Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Sayap-sayap Patah Sang Bidadari ~ Inheritance # Part 5

10 September 2014   14:58 Diperbarui: 7 Maret 2016   00:36 340 8
Hari ini Liana sudah boleh pulang, William datang ke Rumah Sakit tanpa Nicky. Ia hanya di temani Jaya dan Kapten Brian. Kebetulan Brian adalah teman karib Nicky, mereka sekolah bersama hingga SMU . Setelah lulus Brian masuk Akmil dan sekarang bahkan sudah menjadi intel. Nicky menyerahkan kasus kakeknya pada sahabatnya itu.

Luka yang di alami Liana memang tidak serius, untung saja pisaunya hanya menggores kulitnya. Tidak ada pembuluh darah yang terpotong jadi dia tidak apa-apa. Liana hanya diam di sepanjang perjalanan menuju rumah William Harris. William meliriknya.
"Kau tak apa-apa Liana?" tanyanya.
"A, ah...kek, aku...aku sedikit gugup!"
William memasang senyum, pria tua ini meski sudah berumur senyumannya tetap membuatnya tampan dan berkarisma. Pantas cucunya juga sangat tampan.
"Tak perlu gugup, kau bukan akan pergi ke penjara!"
"Ya...tapi tetap saja...!"
"Tak perlu takut, mulai sekarang kakek akan memastikan kau aman!"
"Bukan itu kek, aku.... Aku hanya membayangkan bagaimana reaksi keluarga kakek nantinya. Mereka pasti tidak suka padaku!"
Sekarang William malah tertawa, Nah... Liana yang jadi bingung. Apa kalimatnya sangat lucu hingga membuat pria tua ini tertawa.
"Anggota keluargaku tak banyak, kau tak perlu khawatir. Orangtua Nicky sudah meninggal sejak dia berusia 12 tahun. Kecelakaan mobil!" jelas William.
"Oh...maaf kek!"
"Tidak apa-apa, itu lama berlalu. Di rumah kami hanya berempat, sekarang akan berlima denganmu!"
"Yang dua lagi?"
"Menantuku dan anaknya. Suaminya, putra keduaku juga sudah meninggal karena gagal ginjal!"
"Jadi....semua putra kakek sudah meninggal?"

William mengangguk.
"Jika Nicky sedikit kasar padamu, jangan kau ambil hati. Dia memang begitu, sikapnya dingin. Sejak kecil dia sangat dekat dengan ku dan neneknya. Tapi neneknya harus meninggal saat dia beranjak dewasa. Mungkin sekita umur 17, jadi... Dia hanya dekat dengan kakek!"

"Memangnya....Nicky tidak punya saudara?"
William terdiam.
"Akan kakek ceritakan nanti!" katanya.

Nicky sendiri sedang sibuk di kantor, selesai Meeting ia juga masih menandatangi banyak dokumen. Menerima telepon dari berbagai PT atau CV, entah untuk ajakan kerja sama atau untuk penambahan produk. Kadang-kadang ada juga yang membatalkan kontrak atau meeting. Perusahaan mereka bergerak di bidang properti dan teknologi. Perusahaan itu memiliki banyak anak perusahaan yang masih di bawah kendalinya langsung. Rey sendiri sebenarnya sudah memegang satu anak perusahaan yang bergerak di bidang teknologi. Tapi terkadang ia akan menggantikan Nicky jika Nicky tidak dapat datang ke kantor. Itu juga kalau pas tidak ada meeting penting. Kalau ada yang sangat penting Nicky akan lebih mementingkan pekerjaannya di banding hal lain. Ya, kantor adalah rumah kedua baginya sejak ia terjun ke dalamnya. Prestasinya sangat luar biasa, dia termasuk orang yang gila kerja. Itu sebabnya William lebih menunjuknya menjadi wakilnya dari pad Rey. Tapi kakeknya tetap saja prioritas utama, ia akan meninggalkan apapun demi kakeknya. Walau itu meeting yang sangat penting sekaligus.

Saat sedang sibuk begini, Ivana muncul begitu saja ke ruangannya. Nicky langsung mendesah melihatnya.
Wanita cantik itu menghampirinya dan langsung mencium pipinya.
"Hai sayang, nampaknya kau sibuk sekali!"
Nicky meletakkan telepon yang baru saja di angkatnya, ia hendak menelpon seseorang tadinya.
"Kau tahu aku sibuk, kenapa kau kesini?" katanya dingin.
Ivana duduk di bibir meja dengan anggun, menumpukan kaki kanannya di atas kaki kiri. Membuat rok mini warna merah yang ia kenakan sedikit berkerut ke atas, membuat kulitnya yang putih dan mulus bisa di nikmati. Nicky meliriknya, tapi saat ini ia sedang tidak ingin.
"Kita sudah lama tidak pergi bersama!"
"Baru tempo hari kita dinner!" jawab Nicky.
"Itu hanya dinner dan setelah itu kita pulang. Itu sama sekali tak menyenangkan!" keluhnya.
"Ivana, aku sedang tak bisa pergi!"

Ivana menyentuh wajah Nicky lembut, sedikit merundukkan diri. "kau tidak merindukan aku?" katanya lembut. Mereka memang sering menghabiskan awal malam bersama di hotel, itu sebabnya terkadang Nicky pulang lewat tengah malam. Nicky menatapnya, lalu ia menengok jam di pergelangan tangannya. Masih ada waktu 2 jam sebelum meeting berikutnya.

"Ok, kau menang sekarang!" katanya.
Ivana tersenyum girang, ia menjauhkan tangannya dari wajah Nicky. Nicky mengangkat telepon, menekan sebuah nomor dan menunggu jawaban. Ada suara seorang wanita di sana.
"Mey, aku akan keluar sebentar. Jika ada yang mencariku, suruh buat janji dulu. Dan....soal meetingnya, aku tidak akan terlambat!"
"Iya pak!" jawab Mela.

Nicky berdiri, ia menyambar ponselnya lalu merangkul Ivana sambil berjalan keluar. Setelah melewati pintu ia melepaskan tangannya dari pinggang wanita itu. Tapi Ivana yang sekarang menggandeng lengannya seolah takut Nicky akan terbang.

*****

Liana melangkah secara perlahan, memasuki teras rumah yang dari jauh sudah terlihat seperti istana. Ia malah jadi gemetar untuk melangkah, seumur hidup ia belum pernah masuk ke dalam rumah sebesar itu. Pintu terbuka seorang perempuan paruh baya muncul di baliknya. Menyambut mereka dengan senyuman. William mengajak Liana masuk ke dalam, rumah itu sungguh sangat megah. Semua yang ada di dalamnya terlihat mahal dan berkelas. Liana jadi takut melangkah, ubinnya saja begitu mengkilat. Ia takut jika kulitnya menyentuh sedikit saja barang yang ada di sana, nanti barangnya akan rusak atau jadi jelek.

"Ayo, tak usah sungkan. Masuklah!" ajak William.
"Rahma, antar Liana ke kamarnya. Dia masih perlu banyak istirahat!" suruhnya pada pembantunya.
"Iya tn. Besar!" jawabnya, lalu menoleh ke Liana. "ayo non!" ajaknya. Liana mengikuti.

Wanita itu menuntunnya menaiki tangga dan memasuki sebuah kamar yang luas dan indah. Hampir seluas kontrakannya. Ada lemari besar yang menempel tembok, meja rias dan sebuah ranjang yang kelihatannya nyaman sekali. Liana masih diam mematung.

"Non di dalam lemari sudah di siapkan pakaian, kalau butuh sesuatu panggil saja saya!" katanya lalu keluar dan menutup pintu. Liana memutar matanya ke setiap inchi ruangan itu, ia melangkah perlahah dengan gemetar. Ia duduk di bibir ranjang, empuk sekali. Seumur hidup ia tak pernah bemimpi bisa tidur di ranjang yang seperti ini. Selama ini ia tidur di kursi yang keras tanpa alas, ia bisa tidur di mana saja asal sudah ngantuk dan cape.
Tanpa terasa airmatanya mengalir, apa arti semua ini. Selama ini ia hidup di jalanan yang keras dan kejam. Tiba-tiba sekarang ia mendadak terjebak di sebuah istana, dan kini hatinya mulai risau. Ini tidak akan mudah, dan sepertinya ini akan menjadi awal perjalanan barunya. Liana menghapus airmatanya, berjalan ke arah lemari. Membukanya, ia memungut sebuah handuk yang terlipat rapi. Terlihat banyak pakaian mahal di sana, pakaian yang dalam mimpipun ia tak pernah berharap memilikinya. Dan kini semua itu di siapkan untuknya. Liana menggelengkan kepala, menutup pintu lemari dan berjalan ke kamar mandi, mengguyur tubuhnya yang masih bau rumah sakit.

Nicky mengancingkan pergelangan kemejanya di samping ranjang, Ivana menghampiri dan memakaian dasinya. Wanita itu masih hanya mengenakan handuk, rambutnya juga masih basah.
"Secepat ini kau akan kembali ke kantor!"
"Aku ada meeting dan tak mau telat!"
"Aku masih merindukanmu!" manjanya sambil meletakkan tangannya di pundak pria itu. Nicky memang selalu di kejar-kejar wanita.
"Kau memintaku meluangkan waktu untukmu, sudah ku berikan. Apalagi!" jawabnya meletakkan tangannya di pundak Ivana, mengelusnya pelan. Kulitnya sangat lembut dan terawat, Ivana rutin merawatnya ke salon kecantikan.
"Kau tak mau mengajakku lagi makan malam di rumahmu!"
"Belakangan terjadi sesuatu, mungkin lain kali!" jawabnya. Ivana memasang wajah kecewa.
"Aku harus pergi sekarang, atau kau ingin aku kehilangan klien ku?"
"Tentu saja tidak!"

Nicky meninggalkan Ivana di dalam kamar hotel. Mereka baru lima bulan menjalin hubungan, Nicky tak pernah bertahan lama menjalin hubungan dengan wanita. Jika bosan dia pasti akan segera menemukan yang baru, meski sebenarnya sebagian pacarnya mencintainya dan tidak rela putus darinya.
Kembali ke kantor langsung di sibukkan lagi dengan banyak pekerjaan.

Liana keluar dari kamar, berjalan menuruni tangga. Ia seperti mendengar suara adik-adiknya, ia pun bergegas ke arah suara itu. Ketika sampai di ruang tengah, ia melihat kakek Willy sedang ngobrol dengan beberapa tamu, di sana juga ada ketiga adiknya. Rudi, Vita dan Adit.
"Rudi, Vita, adit!" panggilnya satu persatu.

Semua yang ada di dalam ruangan menoleh.
"Kak Liana!" seru ketiganya sambil berhambur ke arahnya. Liana menyambut mereka dengan pelukan.
"Kak Liana nggak apa-apa?" tanya Vita.
Liana melepas pelukan mereka.
"Kakak baik-baik saja, bagaimana kalian?"
"Kami baik kak, katanya....kami mau dapat orangtua lagi!" jawab Rudi.
Liana terdiam, ia berdiri dan membawa ketiganya kembali ke ruang tamu. William tersenyum padanya.
"Duduklah!" katanya.

Liana pun duduk, memandang beberapa orang yang ada di ruangan itu. Mereka juga memandangnya, Liana merangkul erat ketiga anak kecil yang menggelayut padanya. Anak-anak itu sudah seperti adiknya sendiri, dan kini mereka akan di adopsi oleh orang lain. Meski berat sekali, tapi jika itu untuk kebaikan mereka dirinya akan merelakan. Masa depan anak-anak itu lebih penting sekarang, ia tak mungkin akan membebani kakek Willy dengan meminta mereka tinggal di rumah ini juga. Semoga saja mereka yang akan jadi orang tua Vita,Rudi dan Adit adalah orang yang baik dan bertangung jawab jadi Liana tidak akan merasa bersalah melepasnya. Suasana hening, hanya detak jam dinding yang bersuara.

**********
Inheritance #Part 6

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun