Rasanya baru kemarin juga aku memakai seragam putih biru dan kini aku jadi tempat curhatan anak-anak dengan seragam putih biru. Dan sekali lagi rasanya baru kemarin aku memakai seragam putih abu-abu dan sekarang mereka yang menggunakannya memanggilku teteh sambil bergelendot manja. Oh betapa waktu ini sangat cepat.
Mungkin bagi yang sudah berumah tangga akan lain lagi. Betapa dulu mereka yang dimanja dan diperhatikan, kini berubah menjadi sosok yang harus memanjakan dan juga ekstra perhatian. Ya menjadi seorang istri atau suami dan kemudian berubah lagi menjadi ibu atau menjadi ayah. Dulu merekalah yang memanggil ibu serta ayah dan kini harus merasakan dipanggil dengan sebutan suci tersebut. Indah!
Bisa kubayangkan bagaimana transformasi perasaaan yang berubah sekonyong-konyong menjadi orang yang harus menjadi lebih..Ya, lebih dewasa, lebih bijaksana dan lebih segalanya dalam hal yang baik-baik tentunya.
Oh betapa waktu berlalu sangat cepat. Saat dulu aku begitu bersemangat mencium tangan orang-orang yang lebih tua dan sekarang tiap malam bahkan tiap bertemu anak-anak di sini, tanganku diciumnya bahkan terkadang digamitnya sambil berjalan. Karena perasaan asing yang tetiba muncul aku balik mencium tangan mereka. Kalau sudah begitu,derai tawa-lah yang akhirnya muncul diiringi kata, “aaah teteeeeh” dengan polosnya.
Sekali lagi, aku terhenyak dengan usiaku kini. Bukan bermaksud melebih-lebihkan tapi aku hanya ingin memikirkan mengenai usiaku. Itu saja. Bolehkah? “Tentu saja boleh”, jawab hatiku. Memikirkan usia yang semakin bertambah tapi belum ada yang bisa kulakukan untuk masyarakat di sekitarku. Untuk bangsa dan agamaku bahkan! Sedih.
Sesiapapun dari kita tak akan pernah tahu, akan sampai dimana usia berakhir. Dua puluh?tiga puluh?empat puluh?lima puluh atau bahkan seratus?Tapi walau begitu Tuhan sangatlah adil sebab manusia dibekali akal untuk berpikir dan rasa untuk menimbang. Sehingga segala hal yang berkaitan dengan keabstrak-an dan ketidakpastian biasanya akan tetap berakhir dengan sebuah keputusan.
Buktinya saja mengenai jodoh. Tak akan pernah tahu siapa jodoh kita sebab itu adalah sesuatu yang abstrak dan sulit untuk dikira-kira. Tapi dengan akal dan rasa maka akan muncul satu ketetapan serta keyakinan untuk memilih atau melepaskan. Seru bukan?
Cintai Hidupmu,sekarang!
Kemarin waktu aku ke Perpustakaan Kampus, aku kembali menemukan buku yang kubaca tiga tahun silam. Judulnya The Top Five Regret, Bronnie Ware yang merupakan seorang perawat di Australia. Bronnie mengungkapkan hasil penelitiannya terhadap para pasien yang sudah mendekati ajal atau juga sedang sakit keras. Berikut adalah lima hal yang menjadi penyesalan menjelang meninggal dunia yang berhasil dirangkum:
1. Jika saja aku punya keberanian untuk hidup dengan caraku, dan menjadi diriku sendiri. Bukan hidup demi orang lain, dan menjadi yang orang lain harapkan.
Berapa banyak di dunia ini yang hidup atas pengharapan atau perkataan orang lain. Ingin dikatakan sukses menurut standar kebanyakan orang seperti memiliki uang yang banyak, jabatan yang tinggi atau profesi yang prestisius. Sehingga terkadang secara sadar atau tidak sadar kita berusaha membuat orang terkesan.
Dalam buku ini dicontohkan ada seorang pasien yang menginginkan hidup sederhana menjadi petani di pedesaaan bersama istri dan anak-anaknya kelak tapi karena dia lahir dari keluarga pengacara dan ayahnya mengharuskan dia pun mengikuti jejak keluarganya akhirnya dia pun menjadi pengacara dengan terpaksa. Hingga akhirnya kanker leukemia menyerangnya dan dia pun menyesal mengapa selama ini tidak hidup sebagai petani dan hidup tenang di pedesaan. Pada poin ini aku banyak mendengarkan curhatan teman-teman dulu di kampus bahwa sebenarnya mereka ingin menjadi ini dan itu hanya saja harus mengikuti orangtua akhirnya mereka pun melepas impian mereka sendiri. Sayang sekali!
2. Jika saja aku tidak bekerja terlalu sibuk dan punya banyak waktu untuk diriku dan keluargaku.
Banyak orang yang tidak memikirkan waktu bekerja sepanjang waktu. Mengejar materi yang katanya untuk keluarga. Tapi kemudian lupa dengan peran diri yang tidak hanya sebagai karyawan sebuah perusahaan tapi juga mempunyai peran sebagai seorang ayah/ibu, suami/istri. Karena kelelahan bekerja Senin-Jumat akhirnya Sabtu-Minggu diisi untuk istirahat di rumah.Sampai-sampai kelelahan mengajak keluarga untuk berjalan-jalan atau bahkan untuk diri sendiri.
Poin inilah yang membuatku banyak memprioritaskan keluarga juga kebebasan diri untuk berkembang. Membatasi dengan tegas dan jelas kesibukan yang bukan prioritas.
3. Jika saja aku punya keberanian mengungkapkan perasaan yang terpendam.
Orang kebanyakan akan menghindari konflik atau merasa tidak enak saat harus mengutarakan perbedaaan pendapat. Apalagi kepada atasan atau teman dekat sehingga pada akhirnya banyak hubungan yang terjalin namun tidak sehat. Hanya berusaha menyenangkan satu atau golongan tertentu dengan menafikan perasaan sendiri. Akhirnya kemunafikan akan ditemukan dimana-mana. Juga sangat malu untuk mengutarakan perasaannya kepada orang yang dicintai. Pada poin ini, aku sangat menghormati orang-orang yang berani mengungkapkan apa yang dirasakan dan dipikirkan.
Dalam buku ini dikisahkan penyesalan seorang pasien kanker mata yang menyesal tidak memperjuangkan cinta pertamanya. Dia membayangkan pasti akan sangat bahagia dalam menjalani kehidupan rumah tangganya. Karenanya, beruntunglah bagi orang-orang yang menikah dengan orang yang dicintainya. Yeaaay!
4. Jika saja aku selalu punya waktu untuk berkumpul dengan sahabat-sahabatku.
Pekerjaan, tuntutan deadline, ambisi yang besar sehingga melupakan waktu bersama dengan teman-teman. Dalam hal ini rasanya aku sudah mengalami penyesalan. Berapa banyak pernikahan teman-teman yang kulewati juga perayaan ulang tahun yang tak kudatangi karena aku harus bertugas alias sedang bekerja. Bahkan ada seorang teman yang hingga kini masih “ngambek” denganku karena aku tak hadir pada pernikahannya.Karenanya sebisa mungkin menebus kesalahan itu dengan rutin mengirimkan sms hanya untuk bertanya kabar kepada teman-teman tentang keadaaannya juga keluarga mereka sekarang. Tobat!
5. Jika saja aku membiarkan diriku merasakan kebahagiaan.
Dalam keadaaan yang baik kita akan lebih mudah bahagia. Namun jika ada masalah yang menimpa maka rasa bahagia itu tetiba akan hilang. Hal ini sebenarnya manusiawi saja. Tapi bukankah musibah akan selalu ada. Masalah juga akan selalu datang. Tapi kematian yang tidak tahu kapan menjemput bukankah akan sayang sekali jika saat kematian itu tiba kita dalam keadaan yang sedang mengutuki diri sendiri atau orang lain. Bahagia memang kita sendiri yang ciptakan. Jadi, berbahagialah mulai sekarang!
Karena “terhasut” dengan bacaan tersebut ditambah petuah dari Mami untuk selalu mengikuti kata hati dan wejangan dari Abah tentang hidup hanya sekali dan nikmatilah. Alhasil secara tidak sadar kadang-kadang aku melakukan hal-hal yang di luar nalar. Kalau sudah demikian mau menyesal juga tidak ada gunanya. Cukup jadi pelajaran dan bahan pertimbangan juga sebagai cerita di masa depan. Itu saja!
Dari beberapa hal di atas, aku hanya berupaya mengingatkan diriku sendiri agar lebih bijaksana dalam memanfaatkan usia dengan benar. Alih-alih melakukan ini dan itu lalu kemudian lupa untuk apa kita dilahirkan dan juga peranan yang harus dijalankan. Saat membuka mata di pagi hari untuk yang kesekian kali lalu baru menyadari bahwa jatah usia yang semakin berkurang namun ternyata banyak hal penting untuk dilakukan telah terabaikan.
Ah entahlah. Tentunya semua orang yang ada di dunia ini ingin hidup dengan usia yang penuh dengan keberkahan. Yakni bisa merasakan peran sebagai seorang anak, orang dewasa, menjadi ibu atau ayah, menjadi kakek atau nenek. Atau juga bisa melakukan hal ini dan hal itu dan meraih prestasi ini dan itu. Baru saja sepertinya aku pun telah memutuskan dengan petualanganku yang baru. Semoga Tuhan meridhoi jalan yang sedang kutempuh ini. Aamin!