Film adalah karya budaya. Ini bukan klaim sepihak insan perfilman dan pengamat budaya semata, melainkan penegasan formal dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Dengan klaim itu, sebagian insan perfilman, aktris dan aktor, menggugat sensor atas film yang dimiliki Lembaga Sensor Film, alih-alih memasung kebebasan berekspresi
(freedom of expression), mengukuhkan dominasi kekuasaan negara, atau melemahkan kemandirian dan daya kritis masyarakat dan komunitas terhadap film (baca
disini dan
disini). Kewenangan sensor mereka gugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), walau pada akhirnya ditolak karena MK menilai kebebasan berekspresi tidak berarti tanpa kendali, sehingga sensor dianggap masih relevan, dan berlaku
conditionally constitutional (baca
disini dan
disini).
KEMBALI KE ARTIKEL