Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Bissu; Tradisi Orang Bugis

3 Juni 2012   07:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:27 435 0
Sebelum Islam masuk ke Tanah Bugis, di Sulawesi selatan dikenal naskah La Galigo. La galigo Kebanyakan dianggap disamakan sebagai sebuah agama atau aliran kepercayaan orang bugis sebelum memeluk Islam. Naskah La Galigo sebenarnya, jika bandingkan naskah yang lain Mahabarata dan Ramayana, melebihi keduanya. Berdasarkan hitungan ribuan halaman manuskripnya dan jalinan tokohnya yang sangat kompleks, Kern(1935:1) dan Sirtjo Koolhof(1995:1). Karena itu penelitian tentang naskah ini masih digali oleh para pakar.

Dalam naskah La Galigo ada yang disebut Bissu, dimana memiliki kemiripan dari kata Biksu dalam tradisi Budha. Walaupun sebenarnya berbeda. Bissu dalam tradisi bugis adalah pemimpin upacara adat yang bersifat ritual. Dimana mereka dianggap sebagai perantara manusia dengan para dewa.

Kalo sekarang, Bissu mungkin bisa disamakan dengan wadam, atau waria. Karena memang golongn Bissu barada di tengah gender. Antara laki-laki dan perempuan. Tapi hal itu banyak ditolak oleh sebahagian pakar sejarah. Keyakinan orang-orang bugis mengaggap Bissu telah melepaskan kodratnya, dan secara otomatis melepaskan pula hasrat biologis mereka. Dengan menjadi seperti itu mereka bisa berhubungan dewa dan tidak akan terputus. Hoykas (1950:12)

Dalam hal di kerajaan, bissu punya tugas merawat dan mengatur alat-alat kerajaan dan benda-benda suci yang dikeramatkan. Tidak hanya itu, Bissu juga dipercaya kerajaan untuk menjaga puteri raja, khusunya ketika mandi dan berganti pakaina.

Bissu punya bahasa khusus yang digunakana dikalangan mereka. Yang juga disebut dengan bahasa Bissu. Yang sanagat berbeda dengan bahasa bugis, karena penuh dengan simbol-simbol  dan diperkaya dengan kosa kata yang arkahis. Meskipun begitu ada sedikit kesamaan, tapi sangat kecil.

Contohnya:

“Tudakko denra manningo, gojengngaq denra malletung, tudakkommattule-tule;

mattule-tule tinajau”

Artinya:

“Aku membangunkan dewa yang tidur, aku membangunkan dewa yang berbaring, bangunlah duduk-duduk, duduk-duduk dengan tenang”.(Johan Nyompa, 1985:27)

Pada contoh diatas, hanya kata “tudakko” artinya duduk, yang merupakan bahasa bugis selebihnya hanya dipahami oleh kalangan bissu saja.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun