Mungkin sekarang kamu sudah menjadi gadis yang cantik dan sebesar Axel. Jesica, maafkan mama.
Sebutir airmata meluncur menuruni pipinya.
"Sis, kau kenapa?" tanya Rudi.
Siska menggeleng pelan.
"Nggak apa-apa Mas!"
"Kau teringat lagi dengan putrimu!"
"Maaf mas, tapi sungguh tak bisa memaafkan diriku sendiri. Aku meninggalkan putriku yang masih balita!"
"Kau di paksa orangtuamu dulu, itu bukan kesalahanmu!"
"Itu salahku mas, itu salahku. Mungkin ini karma mas, karena aku meninggalkan anakku. Maka aku keguguran dan harus kehilangan rahimku!"
"Aku tak menyalahkanmu!" seru Rudi, "Toh kita tak bisa memutar waktu kembali ke masalalu kan!"
*****
Jesica naik motor Axel, tapi dia tak di antar pulang malah belok nggak tahu kemana. Axel behenti di suatu tempat. Memarkir motornya di pinggir jalan. Jesie pun turun, celingukan kanan-kiri.
"Loe nyulik gue, Loe mau ngapain?" seru Jesie.
"Kalau gue mau berbuat jahat, nggak mungkin kesinilah. Gue cuma pingin ngajak loe makan doang!"
"Makan!" desis Jesie.
"Aduh....gue laper banget nih, loe mau makan apa?"
Jesie melihat semua penjual yang berjejer.
"Gue paling suka bakso!"
"Kebetulan, tuh bakso paling enak di sini!" tunjuk Axel. Axel membawa Jesie ke sana, mereka duduk di kursi yang kosong.
"Bang, bakso dua ya!" seru Axel.
"Eh, kok dua. Bang empat ya!" seru Jesie.
"Empat, kita kan cuma berdua!"
"Tiga buat gue, satu buat loe." jawab Jesie tanpa malu.
Axel melotot.
Empat porsi bakso datang, Jesie langsung mengambil sendok dan garpu menaruh di salah satu mangkok. Menuang kecap dan sambal tanpa saus.
"Perut loe nggak konslet tuh, cabe sebanyak itu?"
"Kalau nggak pedes, kurang nampol!" jawabnya mengaduk baksonya dan melahapnya. Axel menatapnya sambil mengaduk-aduk baksonya sendiri. Tapi sampai Jesie melahab mangkok ketiga, bakso Axel masih utuh tuh. Matanya masih lekat di wajah gadis itu, tersenyum kecil menikmati pemandangan indah di depan matanya.
Gadis itu memang tak terlihat seperti cewe, cuek dan apa adanya. Axel mendorong mangkok baksonya.
"Nih buat loe aja kalau masih kurang!"
Jesie menengok.
"Katanya loe laper banget?"
"Lihat loe makan gue udah kenyang."
Jesie menaruh sendoknya, memungut teh botolnya dan meminumnya langsung. Bibirnya sedikit cengar-cengir karena kepedasan, jadi terlihat lebih merah alami.
"Kenapa loe lihatin gue kaya' gitu. Napsu, dasar buaya!"
Axel tersenyum.
"Nggak...gue cuman...!" seru Axel sambil menggaruk tengkuknya, "baru sekali ketemu orang kaya' loe, unik!"
"Unik....!" desis Jesie.
Senyum Axel semakin lebar, oh Tuhan...dia terlihat ganteng banget. Jesie sampai tak berkedip memandangnya. Axel menjentikkan jarinya di depan Jesie, membuyarkan lamunannya.
"Nah, sekarang kenapa loe yang lihatin gue kaya' gitu. A....loe suka sama gue!" goda Axel.
"Ih....PD banget loe. Najis tahu nggak gue suka sama loe. Cowo tuh betebaran di sini!"
"Ya kalau mereka suka sama loe, kebanyakan cowo tuh suka cewe yang feminin, cantik, mulus, seksi, tangannya alus....huh...pokoknya kaya' barbie deh. Nggak kaya' loe, cewe jadi - jadian!"
Di singgung soal tangannya yang alus, Jesie langsung mengkerut. Kan tangannya kaya jalan aspal, kapalan karena sering pegang kunci inggris dan peralatan bengkel. Axel menikmati wajah Jesie yang cemberut, dari ekspresinya.... Kemungkinan Jesie suka padanya ada 60 %,
"Woi!" seru Axel. "muka loe kenape, baksonya kurang...mau gue pesenin lagi?"
Jesie menggeleng.
"Mungkin gue harus diet ya!" desisnya.
Axel malah tertawa terbahak-bahak, membuat Jesie semakin cemberut.
"Diet, ha....!" masih dalam tawanya, "apa yang mau di dietin. Badan loe aja udah kecil!"
Jesie memang tidak gendut dan juga tidak kurus, kalau dia mau pake baju cewe malah seksi banget dengan dada penuh dan kaki yang panjang.
Jesie malah bangkit dan menyingkir.
"Eh, Jes!" seru Axel, ia merogoh kantung celananya, menaruh uang seratus ribu di meja dan menyusul Jesie, ia langsung menarik lengan gadis itu. Menghentikan langkahnya.
"Jes, loe ngambek?"
"Nggak!" jawabnya tanpa menoleh, "gue cuma mau pulang, mau bantuin ayah!"
"Sorry, kalau kalimat gue ada yang nyinggung loe. Gue anter ya!"
"Nggak perlu. Tadi aja nggak nyampe rumah. Malah kesini, ntar loe bawa gue ke tempat yang serem lagi!"
"Kali in sampe rumah loe deh. Swear!" katanya menacungkan dua jari sambil tersenyum. Jesie diam tapi mengangguk. Axel tersenyum lagi. Senyum itu lagi!
Axel langsung mengantar Jesie ke bengkel ayahnya. Ayahnya sedag sibuk jadi nggka ngeh kalau Jesie pulang di anter cowo. Axel langsung melaju setelah itu. Ia juga langsung puoang ke rumah.Tumben!
Ketika ia baru masuk rumah Siska yang sedang duduk di ruang tengah sambil membawa majalah menegurnya dan berdiri.
"Xel, sudah pulang?" sapanya.
Axel berhenti.
"Gue mau pulang kapan itu bukan urusan loe!" jawabnya ketus
"Kakak hanya senang kau pulang lebih awal!"
"Nggak usah sok peduliin gue, gue nggak butuh!" jawabnya langsung masuk ke dalam kamar.
Siska hanya diam, ia ingin sekali Axel bisa menerima dirinya di rumah itu, ia sudah menyayanginya seperti anaknya sendiri, Axel seperti pengganti anak yang pernah ia tinggalkan. Axel memang selalu judes padanya tapi ia menganggap itu bukan masalah.
Jesis termenung di dalam kamar, Joni menghampirinya. Duduk di samping putrinya.
"Ada apa sayang, kok melamun gitu?"
"Yah, kenapa ibu ninggalin kita?"
"Ayah sudah jelaskan bukan!"
"Tapi kenapa dia tega yah? Harusnya waktu itu ibu bisa dukung ayah saat ayah terpuruk, bukan malah pergi. Ninggalin ayah, ninggalin Jesie. Dia nggak punya perasaan!" serunya sambil berdiri.
"Jes, semua itu kesalahan ayah. Ayah yang tak bisa membahagiakan ibumu!"
"Itu nggak bener, ibu aja yang mata duitan!" serunya.
Joni bangkit dan langsung menamparnya, itu pertama kalinya ia menanpar putrinya. Jesie memegang pipinya. Menatap ayahnya lalu berhambur keluar. Berlari sekencang mungkin hingga berhenti di telaga. Menangis di sana sambil terduduk.
Kenapa ayah masih saja mengharapkan wanita itu, udah jelas dia ninggalin kita yah. Dia jahat, dia nggak punya perasaan. Dia yang membuat Jesie selalu di olok-olok temen-temen, karena punya ibu yang gila harta, nggak punya tanggung jawab!
Axel juga keluar malam itu, jalan kaki. Entah kepana ia bisa nyasar ke tempat itu, mengingat kejadian tadi siang bersama Jesie di warung bakso membuatnya senyum-senyum sendiri. Ia melihat seseorang sedang duduk di dekat pohon, menghadap ke telaga. Axel menghampirinya, semakin dekat ia mengenali orang itu. Senyumnya jadi mengembang di pipinya. Tapi...ia seperti mendengar isak tangis tuh.
"Wah....cewe perkasa bisa nangis juga rupanya!" serunya sambil mendekat, berdiri di sampingnya. Jesie menoleh dan mendongak sambil menhusap airmatanya.
"Siapa yang nangis!" sangkalnya.
"Terus mata loe kenapa, belekan!" cibirnya sambil ikut duduk.
"Ngapain loe di sini, ngikutin gue?" seru Jesie.
"Emang gue kurang kerjaan. Kenape loe?"
"Bukan urusan loe!"
"Judes amat, padahal tadi siang manis banget loh....kaya' si pussy!"
"Emangnya gue kucing!"
"Emang iya, loe lebih mirip kucing ketimbang cewe!"
"Sialan loe!"
"Loe tuh jelek kalau nangis, nggak suka geu!"
"Emang apa peduli loe!"
"Mau cerita?"
Jesie menoleh. Menatapnya, pandangan mereka pun bertemu. Kali ini Axel memandangnya lebih lembut.
"Belakangan loe jadi baik sama gue, ada maunya ya?"
"Emang orang baik kalau ada maunya doang?"
"Kalau loe, ya mungkin iya!"
Axel mengamati pipi kanan Jesie yang sedikit merah.
"Pipi loe kenapa lagi?"
"Nggak apa-apa!" jawabnya mengalihkan pandangan.
"Loe berantem sama bokap?"
Jesis terdiam.
Tanpa sadar Jesie menceritakan soal ibunya pada Axel.
"Loe beruntung lah mereka masih hidup, seenggaknya loe punya bokap yang sayang sama loe. Nah, gue! Yatim piatu!" serunya.
"Maksud loe, kedua orangtua loe udah meninggal?"
"Parah, nyokap gue meninggal karena pendarahan saat ngelahirin gue, bokap gue meninggal waktu gue SMP, kecelakaan mobil!"
"Oh...!"
"Di saat gue hampir dapet kasih sayang bokap Tuhan malah ngambil dia duluan!"
Jesie memandangnya.
"Tapi gue seneng, pada akhirnya bokap gue mau ngakuin gue. Meski di batas ajalnya!"
"Xel....!"
"Santai aja lagi, gue udah nggak apa-apa kok!"
"Ternyata....loe lebih menderita dari gue!"
Axel tertawa,
"Gue bahagia kok sekarang, apalagi....!"
Gue ketemu loe sekarang, dan gue nggak akan ngebiarin loe lepas dari gue!
"Apa?" tanya Jesie menatapnya.
"Nggak apa-apa!" Axel mendesah. "Udaranya mulai dingin ya!" serunya membuka jaketnya dan memakaikannya di punggung Jesie. Membuat gadis itu sedikit tersentak.
"Pake aja, ntar loe masuk angin. Lebih baij sekarang loe pulang. Nggak baik malem-malem masih di luar!"
"Nggak perlu ngusir gue juga udah mau pulang!" katanya sambil berdiri, Jesie hendak melepas jaket Axel tapi...
"Pake aja, loe bisa balikin besok. Dengan baju loe itu...loe bisa masuk angin!"
Kok Axel jadi perhatian banget ya sama gue? Apa dia lagi nggak waras, atau dia emang baik?
Jesie beranjak pergi, Axel menatap punggungnya hingga gadsi itu menjauh, Jesie menoleh. Ia melihat Axel masih memandangnya, ada senyum yang mengembang di bibir cowo itu, Jesie membalasnya dengan senyuman kecil. Kemudian melanjutkan langkahnya semakin cepat.
*****
Joni berdiri mondar-mandir di depan rumah ketika Jesie sampai.
"Jesie!"
"Yah, maafin Jesie ya yah. Kalau Jesie ngomong kasar tadi!"
"Ayah juga minta maaf, ayah tidak bermaksud memukulmu!"
Jesie tersenyum dan memeluk ayahnya.
"Jesie sayang ayah!"
"Ayah juga sayang padamu!" Joni membalas pelukan putrinya. Lalu melepasnya.
"Eh, ngomong-ngomong....ini jaket siapa?"
Aduh, Jesie baru sadar kalau ia membawa jaket Axel.
"E...ini, tadi ketemu temen di jalan. Karena dingin jadi di pinjemin jaket!" jawabnya.
Ayahnya memandangnya dengan tatapan selidik.
**********