engkau terpampang lagi
di mataku,
saat persis,
senja mulai bertengger
di pucuk-pucuk Enau.
angin sawah terbedak ranum,
di pipimu.
apa singgah ini
cuma sekadar reuni-masam
atas waktu yang pernah kita tugal
di atas dangau-bambu ini?
lantas, kemana saja jejakmu
dulu kau sembunyikan
saat rok remajamu itu
berubah wujud jadi kebaya?
jemari waktu
ternyata telah mendandani tubuh-mungilmu
tuntas se kerlap-kerlip tao toba,
hingga
orang-orangan sawah itu
pun turut kelimpungan
ketika bibirmu rekah merah
melebihi bianglala
yang berkubang di atas padi-padi
yang mulai kemuning
lihat,
dangau bertiang tujuh itu,
rumbianya telah ku ganti,
juga tujuh kali.
kini kau ziarahi juga teras kampung
berbentuk dusun ini,
dan kau temukan
langgit-langit sawah
pun masih tetap diricuhi cericit burung pipit
yang kini telah beranak cucu
tujuh kali, dalam abu jerami
kesinilah, serahkan rambutmu
ke pangkuan ku,
dan tidurlah bersama jemariku:
sampai kedua-limpa-batu-kita
hancur berkeping-keping,
sambil kau ceritakan lagi
kamana ikat-rambut-akar-pegagan
yang dulu rajin terkepang
setiap kita usai mandi-mandi sungai?
Onanrunggu, topi tao 1997