Aku juga tak tahu, kau boleh memanggilku sesukamu, memakiku sesukamu, aku sudah tak peduli lagi. Kebahagiaan adalah impian setiap orang, hidup dengan pria yang yang mencintai dan menghargai adalah impain setiap wanita. Dulu, aku juga punya mimpi seperti itu. Sebelum terlempar ke neraka ini.
Aku seorang pelacur, ya! Seorang pelacur. Sejak ibuku meninggal dan tak seorangpun lagi yang bisa memberikan uang untuk ayah tiriku, aku di lemparkannya ke dunia laknat ini. Bajingan yang mengaku ayah tiriku itu menyodorkanku pada seorang pria untuk menebus hutangnya sebanyak 12 juta karena kalah di meja judi. Dasar tak punya otak! Sudah tahu tak punya uang sok mau melawan bandar judi yang memiliki banyak preman bertubuh besar.
"Ini anakku, masih 16 tahun dan masih perawan. Kalau di jual harganya lebih dari hutangku, bawa saja dia dan jangan cari aku lagi!" serunya dengan wajah yang setengah babak belur.
Kalau ingat wajahnya rasanya aku ingin mencabik-cabik semua pria yang datang padaku. Bandar judi bertampang sangar itulah yang merobek selaput daraku dengan keji, tampa mempedulikan teriakan dan tangisanku. Setelah puas menggauliku selama berminggu-minggu dia melemparku pada para pria hidung belang lainnya dengan harga yang aku tak tahu. Sejak itu entah sudah berapa bajingan yang bersamaku, tak sempat ku hitung.
Aku merasa hidupku memang sudah mati, untuk apa mati lagi. Apalagi sampai bunuh diri dengan masih terjebak dalam lumpur. Aku hanya mampu menunggu, menunggu apa? Entahlah, mungkin suatu saat akan ada malaikat berwujud manusia yang akan membebaskanku dari belenggu setan ini. Dan ku harap malaikat itu, adalah pria yang sekarang sedang bersamaku. Pria yang sedang ku peluk dengan erat setelah percintaan kami. Ingin tahu siapa dia?
Namanya Darma, seorang anggota kepolisian berpangkat mayor. Usianya 36 tahun, kok aku tahu detailnya? Tentu, bahkan aku tahu tanggal lahirnya. Ku lihat KTP nya saat dia tertidur, untungnya dia belum menikah. Jangan salah menilai, dia bersamaku bukan karena membeli tubuhku untuk semalam. Dia tahu siapa aku, tentu. Malam itu dia datang ke diskotik tempatku di jajakan oleh iblis itu bersama temannya, kebetulan temannya itu salah satu pelangganku. Dia seorang tentara, itu sebabnya diskotik itu cukup aman beroperasi sebagai tempat pelacuran juga. Temannya mengenalkanku padanya dan menyodorkanku padanya. Dia bilang dia tak datang untuk itu, tapi temannya memaksanya. Akhirnya aku hanya menemani mereka minum di sebuah kamar yang sudah di booking. Saat kami setengah mabuk temannya pergi dengan beberapa wanita dan hanya tinggal kami berdua. Ku lihat dia berhenti minum tapi aku masih melanjutkannya hingga tak ingat apapun lagi.
Ketika bangun aku masih berada di kamar itu dengan pakaian yang masih lengkap, seorang pria bertubuh tegap dan berwajah tampan sedang duduk di sofa memandangku. Ini pertama kalinya terjadi dalam hidupku, biasanya siapapun pria yang bersamaku pasti dia akan langsung melucuti pakaianku dan menggauliku sepuasnya tak peduli aku sadar atau tidak, ketika terbangun aku sudah bugil dengan sejumlah uang di sisiku dan tak ada siapapun.
Tapi kali ini aku masih utuh, aku sedikit heran. Ia menanyakan namaku, ku jawab. ia meminta nama asliku, ku jawab juga. Susi! Lalu dia menanyakan usiaku juga, aku juga menjawabnya dengan jujur, 21. Setelah itu dia tak berkata apapun kecuali memberiku segepok uang, ku pandang uang di tangannya yang kekar itu.
"Untuk apa?"
"Untuk membeli pakaian yang pantas untukmu, dan mungkin untuk biaya agar kau bisa pulang kampung dan berhenti dari pekerjaanmu!"
"Aku tak punya tempat untuk pulang kampung kecuali ke neraka!" jawabku ketus tanpa menyentuh uang itu. Cukup tebal, mungkin memang cukup untuk melarikan diri ke tempat terpencil dan memulai usaha kecil. Darimana uang itu? Tak mungkin semalam ia membawa uang sebanyak itu ke sini, pasti saat aku masih tertidur ia pergi ke ATM.
"Bayar saja aku sesuai tarifku, karena aku hanya menemanimu minum kau boleh mmebayar separuhnya saja!" seruku.
"Dan berapa itu?"
"Tarifku, 1½ juta semalam!" jawabku tanpa menoleh padanya, padahal sebenarnya aku meliriknya. Ku lihat ia mencabut beberapa uang lalu menaruhnya di telapak tanganku, itu lebih dari tarifku semalam, sisanya ia simpan kembali, "aku harus kembali bekerja!" desisnya lalu tetap pergi meninggalkanku di sana. Esoknya dia datang lagi, merebutku dari seorang pria yang sedang ku temani minum di meja bar. Sempat terjadi perkelahian, dan itu mengundang para penjaga tempat itu ikut campur dalam perkelahian dan malah mengeroyoknya. Tentu, pria yang ia pukuli yang tadi bersamaku itu seorang palanggan tetap diskotik yang dalam waktu semalam bisa menyetorkan penghasilan hingga hampir seratus juta. Karena aku tak mau dia mati konyol maka ku teriak saja bahwa dia seorang polisi dan teman-temannya sudah ada di luar untuk menggrebek tempat itu. Hampir semua orang panik, saat itu ku tarik dia dan ku bawa keluar dari pintu lain. Kami di kejar, tapi untung mobilnya berada di tempat yang mudah di jangkau hingga kami berhasil kabur dari sana.
Dia membawaku ke apartementnya, beberapa hari aku tinggal di sana dia berlaku cukup sopan padaku. Aku tidur di kamar lain, dia bahkan sama sekali tak terlihat berniat menyentuhku. Apakah dia jijik padaku? Kalau begitu kenapa dia tak biarkan saja aku membusuk di neraka itu. Jujur saja, sikapnya yang lembut padaku mmebuatku jatuh cinta padanya. Padahal ku pikir cinta itu sudah mati dari hatiku, karena semua pria itu brengsek. Suatu malam di meja makan kami terlibat percakapan panjang. Aku bertanya banyak hal padanya, ternyata dia tahu banyak tentang aku. Darimana dia tahu? Dia bilang aku menceritakan hampir sebagian besar kisah hidupku saat aku mabuk berat di malam pertama kali kami bersama. Aku malah tak ingat apapun, jadi saat teler aku berceloteh panjang lebar padanya ya? Dan dia menanggapinya, itukah sebabnya saat itu ia menawarkanku sejumlah uang untuk pulang kampung? Aku mengerti sekarang, lalu ku tanya tentang kehidupannya. Dia bilang dia sempat punya tunangan, tapi wanita itu meninggal karena Alzaimer, padahal mereka sudah di ambang pelaminan. Awalnya tunangannya itu rutin minum obat tapi pada akhirnya ia mulai lupa meminum obatnya, karena sibuk bekerja pula. Padahal sudah di sarankan untuk berhenti bekerja saja, tapi dia memang keras kepala. Setiap kali di suruh berhenti kerja malah marah-marah tak karuan. Jadi itu sebabnya ia belum menikah, karena ia masih mencintai kekasihnya. Meski pada akhirnya penyakit sang kekasih bertambah parah dan bahkan lupa siapa dirinya, siapa keluarganya. Ada rasa cemburu di hatiku saat ia menceritakan wanita itu padaku. Seandainya ada seorang lelaki yang bisa mencintaiku seperti dia mencintai kekasihnya? Ah....itu hanya mimpi. Siapa yang mau mencintai pelacur sepertiku, tanpa terasa ku teteskan airmataku di depannya. Saat dia tanya kenapa, aku hanya menjawab.
Seandainya ada yang mencintaiku seperti kau mencintai kekasihmu, aku tidak akan butuh apapun lagi. Sayangnya....itu hanya mimpi bagiku!
Aku menangis terisak di depannya cukup lama, ku rasakan dia meraihku ke dalam pelukannya. Begitu hangat dan menenangkan. Tak pernah ku rasakan rengkuhan yang seperti itu, dan hal itu membuat tangisku makin dalam. Ia mengendurkan pelukannya, merengkuh mulutku ke dalam mulutnya. Paginya aku terbangun di dalam kamarnya, dia tak lagi di sisiku. Ku temukan pesan di secarik kertas,
Aku pergi bekerja, aku suka masakanmu. Maukah kau memasak untukku lagi?
Hanya itu yang tertulis, tapi itu membuatku tersenyum. Biasanya para pria akan berkata, aku suka tubuhmu dan itu membuatku muak. Kalimat sederhana, seakan berarti lebih. Seperti sebuah tawaran kehidupan yang jauh lebih baik. Tanpa terasa ku teteskan lagi airmataku dan ku peluk kertas itu.
Sejak itu hubungan kami menjadi lebih intim, perlakuannya padaku membuatku seolah seperti wanita lainnya yang layak di hormati dan di cintai. Ini seperti mimpi bagiku.
*****
Aku masih berbaring di atas dadanya yang bidang, ku rasakan tangannya membelai rambutku.
"Aku ingin sekali kembali ke kampung halamanku, ada sebuah rumah di sana. Tak terlalu besar, tapi dengan pemandangan pegunungan yang indah dan menenangkan. Ada sebidang lahan yang sekarang di garap oleh pamanku, ketenangan hidup di sana sungguh membuatku rindu!"
"Lalu bagaimana dengan pekerjaanmu di sini?"
"Aku bisa minta di mutasi, lagipula kantor polisi di desa itu cukup jauh. Jika ada sesuatu sedikit sulit menangani, mungkin aku bisa bekerja di sana!"
"Kedengarannya menyenangkan!" sahutku.
"Kau mau ikut bersamaku?" tawarnya.
Aku terbelalak, ku bangkitkan tubuhku dan ku pandang dia dengan tatapan tak percaya. "kita bisa membangun kehidupan kecil yang tenang di sana!" tambahnya, ia menatapku begitu lembut.
"Apa artinya itu?" tanyaku,
Dia mengangkat tangannya ke wajahku, membelainya lembut. Lalu ia bangkit dan meraih sesuatu di atas meja. Sebuah kotak kecil berwarna merah, sejak kapan benda itu ada di sana. Aku tak memperhatikannya. Ia membuka dan memungut isinya, lalu tanpa berkata apapun ia menyematkan cincin itu di jari manisku. Aku tertegun, masih tak mengerti.
"Apa ini?" tanyaku dengan suara bergetar, "maukah kau menikah denganku, menjalin hubungan yang lebih suci!" serunya. Ku tatap dia, sekali lagi dengan tatapan tak percaya. Apakah ini mimpi, dia mengajakku menikah? Mataku mulai menghangat lagi, dan butiran bening mulai meluncur deras membasahi pipiku.
"Kau pasti bercanda?"
"Aku ingin kau jadi istriku," desisnya seraya menyeka airmataku, "jadi ibu dari anak-anakku, kita bisa membangun keluarga kecil yang bahagia. Jauh dari dunia yang kejam ini!"
Langsung ku robohkan diriku padanya, menangis sedalam-dalamnya. Bukan karena bersedih, tapi karena haru dan bahagia, kebahagiaan yang ku pikir tak akan mungkin bisa aku miliki.
*****
Saat memasak makan malam aku kehabisan beberapa bahan, terpaksa ku tunda dan aku harus turun untuk pergi ke supermarket membeli beberapa bahan makanan. Saat hendak membayar, antriannya panjang sekali, mengantri bayar saja hampir setengah jam. Huh...., pasti Darma sudah sampai di apartemen, bagaimana ini? Apa dia akan marah karena aku tak ada di tempat dan makan malam belum siap?
Akhirnya kelar juga....., gerimis mulai deras dan akhirnya melebat ketika aku sampai di lobi apartemen, aku segera naik ke atas. Tapi ketika aku sampai dan masuk ke dalam yang pintunya sudah tak terkunci. Dia memang membawa kunci cadangan tapi biasanya pintu selalu di kunci. Aku tertegun dan barang bawaanku berhamburan ke lantai ketika ku lihat tempat itu berantakan. Seperti ada perampok yang mengacak-acak tempat itu. Aku pun berlari di antara barang-barang yang berhamburan seraya menyerukan nama Darma. Ku lihat ia tergeletak di dekat meja bersimpah darah. Dadanya berlubang dan sebuah pisau menancap di perutnya. Ia masih bernafas, ku hampiri dia dan ku pangku kepalanya dengan deraian airmata.
"Apa yang terjadi?" tangisku.
Darma membuka mulutnya tapi tak sepatah katapun keluar, ku lirik pisau yang menancap di perutnya. Ku raih dan ku cabut dari tubuhnya setelah itu ku buang begitu saja.
"Akan ku bawa kau ke rumah sakit!" serunya. Ia menggeleng pelan, "Susi....." desisnya lemah, aku masih menangis, hanya itu yang bisa ku lakukan. Ia meraba wajahku dengan tangannya yang merah karena darah. "ma-maafkan- a-ku!" katanya lalu tangannya terkulai. Ku dengar sirine mobil polisi mendekati tempat itu. Dia menghembuskan nafas terakhirnya di pangkuanku, beberapa saat kemudian. Aku sudah berada di balik terali besi, di sebuah ruangan pengap. Aku tak tahu siapa yang membunuh Darma tapi akulah tersangkanya, sidik jariku menjadi satu-satunya yang berada di pisau itu dna sidirk jarinya berada di senjata api miliknya yang tergelatak tak jauh darinya. Tak ada seorangpun yang tertangkap kamera di setiap koridor apartemen yang menjadi tersangka. Sampai saat ini pun aku masih tak tahu siapa yang membunuh Darma, mungkin salah satu orang yang tak menyukainya, padahal dia orang yang begitu baik. Atau mungkin anak buah germoku yang datang membunuhnya dan hendak membawaku kembali, tapi tak menemukanku. Entahlah, yang jelas....sekarang di sinilah aku. Dulu aku seorang pelacur, kini predikat pembunuh juga aku sandang.
Duniaku kembali dingin dan beku, sedingin hujan lebat di luar sana yang bisa ku dengar dari tetesannya di atap. Sekarang.....siapa aku? Aku juga tak tahu, kau boleh memanggilku apa saja, memakiku sesukamu. Aku sudah tak peduli!
**********
Jakarta, 7 Januari 2015
Y. Airy.