Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe

Putra Nababan dan Cita-Citanya

18 April 2013   21:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:59 1750 1



Putra Nababan menuturkan satu kisah kala ia diberikan satu pertanyaan oleh seseorang pada pengalamannya meliput berita. Menurut Anda, siapa guru bangsa di negara kita ini? Saya sebutkan nama-nama tokoh satu per satu. Tapi salah, katanya. Lalu siapa? Tanya saya. Guru bangsa di negara ini adalah profesor, doktor dan media massa” (Putra Nababan, 04 April 2013 di Pendopo USU).




Usai mencetak tugas kuliah, sekitar jam 1 siang saya bersama lima orang kawan bergegas menuju Pendopo USU. Dari depan kampus FISIP, kami menunggu Linus – bus Lintas USU yang baru saja launching pada awal Maret yang lalu. Kami tidak terlalu lama menunggu. Linus yang kami tumpangi ternyata cukup padat penumpangnya. Kami pun rela berdiri didalam bus hingga ada penumpang turun.

***

Pendopo USU siang ini sedang ramai. Saya dan kelima kawan beserta orang-orang yang turut datang dan berkumpul di Pendopo tentu memiliki tujuan serupa. Kami menghadiri pelatihan jurnalistik yang digelar oleh MetroTV on Campus bekerja sama dengan Universitas Sumatera Utara.

“Sebelum masuk (kedalam area pelatihan) silakan ambil kopi dulu ya, kak”, seorang perempuan yang mengenakan baju kaos putih bersponsor kopi Torabika Cappuccino menyilakan saya untuk mengambil secangkir mini kopi sebagai aba-aba untuk masuk. Walaupun tidak menyukai kopi, saya terpaksa mengikuti perintah panitia. Dengan secangkir mini kopi di tangan kanan dan tiket masuk di tangan kiri, akhirnya saya masuk ke area pelatihan.

Dua menit setelah tibanya saya di tempat, acara pelatihan segera dimulai. Seorang mahasiswi Ilmu Komunikasi memandu jalannya acara. Tanpa banyak buang waktu, selesai sambutan dari Ketua Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, MC lekas memanggil pemateri utama pelatihan.

“Inilah dia, Bapak Putra Nababan, Pimpinan Redaksi MetroTV yang berhasil menyelesaikan studi SMA-nya satu tahun di Amerika, dan melanjutkan studi S1 (nama kampusnya saya lupa—di luar negeri) hanya tiga tahun!”.

Tangan-tangan ratusan manusia yang hadir kompak bertepuk sekaligus bersorak tanda sukacita menyaksikan Putra Nababan kini di depan mata. Lelaki berkacamata dan mengenakan kemeja biru berlogo MetroTV itu ternyata memang tampan adanya. Rona mukanya yang putih, juga seluruh kulit tubuhnya yang kasat mata cemerlang memang patut ditebarkan senyuman manis. Seharusnya ‘kan wartawan itu berkulit gelap yah karena harus meliput berita yang kebanyakan di luar ruangan. Tapi ini kok malah berkilau bak sinar mentari.

Dalam durasi seperhitungan saya 90 menit, ia menyampaikan materi TV Berita dan Produksi Berita di TV. Ia mengawali materinya dengan mengatakan, “Menjadi seorang wartawan itu adalah pilihan hidup”. Dengan lancar ia menceritakan pengalamannya sedari awal menjadi seorang wartawan hingga kini duduk di posisi Pimpinan Redaksi.

Cita-cita menjadi wartawan

Saat masih SD, tuturnya, ia pernah mengatakan kepada Ibunya bahwa ia ingin menjadi wartawan. Respon sang Ibu rupanya kurang membangkitkan semangatnya. “Gaji wartawan itu sedikit”. Ia malah sama sekali tidak memikirkan soal upah kerja. Ia hanya berniat menjadi wartawan dan harus menjadi wartawan. Pada waktu ia menamatkan sarjananya, ia melamar pekerjaan menjadi seorang wartawan di media cetak: koran.

“Jangan pikir kalau sudah tamat kuliah, bisa langsung jadi produser atau wakil pimred”. Untuk mencapai level tertinggi, ucapnya, kita harus berani memulai dari bawah. Memang benar, pada awal sekali ia hanya berstatus sebagai wartawan koran, lalu menjadi redaktur, hingga akhirnya naik tingkat sebagai wakil pimpinan redaksi koran. Lalu ia kembali mengenang masa penyampaian cita-citanya kepada ibunya. “Setelah bertahun-tahun bekerja menjadi wartawan, saya datang lagi kepada mamak saya dan mengajak dia makan di luar. Ini untuk membuktikan kepada mamak saya dan orang lain bahwa bekerja sebagai wartawan memang tidak menghasilkan uang yang banyak.Tapi bagi saya hingga saat ini, gaji wartawan dapat mencukupi kebutuhan saya”,ucapnya dengan bangga.

Setelah itu, ia berpikir untuk pindah haluan dari wartawan koran menjadi wartawan televisi. Mengapa? Nah, sebelum ia ceritakan lebih lanjut, ia bertanya kepada peserta pelatihan.

“Siapa diantara kalian yang tadi pagi sudah membaca koran?”. Luar biasa. Hanya ada dua buah tangan yang nampak terangkat ke atas. Selanjutnya ia kembali bertanya. “Siapa diantara kalian yang tadi pagi sudah menonton berita?”. Kelihatan puluhan tangan terangkat ke atas mengaku diri sudah menonton berita pada Kamis pagi tadi. Saya juga kaget sih. Dari lima ratusan orang di tempat itu hanya dua orang yang sudah membaca koran pagi hari. Saya jadi malu karena termasuk dalam hitungan orang-orang yang belum membaca koran pagi hari.

“Nah, karena inilah alasannya kenapa saya memilih untuk pindah tempat bekerja. Pada zaman sekarang, kebanyakan orang tidak suka membaca koran lagi. Orang-orang lebih suka duduk diam dengan manis di depan TV, apalagi kalau sambil nge-meal dan menonton TV”. Saya pun ikut mengaminkan perkataannya itu. Ketika sarapan pagi tadi, saya sengaja duduk di depan TV sambil menonton berita. Saya rasa ini lebih baik ketimbang makan sambil duduk diam saja. Kalau makan sambil nonton TV, saya bisa mendapat informasi terbaru hari ini.

Karena itu, dia pun mengabdikan diri bekerja sebagai reporter berita di media televisi. Selama 8,5 tahun ia mengaku bekerja di RCTI. Dimulai menjadi seorang reporter hingga menjadi pembawa berita. Kemudian ia pindah tempat dan kini bekerja di MetroTV dengan jabatan Pimpinan Redaksi. Namun, ada satu hal yang bagi saya perlu mendapat perhatian. Secara pribadi, saya sangat menghargai profesi wartawan. Saya kira ini bukan pekerjaan yang gampang, segampang anggota dewan yang bisa membiarkan kursinya kosong pada saat rapat.

Sejak SD, saya suka sekali memikirkan hal-hal yang berada di “balik layar”. Saya sering bertanya-tanya bagaimananya cara mereka bekerja di bagian produksi berita ini. Pasti banyak pengorbananlah yah? Apalagi MetroTV sebagai salah satu TV Berita yang hampir 24 jam menyajikan berita teraktual. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana para reporter mencari berita seharian hanya untuk dikabarkan kepada khalayak umum. Apakah mereka bekerja dari pagi, siang, sore dan malam demi mencari berita? Itu pikiran polos saya dulu. Semakin bertambah usia, akhirnya saya tahu bahwa reporter tidak bekerja sendirian. Mereka punya tim kerja. Mereka punya manajemen kerja yang apik. Mereka bekerja dengan prinsip dan tanggung jawab.

Tugas wartawan, katanya lagi mengakhiri materi, adalah membantu mencerdaskan kehidupan bangsa. Melalui media massa, wartawan bekerja untuk mengajak masyarakat dan pemerintah berpikir untuk memberikan solusi bagi perbaikan kondisi kehidupan bangsa yang rusak. Media massa harus ikut membuat generasi muda menjadi terdidik. Oleh sebab itu, Putra Nababan yakin dengan media televisi, akan menolong masyarakat untuk sadar dan ikut dalam pencerdasan kehidupan bangsa. “Itu makanya kalian juga harus mau menonton berita”.

***

90 menit bagi pembawa berita tenar itu bercerita bagi saya cukup menarik dan menginspirasi. Siapa sangka cita-cita masa kecilnya dulu bisa terwujud pada masa kini. Perjuangan yang hebat.

Sehabis Putra Nababan, tampillah pemateri kedua yang menyampaikan materi “Reporter dan Presenter”. Yohana Margaretha, seorang perempuan cantik dan masih muda menggantikan penyampaian materi yang seharusnya diberikan oleh Prabu Revolusi namun berhalangan hadir.

Mendengar kisah Yohana, saya malah dibuat tercengang. Pengalamannya cukup berbanding terbalik dengan Putra Nababan. Ia bukanlah seseorang yang bercita-cita atau bahkan sekadar berkeinginan bekerja di bidang jurnalistik. Ia dulu tidak suka dengan wartawan. Ia menjalani profesinya saat ini karena dulu dimodali rasa ingin tahu yang besar. Ternyata perempuan ini memiliki kisah yang benar-benar berbeda. Ia yang dulu tidak suka dengan jurnalistik, kini menjadi bagian dari jurnalistik itu sendiri. Ia pun berbagi pesan kepada peserta, “Makanya, kalian juga jangan terlalu benci dengan sesuatu. Karena “benci jadi cinta” itu nanti bisa jadi benaran, lho!”. Semua peserta pun tertawa mendengar petuah klasik itu.

***

Akhirnya, cerita ini harus bergantung karena saya pun hanya mampu mengikuti acara hingga pukul 4sore. Saya harus balik ke kampus untuk kuliah pukul 16.20 wib. Jadi, dalam tulisan ini memang saya tidak menjelaskan bahan materi yang diberikan oleh Putra Nababan maupun Yohana Margaretha tadi. Saya lebih tertarik menuliskan angle lain dari materi pelatihan jurnalistik ini. Selamat Malam :D

[Catatan harian saya, 05 April 2013]

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun