Dulu, sewaktu masih duduk di bangku kuliah. Si Fulan pernah terlibat dalam perbincangan filosofis dan fundamentalis mengenai tuhan. Sebenarnya ia sangat berharap agar tidak pernah terusik oleh perbincangan yang tiada habisnya itu.
Siang itu, selepas berdiskusi dan mendapatkan masukan-masukan berharga demi kemajuan proses penyusunan skripsinya, Si Fulan melepas penat, dahaga, dan memanjakan perutnya yang telah menjerit-jerit minta asupan makanan sejak dari ruang dosen tadi. Di kantin, ia memesan seporsi gado-gado dengan nasi putih berikut segelas es teh.
Saat sedang menikmati makan siangnya, Don dan Juan datang, mereka teman satu jurusan Fulan. Obrolan ngalur ngindur pun terjadi, khas mahasiswa. Mereka membicarakan apa saja, mulai dari sepak terjang para politisi negeri, gegap gempita kemenangan klub sepakbola kesayangan, dsb. Entah bagaimana, Don tiba-tiba menggelontorkan satu pertanyaan yang menyentil keimanan mereka, "Apa jenis kelamin tuhan? Laki-laki kah? Atau perempuan? Dan bagaimana sifatnya? Kebapakan kah? Atau justru keibuan?"
Bila Nietzsche, dalam Thus Spoke Zarathustra, dengan beraninya mengatakan, "Gott ist tot" (Jerman: Tuhan telah mati), Fulan masih bisa mengerti. Hal itu tidak terlepas dari kegilaan orang bernama Nietzche itu sendiri, pikirnya enteng. Tapi pertanyaan Don ini, apa pula maksud dan esensinya?
"Bagaimana menurut lo, Fulan? Ketika lo beribadah, apa yang lo rasakan ketika menghadap-Nya? Apakah seperti bersimpuh dan mengadu kepada seorang Ibu ataukah justru seperti meminta uang jajan kepada ayah?" Don terus mencerocoskan pertanyaan gilanya yang membuat Fulan semakin tergagap, syok mendengar pertanyaan yang tiada pernah diduga sebelumnya.
"Entahlah, Don. Tapi yang pasti, Allah itu berbeda dengan makhluk ciptaannya. Bukankah salah satu sifat Allah adalah mukhlafatu lil hawadits? Artinya Allah berbeda dengan ciptaanNya?”
“Iya, gue tahu tuhan berbeda dengan makhluk ciptaan-Nya. Yang gue tanya ke lo; apa yang lo rasakan ketika lo shalat? Rasanya sama seperti bersimpuh di hadapan seorang ibu ataukah seperti menghadap seorang ayah?”
Juan yang tiba-tiba diam sejak Don menggelontorkan pertanyaan gila itu, kini angkat bicara, “Dulu gue pernah ditegur dengan keras oleh ustadz ngaji gue, ketika gue bertanya di mana tuhan tinggal. Dan semenjak itu gue gak berani mempertanyakan hal-hal yang semacam itu lagi. Intinya gue percaya tuhan itu ada.”
Setelah menjawab, Juan bangkit dari tempat duduknya, membayar makan siangnya, dan menggeloyor keluar dari kantin. Don yang masih bersikukuh menanyakan pertanyaannya ke Fulan, masih tetap menanti jawaban.
“Wallahualam, Don. Jujur, gue merasa terusik dengan pertanyaan lo yang seperti ini. Dalam satu ayat Al-Quran ada dikatakan, 'Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.' (Quran surat As-Syura ayat 11). Dan hal itu juga berarti bahwa tuhan tidak memiliki jenis kelamin yang sama seperti makhluknya. Atau dengan kata lain, tuhan tidak feminin, juga tidak maskulin, apalagi di antara keduanya. Tuhan tidak keibuan juga tidak kebapakan. Tuhan adalah tuhan. Sifat Allah yang lain, wahdaniyah, berarti bahwa Allah itu esa atau tunggal. Sesuai dengan kalimat syahadat, fondasi keimanan kita sebagai seorang muslim. Juga diperkuat oleh salah satu ayat Al-Quran; 'Sekiranya ada di langit dan di bumi ilah-ilah selain Allah, tentulah keduanya itu sudah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.' (Quran surat Al-Anbiya ayat 22).”
“Tapi tiap kali gue shalat, gue merasa seperti sedang bersimpuh di hadapan seorang ibu”, potong Don.
“Wallahualam, Don. Wallahualam,“ Fulan pun mengikuti jejak si Juan; bangkit berdiri, membayar makan siangnya, dan menggeloyor keluar kantin, meninggalkan Don sendiri dengan pikirannya yang rumit.
–-
Tentang Si Fulan di Negeri Nelangsa:
Kisah-kisah Si Fulan di Negeri Nelangsa merupakan kisah oleh tokoh fiktif di negeri yang fiktif pula. Namun esensi kisahnya mungkin berkaitan langsung dengan kisah di negeri selain Negeri Nelangsa. Satu hal yang perlu saya tekankan, tidak ada satu kisahpun yang bertujuan untuk mendiskreditkan pihak manapun. Saya menulis kisah-kisah Si Fulan di Negeri Nelangsa ini hanya untuk berlatih menulis; naratif dan terkadang argumentatif, dibumbui dengan gaya bahasa metaforis dan satir.