1
Di penghujung tahun 2013, ketika Lebak bergolak, Penerbit Padasan di Jakarta, akhirnya menerbitkan kembali novel Max Havelaar karya Multatuli alias Eduard Douwes Dekker, yang telah dipersiapkan sejak Desember 2012. Buku yang didasarkan pada terjemahan karya Paus Sastra Indonesia, HB Jassin ini, rencananya dirilis pada 10 November 2013, atas dukungan Nederlands Letterenfonds (Amsterdam) dan majalah sastra Horison (Jakarta).
Laora Arkeman selaku penyunting, dalam sebagian catatannya menulis:
Pembicaraan mengenai Max Havelaar seolah tak ada habisnya. Kontroversi terjadi sejak buku ini terbit pada 1860, berkisar pada nilai kesusasteraannya dan terutama apakah benar atau tidak kisah yang ditulis di dalamnya. Di Indonesia dan dunia, Max Havelaar menjadi istimewa karena merupakan roman pertama yang secara terbuka mengungkap nasib buruk penduduk pribumi di bawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Di Belanda sendiri, novel ini menggoncangkan pandangan umum mengenai tindakan-tindakan pemerintah mereka yang menyengsarakan negeri jajahannya.
Sementara itu, tanpa maksud membenarkan perilaku bupati yang memerintahkan rakyat untuk menyerahkan upeti dan kerja paksa, sesungguhnya hal tersebut merupakan suatu yang “wajar” dan terjadi di beberapa daerah pada masa tersebut. Fenomena dalam novel memang berlangsung di Hindia Belanda masa Cultuurstelsel.
Hadirnya Max Havelaar dalam konteks kekinian adalah masih berlangsungnya tindakan korup dari pihak penguasa, dalam hal ini Banten yang bahkan saat ini sedang menjadi perbincangan berbagai kalangan.
Mengenai Kesultanan Banten, sekedar gambaran, bahwa hubungan diplomatik dengan Inggeris telah ada di abad ke-17. Pada 1682, Sultan Banten mengirim delegasi khusus terdiri dari 33 orang ke London. Ketika kapal memasuki Sungai Thames, dentuman meriam menyambut mereka. Kapal dipenuhi muatan lada, rempah-rempah lain, permata dan burung merak emas berhias berlian. Ini merupakan hadiah untuk Raja Inggeris. Suatu ketika pada masa kunjungan tersebut mereka disuguhi pertunjukan Machbeth dari Shakespeare (Daghregisters, gehouden int Casteel Batavia, Arsip Negara, Jakarta). Perhubungan dagang sangat intensif dan berlangsung lama setelah Jan Pieterszoon Coen datang. Dengan didirikannya Batavi, perdagangan pindah ke sana dan perlahan Banten mengalami kemunduran. Banten dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa Kolonialisme Belanda melakukan ekspansi ke wilayah mereka. Hal ini menyebabkan orang Banten mengangkat senjatanya. Tangan besi Daendels yang berusaha dengan kekerasan menguasai Kesultanan Banten tidak berhasil (1808). Istana kesultanan menjadi pusat dari perlawanan dan perang gerilya. Baru pada 1832 Sultan Banten dikucilkan Belanda, lalu setapak demi setapak Banten masuk dalam kekuasaan Belanda.
Novel yang berlatar budaya feodal dan masyarakat miskin di Lebak ini memberi perubahan besar terhadap pandangan negara penjajah terhadap rakyat yang dijajahnya. Akhirnya, Cultuurstelsel dihapuskan pada 1870.
Bola salju yang digelincirkan melalui Max Havelaar menggelinding kian besar. Van Deventer menulis artikel di De Gids pada 1899, dengan judul “Een Eerschuld” (Utang Budi). Van Deventer menilai pemerintah kolonial berhutang budi pada rakyat Hindia Belanda yang telah bekerja keras demi kemakmuran Belanda. Sementara Brooshooft, pemimpin redaksi surat kabar berbahasa Belanda De Locomotief yang berpusat di Semarang, menyuarakan perlunya pemerintah Kolonial menjalankan kewajiban moral pada masyarakat Bumiputera di Hindia Belanda. Brooshooft menulis pamflet berjudul “Haluan Etis Dalam Politik Kolonial”. Dengan makin deras arus gerakan kaum Etis menyuarakan keadilan di Hindia Belanda, pada Januari 1901, Ratu Wilhelmina mengesahkan politik Etis sebagai kebijakan resmi pemerintah Belanda di Hindia Belanda.
Max Havelar juga menjadi salah satu tonggak baru bagi sastra modern di Belanda. Perspektif kepenulisan yang dipakai Multatuli memengaruhi kecenderungan baru penulisan sastra. Karya ini memperlihatkan bahwa sudut pandang tak sekadar pilihan bagi penulis untuk menjadi orang pertama atau ketiga, namun menjadi pilihan sadar atas keterlibatan lahir batin yang melebur dalam objek cerita yang hendak ditulis. Gaya tuturnya pun hidup dan mengajak pembaca seolah-olah hadir dalam setiap peristiwa.
Memahami sejarah dalam beberapa hal memang rumit, serumit seluk-beluk lakon manusia dalam kisah sejarah itu sendiri. Dan Eduard Douwes Dekker melalui Max Havelaar telah membuat sebuah karya yang melampaui zamannya. Karakter tokoh-tokohnya menakjubkan, dengan cerita yang akan terus menuai kontroversi.
2
Novel ini diberi tujuh endorsement dari kalangan sastra di Indonesia, Belanda dan Jerman, yakni:
Langkah Penerbit Padasan menghadirkan kembali roman biografi bernafas satir politik yang pernah diajukan Universiteit van Amsterdam ke UNESCO untuk menjadi salah satu world heritage pada 2012 ini, serupa langkah Multatuli menghadirkan Lebak yang miskin bersanding kemegahan kolonialisme lewat Max Havelaar pada 1860: Menyentak dan membuat decak; karena sangat berbeda dari yang kebanyakan ada. Kehadiran novel yang kini menjadi bacaan wajib sekolah-sekolah di Belanda dan diakui sebagai karya sastra dunia (Hermann Hesse: Eine Bibliothek der Weltliteratur, 1929) adalah hal yang sangat membanggakan bagi kita di Indonesia dan itulah sebabnya harus dibaca. Sebuah karya besar tentu jangan dilewatkan. ~Ahmadun Yosi Herfanda, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta
Penerbitan kembali Max Havelaar tidak harus dimaknai sebagai pengingatan atas luka lama dari praktik negatif kolonialisme, melainkan sebagai semacam penyadaran mengenai kemanusiaan yang sangat mungkin terjadi kapan dan di mana pun. Kekecewaan Multatuli berkenaan dengan sistem tanam paksa yang sangat merugikan kaum bumiputera di Lebak hanya semacam penampang atau representasi dari ekses gelap kekuasaan. Dengan kata lain, bukan hanya di wilayah Banten telah terjadi penistaan menjijikkan atas kehidupan, namun sangat mungkin juga di wilayah lain belahan dunia. Demikian pun, bukan hanya di masa kolonial praktik penindasan terhadap kaum lemah terjadi, sebab di masa yang konon sudah merdeka seperti sekarang ini, hal seperti itu—atau bahkan lebih keparat lagi—masih terjadi. Itu sebabnya, membaca novel ini seolah-olah kita diberi cermin untuk melakukan refleksi.
~Ibnu Wahyudi, Pengamat Sastra & Pengajar di FIB-UI
Max Havelaar adalah bukti bahwa kekejaman terhadap manusia, betapapun dijalankan dengan rapi, secara dialektis akan mendorong lahirnya perlawanan terhadap kekejaman itu sendiri. Tidak saja dari kalangan korban yang tak berdaya, melainkan juga dari kalangan pelaku yang digdaya. Max Havelaar dengan baik melukiskan derita manusia akibat kekejaman sistem sosial yang berkelindan dengan sistem kolonial. Diatas semuanya, ia adalah lambang abadi perlawanan terhadap kekejaman manusia, perlawanan mana secara tak terduga bisa meledak bukan dari "luar", tapi justru dari "dalam".
~Jamal D. Rahman, Pengamat Sastra & Pemred Majalah Sastra Horison
Menerbitkan ulang Max Havelaar, sebuah karya sastra Indisch fenomenal, merupakan usaha menekuri perjalanan sejarah bangsa dalam menjadikan kearifan yang didapat dari pengalaman tersebut sebagai peneguhan jati diri bangsa. ~Dr. Mona Lohanda, Sejarawan & Arsiparis ANRI
Max Havelaar karangan Multatuli, buku terbesar kesusasteraan Belanda.
~Dr. Pieter Steinz, Direktur Nederlands Letterenfonds, Amsterdam
Jika Gubernur Jenderal Duymaer van Twist tidak memecat Eduard Douwes Dekker sebagai Asisten Bupati Lebak pada 1856, apakah Max Havelaar yang sangat kondang ini akan lahir? Sejarah mencatat, roman biografi yang ditulis dalam kesepian dan kemiskinan di loteng-kamar di Brussel ini menarik perhatian karena selain mengungkapkan ketidakadilan dan korupsi yang dilakukan pejabat pribumi dan Belanda di Lebak, juga menegaskan bahwa tidak semua orang Belanda menyukai praktik kolonialisme. Kekuatan Max Havelaar terletak pada ketepatan memotret dan memaknai konteks zaman yang bertaburan semangat antikorupsi dan antipenindasan, yang jika ditarik ke konteks kekinian, sangat relevan.
~Prof. Dr. Wahyu Wibowo, Pakar Filsafat Bahasa & Guru Besar Universitas Nasional, Jakarta
Tampilnya kembali Max Havelaar merupakan hadiah luar biasa untuk khazanah kepustakaan Indonesia masa kini dan ke depannya. Pembaca akan diajak kembali melanglangbuana ke situasi kompleks masa lalu, namun dalam banyak hal masih relevan dengan situasi masa kini.
~Yanti Mirdayanti, Pengajar Sastra dan Budaya di Universitat Hamburg, Jerman