Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Pilihan

Aku Malu Sama Tukang Kredit

15 September 2014   22:51 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:36 312 0
Masih jelas ingatan itu, ingatan yang membuatku hingga hari ini masih tetap memegang pikiranku.

"Tukang kredit" adalah istilah dari anggota masyrakat termasuk aku untuk "orang Batak" yang menjalankan wirausaha dagang barang seperti pakaian dan peralatan rumah tangga dan sebagian nyambi jadi "rentenir kecil-kecilan" alias meminjamkan uang berbunga. "Tukang kredit" digambarkan dengan orang yang menagih pelanggannya dengan  catatan di tangan (masih ingat juga saya aksi yang pernah diperagakan kawan).

Profesi mandiri ini masih tetap eksis dan mengajarkan saya sesuatu yang sangat mendalam. Apa itu? Panjang jabarannya tapi jika ada yang ingin tahu, saya paparkan perbandingan nyata yang saya alami beberapa tahun lalu; rumah gedung cukup besar dan di tempat tinggi karena ditimbun dan di sampingnya rumah papan kecil yang sewaan di tempat yang rendah karena memang posisinya di tanah yang rendah.

Pembahasan difokuskan ke rumah gedung yang besar saja, pemiliknya adalah suami istri yang baik dan ulet, mereka berdua berprofesi sebagai tukang kredit, dan sesekali mereka yang saya sapa bapauda-inanguda pergi ke kebunnya. Saat pulang dari kebun, bapauda bahkan membawa sekarung pasir yang diambil dari sungai pengairan untuk menimbun bagian pekarangannya. Selain  Minggu, mereka berdua juga punya hari libur masing-masing, saya ingat hari libur Nanguda adalah Rabu. Hari libur ciptaan wiraswasta ini digunakan untuk belanja barang dagangan ke kota dan jika tidak belanja, nanguda biasanya mengerjakan pekerjaan rumah atau berbincang-bincang.

Yang positif yang dapat saya pelajari dari tukang kredit adalah:

1. Hemat

Meski ada jual daster, daster yang dipakai di rumah tak apa-apa jika sudah kusam warnanya dan dijahit akibat sobekan. Jika ke ladang, tak apa-apa pakaian kumal, tak perlu pakaian yang masih cantik kondisinya.

2. Kerja sama suami-istri

Benar-benar salut saya dengan bapauda yang tidak terlalu banyak menghabiskan rokok atau berjudi (main sampelang, togel atau judi lainnya), hanya sepantasnya saja sesekali mengikuti teman-temannya di warung-warung masyarakat. Nanguda yang bahkan tidak bisa "membaca jam dinding" tidak pernah saya dengar perang besar dengan suaminya.

3. Kerja sama antar anggota keluarga

Biasanya "orang Batak" yang merantau di suatu daerah akan diikuti kaum kerabatnya. Nanguda-bapauda ini menampung 2 orang kemenakan di rumah mereka juga seorang adik. Kadang anggota kerabat yang lain juga singgah atau bermalam di rumah mereka. Adiknya atau kerabatnya yang lain akan menitipkan anak-anak mereka yang masih kecil-kecil dan dijaga oleh siapa yang tinggal di rumah, jika tak ada yang di rumah atau pergi beberapa jam pernah dititipkan ke saya yang tetangga di rumah papan kecil sewaan tadi. Hampir semua anggota keluarga yang ikut merantau tadi sukses, rumah tang tadi sewaan seukuran 1 kamar menjadi rumah gedung cukup besar secara bertahap. Awalnya saat bagian rumah sudah dibangun dan masih bata merah sudah ditempati, lama-lama ruang itu akhirnya hanya bagian tengah rumah gedung yang cantik. Hemat dan saling menolong dalam menjalani kehidupan.

4. Yang menjadi poin penting bermakna dalam perjalanan hidup saya menuju 26 tahun: pendidikan penting tapi tidak harus dikejar-kejar.

Kini anak-anak tukang kredit sudah banyak yang mencapai gelar pendidikan tinggi karena orang tua mereka juga memimpikan pendidikan yang bagus untuk anak-anak mereka. Namun seperti orang tuanya yang mandiri secara ekonomi, anak-anak mereka juga biasanya bagus ekonominya (tidak ada hutang atau hutang di bank kecil). Anak-anak mereka kebanyakan akan memilih profesi bidan dan polisi, jika mencari pasangan pun ya antara bidan dan polisi. Hal ini sudah membuat orang tua mereka bangga dan bahagia.

Kapan-kapan saya lanjut lagi. Meskipun sempat sejenak kecil hati saat profesi "tukang kredit" diledek kawan suku lain tetapi saya sadar kemandirian ekonomi tukang kredit patut diacungi jempol. Maka saat saya membaca tentang penulisan gelar akademik yang Drs/ Dra lebih baik, saya ingat harus segera menuliskan tulisan ini. Saya tidak begitu menghayal lagi titel S2 atau gelar berderet Prof. Dr.xx xx xx xx karena saya malu jika nanti ekonomi saya di bawah ekonomi "tukang kredit"

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun