih sedikit pincang, tapi kata dokternya mungkin tak lama lagi aku akan bisa jalan dengan normal!"
"Wah....bagus dong!"
"Kalau aku sudah bisa main basket lagi......, mungkin nggak kita bisa bertanding seperti janji kamu dulu. Kan sekarang kamu bakal tinggal di Inggris?"

"Kan nggak selama aku bakal tinggal di Inggris, suatu saat kalau aku sudah besar aku akan kembali ke Indonesia. Dan kita akan ketemu!"

Rose terdiam, ia agak ragu dengan hal itu. Percakapan itu berlangsung cukup lama, setelah sampai di Inggris Dika memerlukan waktu satu hari sampai menelpon Rose. Karena telepon keluar negeri juga cukup mahal makanya orangtuanya juga membatasi panggilan telepon ke Indonesia. Jadi ia hanya bisa menelpon seminggu sekali. Hingga suatu hari saat ia menelpon, nomor rumah Rose tak lagi aktif. Ia mencoba beberapa kali tapi tetap sama. Sejak saat itu ia tak bisa lagi berhubungan dengan Rose, paman Fahri memang mengganti nomor teleponnya karena ada masalah dan Rose lupa untuk memberitahu Dika soal nomor barunya. Sempat ia mencoba menghubungi nomor rumah Dika yang ada di Inggris tapi ternyata juga sudah tak aktif. Sejak itu mereka putus hubungan, tak bisa saling menyapa lagi tapi dalam hati Rose yakin Dika tak melupakannya.

Saat lulus SMP, dokter menyatakan bahwa kakinya sudah sembuh total. Asal jangan sampai cedera lagi maka tidak akan apa-apa. Bahkan Rose sudah aktif masuk ke tim basket putri dan masuk menjadi tim utama. Bahkan sempat mendapat gelar MVP di kelas basket wanita sekota Bandung, ia jadi tidak sabar lulus SMU dan segera melanjutkan ke Universitas. Kata paman Fahri jika Rose lulus dengan nilai memuaskan maka mereka akan pindah ke Jakarta, kebetulan teman paman Fahri mengajaknya bekerja sama membuka kios buah-buahan dan sayuran segar ala mini market. Dengan lahan yang di milikinya di desa itu, ia tetap bisa menanami buah dan sayur sendiri, tinggal membayar orang kepercayaannya saja untuk mengurus semuanya. Lagipula, paman Fahri cukup di kenal baik di desa itu. Tentu tidak sulit mendapatkan orang yang dapat di percaya.

**********

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun