Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

“Stigma" Revolusi Berdarah Rakyat Suriah (Syria)

9 Maret 2012   19:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:17 1573 0

Sudah berulangkali dunia meliput dan memberitakan revolusi negara berpenduduk 20 juta jiwa ini. Berbagai saluran TV dan Media Cetak (baik Internasional maupun Nasional) menyampaikan kejadian ini dari berbagai sudut pandang. Namun revolusi ini dari hari ke hari tampaknya semakin terlihat semakin "memerah"  saja dengan korban puluhan jiwa rakyat Syria/Suriah  yang tewas setiap harinya (saat ini sudah mencapai 8.000 jiwa). Ironisnya, meskipun revolusi rakyat ini sudah mengarah ke  "pembantaian/tragedi",  namun komunitas Internasional (termasuk kalangan masyarakat Muslim/Arab sendiri) terkesan acuh tak acuh dan ragu membantu walaupun hanya sebatas aksi kemanusiaan sekalipun. Kita semua seperti terkesima dengan berbagai bumbu berita yang dibuat semakin "renyah" untuk dikonsumsi yang kemudian membuat kebanyakan dari masyarakat justru memilih diam dan memilih menjadi  "penonton (witness)" terhadap pergolakan sejarah tragis suatu bangsa besar di kawasan Arab ini, yang luasnya mencapai 185.180 Km persegi itu.

“Barat” Menggoyang Kawasan Arab?

Gonjang ganjing politik di kawasan Arab (termasuk negara Suriah ini) saat ini sudah mengarah kekacauan politik kawasan Timur Tengah. Khususnya bagi pemerintah disana yang otoriter yang tidak mau mendengar suara rakyatnya yang sedang berubah. Konflik tersebut seperti sebuah permainan kartu domino yang dapat menjalar ke  rezim-rezim negara Arab yang bermasalah, dan kemudian menciptgakan ketidak-stablian politik ekonomi, bahkan "tragedi". Namun berbagai pihak yang paling berkepentingan seperti badan PBB terlihat berinisiatif mengatasi permasahan disana.  Namun seharusnya  penyelesaiannya bukan hanya tanggung jawab badan internasional PBB semata. Para dip[lomat PBB tampak begitu sibuk kesana-kemari melakukan berbagai pertemuan dan lobi dalam rangka mencari solusi politik yang tepat. Paling tidak, itulah kesan sebagian  masyarakat Suriah yang saya tangkap dari hasil  “ngobrol/chatting” dengan mereka beberapa saat yang lalu, termasuk  dengan beberapa anak-anak muda aktivis revolusi Suriah melalui Internet. Mereka tampak menyimpan kekecewaan berat terhadap komunitas internasional yang hingga saat ini seperti membiarkan  mereka berjuang sendiri  ...

Apa sebenarnya yang terjadi di negara Suriah (Syria) ini..?

Mengapa masyarakat komunitas internasional seperti tidak begitu tertarik dan pro-aktif membantu sebagaimana halnya gejolak-gejolak politik di negara Arab lainnya.  Apakah karena asumsi (anggapan) yang menyatakan bahwa negara Barat “sedang bermain” dan “sedang mengaduk-aduk” kawasan Arab?

Sungguh, saya sebagai orang awam mengenai politik internasional menjadi bingung. Banyak kalangan yang mengatakan bahwa rekayasa politik kekuatan internasional yang menjadi "penyebab utama" terjadinya revolusi rakyat Arab termasuk di negara Suriah ini. Pernyataan ini  menurut saya begitu menyederhanakan permasalahan. Dan juga seakan-akan menyepelekan perjuangan "berdarah-darah" dan pengorbanan luar biasa yang telah dilakukan dan tunjukkan  oleh rakyat Suriah tersebut....  Memang begitu gampangnyakah rakyat Suriah di obok-obok dan dikendalikan oleh kekuatan asing?

Apa logika politiknya bahwa Barat "sengaja" membuat kawasan Arab menjadi tidak stabil seperti sekarang ini? Bukankah seharusnya pihak Baratlah yang juustru berupaya membuat kawasan ini STABIL karena  ada kepentingan industrinya disana....

Logika saya mengenai hal ini sederhana saja. Jika dunia Arab direkayasa oleh BARAT sedemikian rupa menjadi gonjang-ganjing melalui berbagai operasi intelijen oleh CIA, Mossaddan lain-lain tersebut (sebagaimana banyak dituding). Maka sebenarnya pihak mana yang diuntungkan, dan siapa yang dirugikan? Karena akibat gonjang ganjing ini pasti akan merusak “lumbung minyak dunia” tersebut. Lalu kalau ini terjadi, bukankah yg kena dampaknya justru diantaranya adalah negara-negara  Barat itu sendiri?

Kita semua pasti paham, bahwa Industri maju di berbagai negara Barat tersebut keberlangsungannya sangat tergantung dari apa yang dinamakan “minyak bumi (oil) dan Gas”.  Dan sekitar 60% dari kebutuhan minyak bumi untuk menghidupkan industri mereka tersebut, di-support (dibeli) dari kawasan Arab (baik melalui lobi yang manis agar mau menjual dengan harga ketetapan OPEC tertentu yg murah, atau dengan menggunakan cara “politik gertak” tertentu).Jadi singkatnya, jika kawasan Arab memang sengaja dibuat/direkayasa bergejolak seperti situasi sekarang ini oleh negara-negara BARAT, maka bukankah akan menciptakan ketidakstabilan ekonomi dan akhirnya merembet ke gejolak kekerasan/perang yg  berakibat menghentikan (atau paling tidak menganggu) supply minyak dari kawasan negara Arab tersebut ke negara-negara Barat tersebut? Akibatnya mudahditebak, yaitu akan menaikkan harga minyak bumi dunia menjadi “gila-gilaan” karena ketidak seimbangan supply dan demand dari persediaan minyak bumi. Dan yang lebih parah lagi?

Akibat goncangan politik terhadap pemerintah negara-negara  Arab tersebut (jika asumsinya memang sengaja direkayasa oleh Barat sebgaaimana dituding). Justru dapat menimbulkan resesi ekonomi dunia. Bukankah 70% dari kebutuhan minyak bumi dunia dipasok oleh negara-negara kawasan Arab ini?

Dan jika hal ini terjadi, siapa yang bisa selamat dari resesi ekonomi dunia di tengah berbagai sistem perekonomian dan bisnis/perdagangan antar negara yang sudah saling bergantungan  satu sama lain (akibat Globalisasi Ekonomi yang kini dijalankan oleh semua pihak)?. Apakah anda pikir, AmerikaSerikat (dan juga negara Eropa seperti Inggris, Perancis, Jerman dsbnya), tidak butuh sumber daya alam dari negara berkembang untuk kebutuhan sistem industrinya? Apakah mereka juga tidak membutuhkan pasar yang bisa menampung produk/output dari sistem perekonomian mereka? Bayangkan jika produk-produk mereka tidak dibeli (tidak terserap) oleh negara-negara Arab, negara Afrika, Asia, Amerika Latin dan negara berkembang lainnya akibat resesi ekonomi dunia yang terjadi, akibat "krisis minyak Arab" Suriah ini ....?!

Biaya Sosial (Social Cost) yang harus dikeluarkan oleh semua pihak akan terlalu mahal hanya untuk sebuah permainan politik internasional yang bertujuan praktis menggoyang suatu rezim. Pasti akhirnya akan menjadi "blunder politik" yang merugikan semua pihak, termasuk BARAT. Urgensi menggoyang negara Suriah bukan sepenting seperti kasus negara Afghanistan yang dianggap sebagai sarang teoris internasional yang dapat mengancam kestabilan negara Barat. Atau seperti kasus Iraq yang terlanjur basah melibatkan BARAT  yang kemudian menyedot dana sangat besar, khususnya bagi Amerika Serikat sebagai sponsor utama.  Kebijakan politik Barat terhadap kedua negara ini berbeda jauh dengan kasus Suriah. Suriah bukan negara sarang teroris, lalu mengapa harus digoyang..?

Dengan demikian,  jelas bahwa tidak masuk akal kalau negara Barat yang justru berkepentingan untuk menciptakan kestabilan di kawasan Timur Tengah ini, malah justru menggoncang-goncangnya (merusaknya) sebagaimana yang banyak dari kita beranggapan demikian...

Penyebabnya Aspirasi Politik Rakyat Tersumbat

Gejolak politik di negara Suriah  disebabkan oleh  faktor “api dalam sekam” sebagai akibat sistem perpolitikan dan ekonomi rezim negara   yang tidak mampu lagi secara memadai mengakomodir dan menyesuaikan diri dengan perubahan struktur sosial dan perkembangan tingkat harapan masyarakat yang berubah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa rezim militer Suriah yang dimulai sejak masa Presiden Jenderal Hafez Al-Assad berkuasa itu (sang Bapak), menjalankan sistem politik dan kekuasaan yang otoriter dan tertutup. Kebebasan perpendapat rakyat disana sangat dibatasi oleh rezim Partai Sosial Arab Baat yang berkuasa sejak puluhan tahun silam ini dalam menanamkan kekuasaan politik Oligarki. Sistem politik ini (sebagaimana halnya sistem otoriter) kemudian mengalami pembusukan yang disebabkan oleh perubahan jaman yang tidak mampu diantipasi. Sistem yang tidak sehat tersebut itulah yang kemudian diwariskan (melalui sistem Pemilu yang juga tidak demokratis) ke sang anak, “sang dokter manis” yang bernama Bashar Al-Assad (Presiden sekarang).

Sejarah sebenarnya tidak lelah-lelahnya mengingatkan kita berulang kali, melalui kasus demi kasus dan tragedi demi tragedi mengenai kejatuhan para pemguasa rezim militer yang rigid dan tidak adaptif. Mulai dari  Presiden Marcos (Phillipines), Presiden Soeharto (Indonesia), Presiden Khaddafy (Libya), Presiden Housni Mubarak (Mesir)  dstnya.... Kini tampaknya tinggal menunggu waktu adalah rezim yang dipimpin oleh Presiden Bashar Al-Assad di Suriah (Syria), yaitu rezim sipil yang didukung militer....

Pertanyaan yang menggelitik banyak orang kemudian adalah: berdasarkan  logika diatas. Apakah rezim itu semua dijatuhkan oleh konspirasi/rekayasa negara Barat?  Atau oleh kekuatan revolusi dari rakyatnya sendiri yang sudah muak dengan sistem otoriter dan himpitan kemiskinan akibat faktor ekonomi yang macet?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun