Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

(Makna) Yang Hilang dari Ritual Pernikahan Bugis

11 Mei 2024   09:05 Diperbarui: 11 Mei 2024   09:06 520 2
Suatu hari di sebuah hajatan prosesi lamaran, saya bertemu dengan seorang kawan lama. Namanya Awal, salah seorang tokoh agama di kampung, akrab dipanggil Pak Ustad. Setelah prosesi Mappenre Balanca (salah satu tahapan ritual akad nikah Bugis), kami (saya dan pak ustad) menarik kursi yang di depannya ada meja dengan hidangan barongko, katri sallang, lapisi, onde-onde, dan aneka kue lainnya.
 
Karena lama baru bersua, kami jadi punya banyak isu untuk dibahas. Topik dimulai dari upaya menumbuhkan kembali tarekat-tarekat lama yang pernah lahir dari rahim NU (Nahdlatul Ulama). Untuk topik yang ini, saya hanya yess saja. Karena saya pikir itu memang penting bagi penguatan tradisi beragama. Agama tanpa tradisi berpotensi melahirkan dogma. Dan dogma lebih dekat pada kesesatan. Dan, bagi saya tarekat-tarekat yang ada adalah representasi dari penguatan tradisi dalam beragama.

Lalu perbincangan kami lanjutkan ke topik adat. Beberapa ritual yang kita saksikan hari ini terasa jauh berbeda dengan apa yang pernah dipraktekkan orangtua dulu. Kini adat sedang berada di persimpangan dan didera kegamangan: bertahan dengan yang otentik namun kurang diminati, atau mengombinasikannya dengan tuntutan perubahan namun berpotensi tereduksi dan kehilangan makna.

Padahal, ritual-ritual itu tidak hadir di ruang kosong. Ada makna yang dalam terkait tradisi, pesan-pesan kultural, baik tentang hubungan kedua mempelai, juga tentang bagaimana rangkaian adat itu menggambarkan proses terbangunnya sebuah rumah tangga.

Menurut ustad Awal, bahwa sejumlah ritual adat kini telah berpotensi mengalami kesalahan penafsiran bahkan mungkin yang paling fatal adalah terjadinya kekosongan makna.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun