Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Ibu Rumah Tangga adalah Unpaid Labour

8 Maret 2014   21:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:08 90 0
IBU rumah tangga adalah buruh yang tidak dibayar (unpaid labour). Kenapa? Aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh seorang ibu rumah tangga (pengasuhan anak dan perawatan rumah) dapat menghasilkan output yang di lingkungan publik bisa dibayar, contohnya adalah jasa tempat penitipan anak dan pemeliharaan rumah-bangunan. Dengan kata lain, aktivitas rumah tangga adalah kegiatan ekonomi tetapi tidak dibayar. Studi mengenai pembagian waktu domestik (aktivitas tak dibayar) antara laki-laki dan perempuan pernah dilakukan di Irlandia pada 2005.

Studi di Irlandia tersebut memahami kerja tak dibayar sebagai kerja-kerja yang dilakukan untuk orang lain. Kerja-kerja domestik termasuk sebagai kerja tidak dibayar selama kerja itu dilakukan untuk orang lain, tidak semata untuk kenyamanan diri pelaku. Studi di Irlandia itu kemudian membatasi pada rumah-rumah tangga yang terdiri dari minimal dua orang. Studi itu menunjukkan baik selama hari-hari kerja (weekdays) maupun akhir minggu (weekend), partisipasi laki-laki terhadap pekerjaan domestik seperti pengasuhan anak dan pembersihan rumah lebih rendah daripada partisipasi perempuan.

Rinciannya seperti ini:

"Pada hari-hari kerja, laki-laki menghabiskan tiga jam lebih banyak untuk bekerja di luar rumah (employment), sementara perempuan menghabiskan rata-rata tiga jam 28 menit pada kegiatan pengasuhan dan perawatan rumah daripada laki-laki. Hanya 50 persen laki-laki dewasa yang merekam melakukan pekerjaan domestik pada hari-hari kerja dan 23 persen untuk aktivitas pengasuhan, sementara 89 persen perempuan berpartisipasi dalam rumah tangga dan 48 persen di pengasuhan."

Jika persoalan kerja domestik yang dilakukan oleh laki-laki lebih sedikit karena mereka bekerja di industri selama hari-hari kerja, nyatanya kecenderungan yang sama tidak berubah pada akhir minggu. Artinya, pekerjaan domestik menjadi 'jatah' perempuan, terlepas si laki-laki ada di rumah atau tidak.

Penelitian itu tidak bermaksud untuk membuktikan teori 'beban ganda' atau 'second shift'. Nilai jam kerja dibayar dan tidak dibayar dianggap sama. Jadi, penelitian itu membayangkan mustahil beban ganda perempuan terjadi manakala jumlah jam per hari tetap sama. Meski demikian, penelitian tersebut mengafirmasi bahwa semakin banyak waktu yang dihabiskan untuk bekerja di rumah yang tidak menghasilkan uang dan tidak memberi status, semakin kecil jam kerja dibayar yang dilakukan perempuan.

Penelitian itu juga menunjukkan keterlibatan perempuan pada pekerjaan tak dibayar tidak menunjukkan hubungan signifikan dengan usia responden, melainkan lebih karena usia anak. Semakin muda anak yang dimiliki pasangan tersebut, semakin tinggi pula jam yang disisihkan perempuan untuk pekerjaan tak dibayar dibandingkan dengan laki-laki.

Penelitian ini berkonteks di Irlandia yang meski terletak di Eropa, konteks kulturalnya memiliki kemiripan dengan Indonesia meski tetap saja keadaan di Irlandia masih jauh lebih baik daripada di Indonesia. Kemiripan dengan Indonesia itu misalnya di Irlandia, kesempatan bekerja paruh waktu bagi para pasangan menikah tidak ada dan penyediaan layanan penitipan anak mahal. Perbedaan Indonesia dengan Irlandia adalah izin cuti ibu melahirkan dibayar (paid maternity leave) di Irlandia tergolong menengah (kurang lebih tujuh bulan) sementara di Indonesia hanya tiga bulan. Parental leave (cuti karena urusan anak) tetapi tidak dibayar mencapai lima bulan di Irlandia. Di Indonesia saya tidak mengerti aturan dan praktek parental leave secara umum. Tetapi pengalaman pribadi saya menunjukkan semakin rasa kekeluargaan tinggi di sebuah organisasi, parental leavetetap bisa dilakukan dan dibayar. Meski begitu, dalam setahun tidak mungkin mengambil 'keuntungan' itu sampai senilai lima bulan.

Penelitian serupa mungkin bisa dilakukan di Indonesia, bahkan bisa menjadi risetnya lebih kompleks. Tidak seperti di Irlandia di mana pasangan-pasangan menikah mengelola rumah tangga secara mandiri, pasangan-pasangan di Indonesia banyak yang menggunakan jasa pembantu rumah tangga yang lebih murah daripada jasa penitipan anak yang berkualitas. Selain itu, banyak pula yang memanfaatkan kakek-nenek sebagai tempat penitipan anak ‘gratisan’. Implikasi hal itu jika metode tidak diubah adalah baik perempuan dan laki-laki memiliki paid labour dan unpaid labour yang sama namun tidak memperhitungkan adanya supporting system seperti jasa pembantu rumah tangga dan kakek nenek.

Penelitian tersebut memang tidak memasukkan faktor norma-norma sosial, tuntutan relijius, maupun alasan batiniah personal lainnya terkait pola pilihan keluarga yang mana perempuan lebih banyak bekerja di rumah. Akan tetapi penelitian itu lagi-lagi menguatkan kerja domestik lebih banyak didominasi perempuan, paling tidak pada konteks Irlandia. Dan, mengingatkan bahwa bekerja di rumah dengan bekerja di industri memiliki nilai YANG SAMA. Capeknya sama, tanggungjawab tidak kalah besar. Sementara yang di industri dibayar, yang di rumah tidak dibayar. Mungkin bayarannya pahala, tetapi itu urusan akherat. Sementara untuk urusan di dunia, bagaimana perempuan dan laki-laki menyikapi bahwa urusan rumah tangga adalah penting, memiliki nilai ekonomi tetapi dilakukan dengan ikhlas oleh salah satu pihak?

Memang, pernikahan itu tidak melihat perempuan dan laki-laki menjadi dua hal yang berbeda, melainkan satu sehingga jika salah satu lebih banyak melakukan tugas yang lainnya, semestinya tidak ada perasaan lebih berkorban/ lebih lelah/ lebih rendah diri dan sebagainya. Karena, nilai ekonominya sebetulnya adalah SAMA. Tanpa ada yang mengurusi rumah, apakah pihak yang bekerja bisa bekerja dengan tenang? Tidak, kan. Yang jadi masalah selama ini adalah: jika kondisi pembagiankerja itu terlalu ekstrim sehingga perempuan menjadi TERGANTUNG pada penghasilan laki-laki. Hal itulah yang harus dihindarkan atau diantisipasi sebelum pernikahan.

Sebab, belum tentu pernikahan yang dijalani akan berlangsung selamanya sampai dipisahkan maut. Perempuan bagaimana pun tetap harus memiliki status publik dan penghasilan sesedikit apa pun dalam cara halal apa pun. Akan lebih baik jika memang spesialisasi dilakukan (laki-laki bekerja di rumah, perempuan di domestik) disertai dengan jaminan kesejahteraan bagi perempuan selama menikah dan bila terjadi perceraian. Menurut saya, jika seorang ibu rumah tangga full time ternyata bercerai dari suaminya, si mantan suami membiayai mantan istri sampai penghasilan mantan istri layak dan setara dengan mantan suami. Tetapi saya yakin para laki-laki banyak yang protes. Sudah mantan, ngapain dibiayai? Sebab, meski harta gono gini dibagi dua sama rata, toh si mantan suami punya status publik, sementara mantan istri tidak.

Oleh karena itu wahai para perempuan, jangan mau melepaskan pekerjaanmu meskipun kalian sudah menikah. Meski punya anak sekalipun. Anak itu milik berdua, asuhlah berdua.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun