Kaki saya sudah berdiri untuk kaum miskin. Tidak mungkin kaki yang sama berdiri untuk dua tempat berbeda. Kalau saya berada di istana kepresidenan, posisi berdiri saya tetap untuk kaum miskin.
Oleh : Rikard Bagun/Kompas
SEMANGAT keberpihakan kepada kaum miskin itu antara lain ditegaskan Fernando Lugo Mendez dalam wawancara dengan wartawan Kompas, Kamis (14/8 ) di Rumah Induk Sociedad del Verbo Divino (SVD) di Asuncion, Paraguay, sehari sebelum pelantikannya menjadi presiden.
Malam sebelumnya mantan uskup itu membuat beberapa orang terperangah. Tidak lama setelah tiba di rumah pribadi milik keluarga di pinggiran Asuncion, Lugo bergegas meminta rekan dekatnya dalam gerakan sosial, Martin Bhisu asal Flores, Nusa Tenggara Timur, yang sudah menunggu lama, untuk cepat-cepat ke Rumah Induk SVD.
Tanpa pengawalan apa pun, Lugo menumpang mobil setengah pick-up, kendaraan operasional Martin Bhisu, menjelang tengah malam itu. Di samping Martin, duduk tokoh muda Indonesia, Budiman Sudjatmiko, sementara Lugo duduk di belakang bersama Kompas dalam perjalanan sekitar 40 menit itu.
Terasa sedikit tegang karena “nasib” pemimpin yang sedang populer di Amerika Latin itu berada di tangan tiga orang Indonesia. “Aduh kalau terjadi apa-apa,”terdengar suara bergumam setengah kecut.
Kamar tidur Lugo di Rumah Induk SVD kebetulan pula berdampingan dengan Martin Bhisu dan kamar Kompas, bahkan berhadapan dengan kamar penginapan Budiman.
Sama sekali tidak terlihat petugas keamanan khusus keetika Lugo berada di Rumah Induk SVD, tempat yang sering diinapinya sekalipun sudah terpilih menjadi presiden, April lalu. Kamarnya sangat sederhana, dengan tempat tidur kayu yang ditutupi busa tipis.
Kesederhanaan Lugo juga terlihat pada rumah kediaman yang dihibahkan keluarganya di pinggiran Asuncion, kota berpenduduk 600.000 jiwa itu.
Dalam wawancara di Rumah Induk SVD di pinggiran Asuncion, kota indah dan sejuk, Lugo didampingi Martin Bhisu, sekretaris pribadinya saat masih menjadi uskup. Martin yang mengikuti kiprah dan pemikiran Lugo mengatakan bahwa tokoh pergerakan itu mengetahui Pancasila dan Soekarno, yang antara lain menekankan keadilan sosial dan kedaulatan bangsa yang kini sedang diperjuangkan secara nyata di Paraguay dan kebanyakan Amerika Latin.
Sesekali dalam wawancara itu tokoh muda Indonesia, Budiman Sudjatmiko, terlibat dalam pembicaraan dengan Lugo tentang gerakan sosial dan politik progresif di Amerika Latin, termasuk kemungkinan pengaruhnya ke Asia dan Afrika.
Berikut hasil wawancara dengan Lugo :
Apa yang mendorong Anda meninggalkan jabatan keagamaan sebagai uskup dan masuk dalam dunia politik yang keras sampai terpilih jadi presiden ?
Saya terpanggil berpolitik dan berjuang menjadi presiden karena desakan keadaan Paraguay. Sudah lebih dari 61 tahun negeri ini berada di bawah rezim yang korup. Paraguay tidak mungkin terus bertahan jika korupsi terus merebak luas, yang membuat jumlah orang miskin dan menderita semakin meningkat.
Lawan-lawan politik Anda didukung oleh kalangan pengusaha dan media massa besar, sementara dukungan utama Anda kaum miskin. Bagaimana persoalan kepemimpinan Anda ?
Setelah terpilih, saya dengan sendirinya menjadi pemimpin untuk semua rakyat Paraguay, kaya atau miskin. Namun, keberpihakan saya jelas tetap terhadap kaum miskin dan menderita.
Apa prioritas pemerintahan Anda ?
Peningkatan pelayanan publik dengan pertama-tama melakukan depolitisasi birokrasi. Akan dilakukan pula kontrol ketas atas pengelolaan keuangan negara untuk mencegah korupsi. Akan dilakukan perubahan tata kepemilikan tanah (landreform), serta menciptakan kedaulatan energi.
Anda termasuk penganut neo-sosialisme khas Amerika Latin. Apa yang Anda perjuangkan bersama tokoh Amerika Latin lainnya dari sosialisme baru itu ?
Saya memandang diri saya sebagai bagian dari sejarah yang sedang berkembang di Amerika Latin. Apa yang terjadi di Amerika Latin merupakan fenomena global dan anak zaman. Bisa-bisa neososialisme yang menekankan praktik, bukan wacana, ini akan segera bertiup di Asia dan Afrika.
Apa pengaruh Teologi Pembebasan bagi gerakan politik Anda ?
Terus terang, saya pengagum dan peminat Teologi Pembebasan, yang antara lain telah membuat saya mampu memahami realitas kemiskinan dan ketimpangan sosial.
Lantas, apa hubungannya dengan politik ?
Teologi Pembebasan memang bukan gerakan politik dengan wadah partai politik,namun memberikan inspirasi bagi tindakan politik saya. Ketika berpolitik, saya bertindak sebagai warga negara, bukan sebagai penganut Teologi Pembebasan.
Bagaimana Anda merefleksikan kehidupan selama ini, terutama sebagai biarawan, setelah berada di puncak kekuasaan ?
Pergulatan keagamaan saya sangat mempengaruhi pilihan dan keberpihakan politik saya. Saya anak Gereja dan dibesarkan di dalamnya. SVD adalah ibu yang membesarkan saya. Saya patut berterima kasih atas nilai yang saya peroleh untuk persaudaraan yang bersifat universal dan lintas budaya.
Anda selama ini bergaul dan hidup dengan orang pinggiran, bahkan dijuluki Uskup Kaum Papa. Apa perasaan Anda ketika memasuki dan hidup di istana ?
Saya tidak akan berubah. Sebaliknya, saya ingin mengubah politik dengan nilai-nilai kebaikan yang saya dapatkan dari lingkungan keluarga, kongregasi saya, SVD, dan pergaulan dengan masyarakat miskin.
Kaki saya sudah berdiri untuk kaum miskin. Tidak mungkin kaki yang sama berdiri untuk dua tempat yang berbeda. Kalau saya berada di istana kepresidenan, posisi berdiri saya tetap untuk kaum miskin.
Setelah selesai menjadi presiden, apakah kembali ke biara ?
Saya akan kembali bekerja sesuai dengan panggilan hidup saya sebagai rohaniawan, tapi dengan cara lain. Saya akan tetap sebagai seorang religius, tapi bukan dalam pastoral aktfif.
Mungkin akan memilih cara hidup yang lebih meditatif dan reflektif agar bisa membagi pengalaman hidup berpolitik dan religius, terutama kepada kelompok masyarakat miskin dan lemah.