Mohon tunggu...
KOMENTAR
Bahasa

KABAR BUKU: Kembang Goyang ~ Orang Betawi Menulis Kampungnya ~ Sketsa, Puisi & Prosa ~ 1900-2000 (Penerbit Padasan, Oktober 2011)

30 April 2013   10:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:22 689 0

oleh Mega Trianasari Soendoro

Kembang Sastra Tanah Betawi

Antologi karya ini mempunyai nilai lebih pada sisi historisitasnya sebab sebagian dimensi kebetawian yang pernah ada sepanjang kira-kira satu abad, terpampang di sini. Dan agar “nilai lebih” tadi tidak berhenti sebagai label belaka, perlu segera digarisbawahi bahwa kerja menelisik, mengumpulkan, atau pun dapat berupa mengais karya-karya yang pada masanya barangkali tidak dianggap signifikan dan kemudian diterbitkan kembali ini, bukanlah kerja yang bersifat nostalgis atau romantis, melainkan suatu komitmen dan langkah intelektual yang nyata.

(Ibnu Wahyudi, Pengamat Sastra & Dosen FIB-UI)

SASTRA sebagai hasil budaya adalah ekspresi manusia mengenai keberadaan diri dan refleksi dirinya atas lingkungan yang disampaikan lewat bahasa. Pengertian tersebut diperlihatkan dengan jelas melalui Kembang Goyang: Orang Betawi Menulis Kampungnya (1900-2000)~Skesta, Puisi & Prosa, yang mendeskripsikan Tanah Betawi lewat karya para penulis berdarah Betawi, baik dalam bahasa Betawi, dialekBetawi, maupun bahasa Indonesia baku. Tanah Betawi yang dimaksud adalah wilayah yang menggunakan bahasa atau dialek Betawi (diantaranya Jakarta, Bekasi, Depok, dan Tangerang), dan orang Betawi yang dimaksud adalah orang yang berdarah Betawi,dari kedua orangtua atau salah satunya (hal. 308).

Banyak hal dapat digali dari buku berisi 48 judul tulisan yang layak disebut sebagai monumen Betawi dalam bentuk lembaran” ini. Lupakan ekspektasi Anda bila mengharapkan isinya berupa kebudayaan Betawi seperti lenong, topeng, gambang kromong, atau cokek; dan beberapa kuliner khas Betawi seperti kerak telor, soto betawi, atau kue gemblong; serta cerita mengenai orang Betawi melalui stereotipe sebagai suku yang mudah menjual tanah, gemar pesta, malas menuntut ilmu, dan ogah mikir. Buku ini memperlihatkan evolusi Betawi sebagai tempat hidup dan wadah budaya dari kacamata putera daerahnya.

Setidaknya ada tiga aspek yang bisa ditela’ah dari Kembang Goyang berkaitan dengan Tanah Betawi masa ke masa.

Keadaan Geografis

PADA cerita Si Gomar (M.Balfas, majalah Zenith, Th. I, No 12, Desember 1951) misalnya, kita bisa mengetahui keadaan wilayah Cawang di Jakarta Timur pada tahun 1950-an yang masih asri bahkan masih bernuansa desa kecil (hlm. 113):

Malam ini Nenek Umar mendengar dengan tegas sekali paling sedikit sepuluh orang lalu disamping rumahnja, tidak pakai obor. Dari tjelah-tjelah dinding dapat dilihatnja beberapa pinggang membawa golok pandjang-pandjang waktu kebetulan liwat dibawah pelita jang digantungkan disamping rumah. Tidak seorang jang dapat dikenalinja. Sesudah itu nenek tidak tidur sampai pagi. Setiap saat dia bisa mendengar suara tongtong. Berdjam-djam dia menunggu, jang didengarnya tjuma bunji angin jang mendesir dipohon sawo dan suara burung kulik-kulik. Bunji burung itu tambah menjakinkan dia, bahwa malam ini bakal terdjadi peristiwa jang ngeri.

Bandingkan dengan keadaan Cawang sekarang yang dipenuhi gedung tinggi sebagai kota besar yang padat. Suara burung kulik-kulik sudah digantikan dengan deru kendaraan.

Perempuan penulis satu-satunya dalam buku ini, N.Susy Aminah Aziz, menggambarkan perkembangan Jakarta (kota yangsering disalahkaprahkan sebagai satu-satunya kota berbudaya Betawi) dari masa ke masa lewat puisi. Dalam puisinya yang berjudul Suasana Jakarta (1977), ia menuliskan perkembangan Jakarta dari wilayah sepi nan asri menjadi wilayah yang memanaskan susana hati (hlm. 197).

perut tengah kota mengalir sungai coklat tua

air hempasan curahan hujan

ciliwung bawa cerita-cerita hidup dan mati

dalam seabad lalu roda perputaran dunia

sepi jalan bak perawan berlenggang

lentiknya jari-jari seputih kertas belum terisi

kini, sesaknya nafas ditarik padatnya jalan

terkadang pingsan putus disegumpal awan

kebisingan suasana jakarta dalam kesibukan

ngeri hati, menusuk rasa pilu diri

sisa-sisa tulang kering tak berkesudahan

kere sepanjang jalan dalam pemandangan

suasana jakarta mandi cahaya gemerlapan

tak habis sejarah mencatat kemiskinan

kebobrokan dilimpah luapan memupuk kekayaan

Perkembangan Ragam Bahasa dan Dialek

BEBERAPA naskah yang disajikan dalam Kembang Goyangmenggambarkan perkembangan bahasa Melayu Pasarhingga menemukan bentuknya sebagai Bahasa Indonesia.

Pertama,tulisan bercorak Melayu Tionghoa yang ditulis berdasarkan Edjaan van Ophuijsen (1901) dengan penulisan berupa oe, dj, j, tj, ch untuk u, j, y, c, kh. Pada tulisan sketsaOom Pietdalamrubrik Omong-Omong Hari Senen di suratkabar Taman Sari, kita dapat menemukan kata-kata seperti soeda (sudah), misti (mesti), dan tjoema (cuma).

Kedua, ragam bahasa tulis dalam Edjaan Suwandi (1947) yangmasih menuliskan tj,dj, dan j untuk c, j dan y, namun kalimatnyasudah ditulis menurut pola diterangkan-menerangkan. Berbeda dengan tulisan bercorak Melayu Tionghoa yang ditulis dengan pola menerangkan-diterangkankarenapengaruh bahasa Belanda dan Asia Timur. Selain itu, kata-kata serapan dari bahasa Belanda sudah sedikit digunakan. Pembaca dapat menemukan, diantaranya melalui karya M. Balfas dalam Anak Revolusi (1957) dan S.M. Ardan dalam Pawai dibawah Bulan (1955).

Ketiga, corak tulisan menurut Ejaan Yang Disempurnakan/EYD (1972). Tulisan sudah seperti yang dikenal seperti sekarang ini, misalnya c, j, dan y yang ditulis apa adanya. Karya yang dihasilkan diatas tahun 1972 terwakili melalui karya Firman Muntaco dalam Remnya Blong (1985) dan Chairil Gibran Ramadhanalias CGR dalam Panas di D(jakarta) (2010).

Selain memperlihatkan perkembangan ragam bahasa Betawi dalam perubahan sistem ejaan,Kembang Goyangjuga memperlihatkan ragam sub-dialek dalam bahasa Betawi.

Pertama,sub-dialek Betawi Tengah yang terdapat di wilayah-wilayah seperti Sawah Besar, Kemayoran, Cikini, Palmerah, atau Kebon Sirih, dengan ciri akhiran e (namun tidak semua kata) dan juga ciri pengucapan kata nggak untuk tidak. Pada cerpen Remnya Blong! (1984) karya Firman Muntaco, dialek ini dapat direpresentasikan dalam dialog berikut (hlm. 171):

“Eh Bang, keliatannye bawa bajaj mantep banget. Ude pernah ikut pendidikan supir ye?”

“Belon pernah, Pak...” tukang bajaj nyaut secara jujur.

Kedua, sub-dialek Betawi Pinggir yang dilafalkan oleh orang-orang yang tinggal di pinggiran wilayah Jakarta, seperti Depok, Parung, Bekasi, dan Tangerang. Ciri sub-dialek ini terletak pada penggunaan kata-kata yang berasal dari bahasa Jawa dan Sunda seperti ora, dahar, madang, pisan dan mah, serta penggunaan kata pegimanah untuk bagaimana, atau ngapah untuk kenapa. Contoh sub-dialek ini dapat ditemukan dalam Malam Terang Bulan karya Chairil Gibran Ramadhan (hlm. 299), yang juga terdapat dalam antologi cerpen tunggal perdananya, Sebelas Colen di MalamLebaran (2008):

Orangnyah pegimanah, Ba?”

“Badannyah gede banget kagak, tinggi banget kagak. Sedeng ajah, tapi keliatan gagah. Seterek, sembabad ama tongkronganyah. …”

Keadaan Sosial

KEMBANG GOYANG dapat juga diibaratkan social time capsule, karena pembaca dapat melakukan semacam ziarah realitas sosial tiga zaman (Kolonial Belanda, Pendudukan Jepang, dan masa Kemerdekaan) melalui literatur.

Pada sketsa berjudul Bandot (1904) yang ditulis Oom Piet(judul diberikan oleh penyusun karena pada naskah asli tidak memiliki judul), realitas penyuapan dan pemerasan dalam praktek peradilan zaman Kolonial digambarkan dengan gamblang melalui potongan berikut (hlm. 10):

Banjak orang soeka dame sadja, kaloe begitoe lantas jang di sita di minta dateng dengan soerat memake nama president. Asal dateng lantas di palee orang itoe aken berdame sadja, kaloe jang di sita tiada maoe dame, wah, giranglah griffier, dia kena motong lebi tebal, dia poen lantas bantoe djoega membri fikiran pada jang di sita. Ini orang poen kena makan. Siapa jang paling kentjang kantongnja dialah jang di atas dia tentoe menang.

Kondisi zaman Jepang digambarkan melalui karya-karya Kwee Kek Beng dalam sketsa yang berjudul Boekoe Kaboeroekan Djepang (1942) yang menceritakan keadaan ketika Jepang sudah berhasil menguasai Pasifik namun Sekutu tidak mampu membendungnya, padahal taktik Jepang sudah tertera dalam sebuah buku berjudul Secret Agent of Japan yang sempat beredar di Hindia Belanda namun disita polisi (hlm. 81-82). Kemudian, pada karya yang berjudul Sinjo Mata Sipit (hlm. 83-84) (judul diberikan oleh penyusun karena pada naskah asli tidak memiliki judul), Kwee Kek Beng menggambarkan praktek pergundikan di kamp interniran (kamp konsentrasi milik Jepang) berisikan noni keturunan Belanda yang menghasilkan sinyo mata sipit (Indo Belanda-Jepang).

Keadaan sosial Jakarta yang sedang bergeliat menemukan bentuk idealnya pada zaman kemerdekaan pascarevolusi fisik, dipotret melalui cerpen Anak Revolusi karya M.Balfas seperti pada kutipanini (hlm. 109):

Kota Djakarta tidak lagi kota setahun jang lalu waktu serdadu2 India masih ada. Keadaan sudah mendekati normaal. Orang sudah sibuk membitjarakan soal2 kehidupan dikota. Orang2 dipaksa tunduk dibawah aturan.

Maka, inilah buku wajib bagi mereka yang ingin mempelajari budaya Betawi melalui pisau analisa sastra. Buku wajib pula bagi mereka yang ingin menambah pengetahuan sempitnya tentang kebudayaan Betawi. Seperti ditulis Laora Arkeman dalam pengantarnya, buku ini berhasil menunjukkan keberadaannya sebagai antologi yang merepresentasikan kekayaan alam Betawi dan mungkin buku pertama yang mengabadikan karya-karya penulis dari etnis Betawi selama 100 tahun terakhir. Dan menerbitkannya adalah sebuah langkah yang patut dihargai dan mendapat apresiasi tinggi tak hanya oleh kalangan non-Betawi terlebih-lebih oleh kalangan Betawi.

Akhir kata, Kembang Goyang memang sebuah usaha yang patut diberi applause sangat gemuruh sebagai dokumentasi perihal orang Betawi yang sering disalahkaprahkan sebagai senang bercanda dan masih mengusahakan tawa dalam kesusahan, namun sensitif terhadap perubahan zaman dan kritis terhadap anomali kebijakan pemangku kekuasaan dari zaman ke zaman.

Depok, 21 Juni 2012

* Mega Trianasari Sundoro, lahir 18 Oktober 1984, di Depok, Jawa Barat. Menempuh pendidikan S1 Sejarah di Universitas Negeri Jakarta (tamat 2008). Sesekali menulis, kini pengajar Sejarah di SMA Pahoa, Tangerang.

~ Karena sudah tidak beredar di Gramedia, maka jika ada yang berminat silakan hubungi inbox facebook Penerbit Padasan atau sms ke 0882-1221-8363.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun