Baru-baru ini, Rabu (14/04), muncul kasus lain yang tak kalah heboh di negeri nelangsa ini; kerusuhan akibat rencana pengambilalihan lahan sengketa (makam Mbah Priuk) oleh pihak Pemkot Jakarta Utara
feat PT Pelindo
versus ahli waris lahan tersebut. Beberapa orang menjadi korban akibat insiden bentrok yang terjadi antara aparat keamanan beserta Polisi Pamong Praja melawan warga yang menolak eksekusi lahan. Hampir seharian penuh, sejak pagi buta hingga menjelang malam (bahkan hingga hari ini, Kamis 15/04), stasiun-stasiun televisi dan portal-portal berita
online dalam negeri dipenuhi oleh pemberitaan seputar insiden ini. Siang harinya, ketika saya mengakses situs jejaring sosial populer, Facebook, saya melihat satu undangan grup yang menamakan dirinya, “GUGAT PELINDO DAN PEMKOT JAKARTA UTARA atas tragedi Makam Mbah Priuk.” Tidak, tidak, tidak. Saya tidak akan membahas lebih jauh tentang kasus sengketa lahan itu. Melainkan di sini saya hanya akan berfokus pada fenomena yang terjadi; korelasi
social media dengan
social movement (yang selanjutnya akan saya gunakan istilah media sosial untuk
social media, dan pergerakan sosial untuk
social movement).
KEMBALI KE ARTIKEL