Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana Pilihan

Sebuah Cinta yang Terlarang # 9 ; Cemburu....

25 September 2014   05:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:37 162 2
Pagi itu saat memasuki sekolah Jesie merasa ada yang aneh, semua teman sekolahnya memandangnya dengan aneh dan sedikit menjauh. Jesie jadi merasa seperti makhluk asing sekarang. Ia memasuki ruang kelas, di dalam kelaspun sama. Ia duduk saja dan melihat ke depan.

Jrengggg!

Pandangannya tertumpu ke papan tulis.

Jesica Anastasya, Ibunya adalah seorang gold digger. Meninggalkan suaminya karena bangrut dan menikah lagi dengan anak seorang pengusaha kaya. Hati-hati! Ntar bokap kita di goda sama nyokapnya. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, pasti anaknya juga sama. Matre dan suka godain suami orang, yang punya pacar. Pacarnya di jaga baik-baik, jangan sampe di goda sama Jesie!

Jesie terbelalak, membulatkan bola matanya lebar. Ia melihat sekeliling ruangan, semua mata menatapnya jijik.
Siapa yang menulis itu? Nggak mungkin Reta, dia nggak mungkin tega. Atau....Axel, yang tahu hal itu kan cuma Reta sama Axel!

Jesie maju dan menghapus tulisan itu, ia memandang seisi kelas . Tiba-tiba saja beberapa anak melemparinya dengan gulungan kertas dan pulpen. Ia melindungi diri dengan tangannya, suara gaduh cibiran di hujamkan padanya dari teman-teman sekelasnya. Ia pun berlari keluar. Di luar pun ia mendapat perlakuan sama. Di lempari gulungan kertas, bahkan ada yang melemparinya dengan sekantong plastik minuman hingga ia basah, ada juga yang melemparnya dengan telur. Reta yang baru datang menghampirinya.

"Jes!" desisnya. Tapi Jesie malah lari dan di halaman ia tabrakan dengan Axel. Axel cukup terkejut melihat keadaannya.
"Jes, loe kenapa?"
Tapi Jesie malah menampar Axel. Seketika Axel memegang pipinya, "Jes, loe kenapa?" serunya. Jesie tak menjawab, ia lari saja keluar sekolah dengan mata sembab. Axel makin tak mengerti. Reta sampai juga berlari mengejar Jesie keluar, tapi ia hanya bertemu Axel di halaman.

"Re, Jesie kenapa?"
"Loe belum tahu?" Reta balik nanya.
"Tahu apa?"
"Loe lihat aja di mading dan semua papn tulis di seluruh kelas!" seru Reta.

Axel menatapnya sebentar lalu berlari ke dalam, ia melihat kerumunan di mading. Ia pun menerobosnya, dna membaca tulisan di mading yang ternyata soal ibunya Jesie. Axel mengepalkan tinjunya. Ia menoleh ke semua anak yang ada di sana.

"Siapa nulis ini?" tanyanya.
Tak ada yang menjawab.
"Siapa?" teriaknya. Tetap tak ada yang menjawab. Axel menarik seorang anak yang tak jauh darinya, mencengkeram leher bajunya.
"Gue tanya siapa yang nulis?" geramnya.
"Gu-gue nggak tahu Xel." jawabnya.
Axel menampakan ekspresi yang lebih marah, "Sumpah Xel, gue nggak tahu!" serunya lagi. Axel melempar anak itu ke papan mading.
"Gue nggak mau tahu, loe!" tunjuknya, "loe, dan loe semua. Hapus semua tulisan yang ada, kalau nggak ....gue lempar loe semua dari sekolah ini!" katanya lalu pergi. Semua anak yang ada di sana langsung segera berhambur untuk menghapus tulisan yang tersebar. Tentu apa yang di ucapkan Axel dengan amarah bukan sekedar ancaman semata. Keluarganya adalah pemilik yayasan sekolah itu, dan kini Axel adalah ahli waris yang memegang 70 % persen saham. Itu artinya Axel lah pemilik yayasan itu, dia bisa saja melempar siapa saja yang tak ia kehendaki. Kalau ia mau ia juga bisa mengusir semua kakaknya dari rumah. Memang karena usianya masih 18 tahun, ia masih di wakilkan oleh kakak tertuanya Rudi, jika dirinya sudah lulus akademik baru ia akan memegang sepenuhnya perusahaan dan yayasan.

Axel mencari Jesie keluar area sekolah. Ia membawa dua sepeda, satu ia kendarai satu lagi ia tuntun.
"Aduh Jes...loe dimana sih!" cemasnya sambil celingukan.

Tiba-tiba ia ingat semalam Jesie kan pergi ke telaga pas ada masalah, siapa tahu sekarang dia juga ada di sana. Axel segera mengayuh sepedanya ke telaga. Jesie memang di sana, duduk menghadap telaga, sedang menghapus airmatanya. Memunguti batu-batu kecil dan melemparnya ke telaga. Axel menaruh sepedanya di dekat pohon dan menghampiri Jesie.

"Mewek lagi loe!" serunya duduk di sampingnya. Jesie menoleh sejenak lalu kembali menghadap air telaga.
"Gue emang suka usil, tapi bukan gue yang nulis semua itu. Gue nggak suka buka aib orang dengan cara pengecut kaya' gitu. Loe tenang aja gue lagi cari orangnya kok!"

Jesie diam. Sepertinya Axel berkata jujur.
"Nggak usah di pikirin, itu cuma anak iseng!"
"Terkadang gue benci sama diri gue sendiri karena punya nyokap kaya' gitu!" serunya, "kenapa ada perempuan yang rela ninggalin anaknya cuma karena harta?"

"Kalau begitu loe nggak usah pikirin lagi dong, cuek aja. Yang penting loe masih punya bokap yang sayang sama loe!"
Jesie menoleh, menatap Axel. Axel juga menatapnya dalam. Mereka kembali berpandangan, berbicara lewat bahasa mata. Yang Jesie heran, setiap dirinya sedih Axel selalu muncul. Saat dirinya butuh pertolongan kaya waktu di kroyok preman Axel yang muncul. Rasanya selalu Axel yang selalu ada buatnya. Kini mereka malah hanyut dalam tatapan itu. Tapi Axel mengalihkan pandangannya lebih dulu, menatap ke air telaga. Jesie juga melepas pandangannya perlahan.

"Udah jangan sedih mulu. Gue tahu, cara buat ngilangin sedih!"
"Ha, apaan!"
"Balap sepeda, berani nggak loe!" tantang Axel.
"Siapa takut, tapi....!"
"Tapi apa?"
"Gue udah nggak punya sepeda."

Axel mendesah.
"Bego'!" makinya menyeret tangan Jesie sambil berdiri dan berjalan meninggalkan telaga. Jesie hanya menurut saja saat Axel menyeretnya ke arah dua sepeda yang nangkring di bawah pohon.

"Ini sepeda siapa?"
"Kita!"
"Heah... Kita!"
"Satu punya gue, satu punya loe!"
"Maksud loe?"
"Aduh...telmi banget sih. Gue kan pernah bakar sepeda loe, so...nggak ada salahnya kan gue ganti. Sama persis kan!"
Jesie mengamati sepedanya, itu memang sama persis. Sepeda United warna hitam-merah.
"Siapa bilang persis, sepeda gue udah nemenin gue 3 tahun terakhir ini, nah ini...gue belum kenal!"
"Pake kenalan segala, loe pikir orang!"

"Anyway...thanks ya!" desis Jesie sedikit malu, "Tapi...!"
"Tapi?"
"Gantiinnya kelamaan tahu nggak!" ketusnya.
"Yang penting kan udah gue ganti dari pada nggak!"

Jesie naik sepedanya.
"Ok, kita balapan. Lets go....!" katanya sambil mengayuh.
"Eh.... Jangan curang dong!" seru Axel yang langsung naik sepedanya dan menyusul Jesie, mengejarnya.
"Awasnya loe main curang!" kesalnya.

Mereka kejar-kejaran dengan sepeda, baik Jesie maupun Axel terlihat sangat behagia. Mereka memutar telaga hingga sampai ke tempat semula. Jesie sampai lebih dulu. Ia menghentikan sepedanya,
"Ye....gue menang!" girangnya. Axel menyusul di belakangnya.
"Loe curang, ini nggak fear!" protes Axel.
"Bodo, yang penting gue sampe duluan. Cowo brengsek kaya' loe sekali-kali di curangin juga nggak apa-apa!"
"Sekali lagi loe bilang gue brengsek, gue cium loe!" ancamnya.
"Coba aja kalau berani, wuek...!" balas Jesie menjulurkan lidahnya dan mengayuh sepedanya lagi. Axel menggerutu, "ok!" sahutnya mengejar lagi. Kali ini Axel mengayuh sepedanya lebih kencang hingga bisa mendahului Jesie.

"Sekarang siapa yang jadi pecundang?" serunya sambil menoleh Jesie yangbdi belakangnya. Jesie cemberut karena Axel berhasil mendahuluinya. Tapi tiba-tiba muncul ide buat ngerjain Axel, kebetulan di depan turunannya nggak rata.

"Xel!" panggil Jesie.
Axel menoleh.
"Loe tahu nggak?" tanyanya.
"Tahu apa?" tanyanya kembali sambil terus menengok ke belakang.
"Hati-hati aja!"
"Ha!"
"Hati-hati di depan loe!" teriak Jesie yang melambatkan laju sepedanya. Axel masih di kecepatan tinggi, ia menoleh ke depan karena sepedanya sedikit oleng dan melenceng.
"Wuaa....!" teriaknya, Axel tak bisa mengendalikan sepedanya di jalanan itu, sepedanya melaju ke arah telaga, tersandung batu dan melayang. Axel terlempar dan terguling hingga jatuh ke dalam air. Jesie tertawa dari tempatnya. Ia pun melepaskan sepedanya dan mendekat sambil terua menertawai Axel.

Axel menyeka wajahnya, dan menatap Jesie.
"Loe sengaja ngerjain gue?"
"Dua-satu!" seru Jesie sambil tersenyum.

Mareta juga mencari Jesie sampai ke tempat itu, ia melihat sepeda yang tadi Axel bawa. Ia pun menghampiri sepeda itu dan melihat ke sekeliling. Ia menemukan Jesie sedang bersama Axel. Axel berada di dalam air dan Jesie berdiri di pinggir telaga sedang tertawa. Mareta memasang wajah kecut melihat keduanya akrab sekali.

"Auw...auw, auw!" seru Axel tiba-tiba sambil merunduk memegang kaki kanannya. Seketika Jesie jadi panik.
"Xel, loe kenapa?"
"Aduh jes, kaki gue...kaya' nya kaki gue keram deh!"
"Keram!"
"Auw....auw... Jes...!" serunya.
Jesie langsung terjun ke air untuk membantunya. Berdiri di depan Axel lalu mencelupkan tangannya ke dalam air untuk membantu Axel. Tapi Axel malah tertawa. Itu membuat Jesie terkejut, kembali berdiri dan memasang wajah cemberutnya lagi.
"Dua sama!" seru Axel sambil mencolek hidup Jesie.
"Loe ngerjain gue?"
"Siapa suruh ngerjain gue duluan!" cibir Axel.
"Loe...loe bikin gue panik tahu nggak." seru Jesie memukul lengan Axel.
Axel tertawa lagi.
"Kita seri kan jadinya!"
"Rese' loe ah!" kesal Jesie membuang muka. Tapi Axel malah menyekop air dengan tangannya dna menyiramkannya ke tubuh Jesie, membuat gadis itu kaget dan membuka mulut lebar.
"Loe!"
Axel makin kencang tertawa. Jesie membalas siraman air itu, akhirnya mereka malah main siram-siraman air dengan girang dan tawa yang tampak bahagia.

Mareta masih menonton di balik pohon, mengepalkan tinju lalu mencakar badan pohon dengan geram

Belakangan ini mereka deket banget, Jes...loe tuh suka sama Axel atau Antony sih? Atau dua-duanya, Jes....kenapa loe nggak ngerti juga?

Mareta pergi dengan marah dan kesal. Membawa rasa cemburunya menjauh, sementara Axel dan Jesie masih asyik mainan air. Perlahan keduanya maju sambil terus menyiram satu sama lainnya hingga tangan mereka bersentuhan. Perlahan keduanya berhenti tertawa, pandangan merela bertemu lagi. Tatapan yang hangat dan lembut. Yang menenangkan, tapi Axel malah mengalihkan pandangannya dan keluar dari air. Jesie jadi merasa aneh dan bingung, sepertinya Axel memang tak mau memandangnya seperti itu, ia selalu menghindar jika mereka bertatapan seperti itu. Semalam juga, beberapa saat tadi juga. Dan sekarang juga iya, apa dia benar-benar nggak mau suka sama anak SMU hingga harus menghindar. Lalu kenapa belakangan dia jadi baik padanya, bahkan sangat perhatian? Apa artinya itu? Jesie jadi tambah bingung. Ia pun ikut keluar dari air, Untung baju belakang mereka tak basah, hingga hp yang Axel taruh di saku belakang masih utuh. Ia memungutnya, menekan sebuah nomor dan menempelkannya di telinga. Jesie hanya diam berdiri sambil sesekali mencuri pandang ke arah Axel.

Perasaan macam apa ini? Kenapa selalu begini setiap kali deket sama Axel, debaran di dada ini? Aduh...bisakah berhenti.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun