Pertanyaannya: Apakah Candi Cetho dan Candi Sukuh merupakan hasil karya yang dipengaruhi oleh Budaya Maya? Tentu sulit menjawabnya. Ada pendapat yang mengatakan demikian, seperti yang diungkap oleh Yayasan Turangga Seta. Bahkan, Turangga Seta juga menghubung-hubungkan arca-arca di Candi Cetho dan Candi Sukuh, dengan patung-patung/ arca hasil kebudayaan Sumeria yang konon merupakan kebudayaan tertua dunia! Namun, para arkeolog lebih meyakini bahwa, melihat struktur bangunannya yang mirip punden berundak, Candi Cetho dan Candi Sukuh merupakan warisan masa Majapahit Akhir.. Peninggalan abad 14-15 Masehi. Warisan asli leluhur Nusantara.
Teras VIII-XII
Teras I sampai dengan VII, kompleks Candi Cetho sudah diulas dalam artikel ”Menikmati Kabut Senja dan Garudeya Di Candi Cetho”. Di teras VIII sampai Teras XII, wujud asli dari teras-teras Candi Cheto sudah tidak nampak. Di tiap teras, terdapat Gapura Paduraksa. Saat ini di tiap teras berdiri pendopo/ cungkup yang merupakan bangunan baru. Digunakan untuk kegiatan ritual maupun tempat meletakkan arca-arca. Di teras IX dan X masing-masing terdapat 2 pendopo. Berangka kayu, beratap genteng. Di Teras XI dan XII masing-masing terdapat 6 bangunan (bilik) dari kerangka kayu dengan atap ijuk.
Di bilik-bilik beratap ijuk ini, di dalamnya diletakkan arca. Ada arca yang disebut sebagai Arca Sabdo Palon dan Naya Genggong. Kedua nama ini dikenal sebagai abdi dalem Prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit. Kemudian di bilik yang lain terdapat arca Phallus (Lingga/ kelamin laki-laki) simbol dari Betara Siwa. Di bilik yang lain dijumpai juga arca Eyang Brawijaya V. Itulah sebabnya, Raja Brawijaya atau Bhre Kertabumi dipercaya Moksa di Lereng Lawu ini
Selain bilik, sda sebuah bangunan berangka kayu di sekitar bilik-bilik itu yang digunakan untuk menyimpan beberapa kekunaan tinggalan dari Empu Supa (Empu Supagati). Empu ini tersohor sebagai pembuat Keris dan Tombak dari Kadipaten Blambangan, jaman Majapahit. Hasil karya Empu Supa mempunyai ciri: Besinya hitam padat, keras dan seperti ”berurat”. Bilah kerisnya ramping, tapi berkesan galak dan berwibawa. Pamornya biasanya adalah ”wus wutah”
Candi Induk
Candi Cetho, sebagai candi induk terletak di Teras XIII. Merupakan kawasan Mandala Utama atau areal paling utama. Tempatnya paling tinggi. Hal ini menunjukkan keyakinan dari pembuatnya bahwa dewa-dewa dan roh leluhur tidak bersemayam di langit, tapi bersemayam di puncak-puncak gunung. Gunung merupakan sumber energi yang luar biasa bagi para penganut Millenarisme.
Bila dihubungkan dengan beberapa tinggalan berupa relief, agaknya Candi Cetho sangat erat dengan konsep pengruwatan. Membersihkan diri baik secara lahir dan batin. Ini terkait dengan penemuan beberapa relief Sudhamala di Teras agak bawah. Begitu juga dengan keberadaan sebuah Sendang (mata air) atau Patirtaan di sebelah atas Candi Cetho, makin menguatkan bahwa konsep ”pembersihan diri” begitu kental seperti yang tergambarkan di keseluruhan kompleks Candi Cetho. Ini juga dijumpai di kompleks Candi Sukuh.
Sebagai catatan, ada bangunan baru berupa patung berupa Dewi Saraswati yang dibangun sebagai sumbangan masyarakat Bali yang konon untuk "mempercantik" kawasan sebelah atas Candi Cetho. Cantik atau tidak itu relatif. Tergantung imajinasi dan apresiasi pengunjung dan penikmatnya saja.
Bagi saya pribadi, melihat dan menikmati keunikan karya besar leluhur berupa 2 bangunan Asli "Chichen Itza”, lalu menghirup segarnya hawa pegunungan, melihat hijaunya pemandangan sekitar sudah merupakan proses pembersihan batin yang paling cocok untuk sejenak keluar dari hiruk pikuk keseharian yang kadang bikin spaneng!
Link terkait :
1. ”Menikmati Kabut Senja dan Garudeya Di Candi Cetho”
2. Candi Sukuh