Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Pilihan

'Bule Hunter' dan Watak Kolonial

10 Maret 2014   03:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:06 289 0
DULU sekali, ketika saya masih kuliah S1, saya memiliki seorang teman laki-laki yang sampai sekarang kami masih berhubungan baik. Ia warga Perancis yang saat itu sedang melakukan riset geografi di Jawa Timur, terkait dengan lumpur Lapindo. Saya sempat mampir ke kampus saya untuk urusan kecil yang singkat bersama teman saya itu. Setelah itu saya pergi mengantarnya ke suatu tempat yang terkait dengan risetnya.

Berminggu-minggu sesudahnya, saya digosipin sebagai 'bule hunter'. Dasarnya sederhana saja: punya temen cowok bule. What? Rupanya beberapa teman melihat saya di kampus dengan teman Perancis itu. Lantas, mengikuti stereotip 'cewek sawo matang jalan sama cowok bule', saya dibilang 'bule hunter.' Saya tidak tahu dari mana istilah itu berasal namun konotasinya negatif: cewek lokal yang ngejar-ngejar cowok bule, apa pun motivasinya. Tetapi ada kesan dari istilah itu posisi sosial si cewek lebih inferior daripada si bule.

Mungkin saja, entah di mana, memang ada cewek-cewek Indonesia yang sengaja mencari pria asing untuk dijadikan kekasih dan kalau bisa suami. Jadi, seperti ada kesengajaan untuk jatuh cinta pada golongan ras kulit putih. Segala macam cara ditempuh untuk dapat mendapatkan calon-calon buruan. Mulai dari menjadi tour guide, counterpart pada student exchange, ke pub, bekerja di perusahaan asing, online dating, wisata ke tujuan-tujuan populer bagi pria asing, dan sebagainya.

Mengapa sampai ada kelompok perempuan yang secara sengaja mencari pasangan pria asing? Saya menduga ada beberapa alasan untuk itu, meski sebagian besar alasan itu lebih banyak didasarkan pada stereotip yang berkembang.

1) Warisan watak korban penjajahan

Warisan watak kolonial bahwa orang kulit putih lebih baik tidak hanya di diri perempuan 'bule hunter' itu, tetapi juga pada masyarakat Indonesia. Contoh riilnya begini. Pernikahan beda agama antara orang Indonesia sulit diterima bagi keluarga kedua belah pihak. Akan tetapi, pernikahan beda agama antara orang Indonesia dengan orang Perancis lebih bisa diterima oleh orang Indonesia. Hal itu pernah saya ketahui sendiri. Jadi, seakan-akan menikah dengan pria asing apa pun agamanya -atau tidak beragama sekalipun- seakan lebih bisa diterima keluarga Indonesia karena kulitnya mampu mengangkat derajat keluarga itu.

2) Pria asing menerima kesetaraan gender

Pria kulit putih KONON lebih menerima ide bahwa perempuan adalah partner dalam berumahtangga, bukan pembantu. Ketimbang dengan pria lokal yang umumnya masih membayangkan perempuan lebih banyak berperan di domestik, pria kulit putih KONON lebih bersedia mengambil pekerjaan domestik. Wanita-wanita berkarir maju di dalam maupun luar negeri saya kira lebih bisa mengantisipasi agar 'konon' itu menjadi kenyataan.

Konon-konon saya kapitalkan karena memang belum tentu prakteknya seperti itu. Banyak juga yang saya lihat pria asing tertarik dengan perempuan Indonesia yang masih konservatif pemikirannya dalam berumahtangga. Stereotip pria kulit putih dan wanita Indonesia yang simpang siur itu malah bisa berakhir pada semakin kuatnya posisi masing-masing gender pada peran-peran tradisional.

3) Open-mindedness 'tingkat dewa'?

Open-minded bisa berkonotasi positif. Dalam hal ini saya gunakan konotasi yang cenderung negatif.

Orang yang menggunakan kata 'open-minded' sudah hampir pasti liberal. Pikirannya bebas, perilakunya bebas. Bisa dibaca saya mau bilang apa dengan kata 'bebas' itu. Dan pria-pria asing yang pergi jauh dari negaranya apalagi menetap untuk beberapa lama, sudah pasti mereka 'open-minded'. Mereka tidak mempersoalkan perempuan-perempuan yang dikencaninya dulu-dulu pernah ngapain aja, seakan-akan perempuan-perempuan itu lahir manakala bertemu dengan pria-pria asing itu. Tentu hal itu bikin perempuan mana pun klepek-klepek.

Stereotip 'open-mindedness' itu jika diteruskan akan begini hasilnya: cewek yang jalan sama cowok bule berarti sudah 'ngapa-ngapain'. Jadi, cewek Indonesia yang mau pacaran sama cowok bule berarti mau 'ngapa-ngapain'. Padahaaal, kalau mau 'ngapa-ngapain', sama cowok lokal juga bisa. Secara teknis, malah LEBIH bisa. Lihat saja, bayi-bayi yang dibuang karena tidak diinginkan juga jarang yang keturunan asing, melainkan lokal semua.

Jadi, sebetulnya saya menulis ini mau bilang setuju atau tidak setuju dengan 'bule hunter'? Kenapa nada-nadanya nyinyir, tetapi juga membela?

Saya sebetulnya bermaksud untuk mengatakan bahwa pada zaman globalisasi dan demokrasi ini, cinta bisa jatuh ke siapa pun, mau rasa lokal atau asing. Alih-alih menjadikan stereotip dan inferioritas menjadi alasan untuk mencintai sosok-sosok dari ras berbeda, semestinya biarlah cinta itu yang bicara. Selain itu, watak orang Indonesia juga masih mendua terhadap hubungan-hubungan beda ras. Satu sisi dianggap menambah gengsi si cewek dan perbedaan yang ada (seperti beda agam) lebih bisa diterima, sisi lain si cewek dianggap melewati batas norma susila.

Jika posisinya dibalik: yang asing adalah ceweknya, yang lokal adalah cowoknya gimana dong?

Saya tidak bisa menggeneralisasikan. Namun tadi malam saya mendapat cerita dari seorang kenalan perempuan dari Jerman. Rupanya ia pernah berpacaran dengan orang Indonesia. Baru putus dari kekasihnya tiga minggu lalu setelah 1,5 tahun pacaran. Kok, lama juga pacaran?

"Ya, karena kami cuma pacaran online," kata Dania terbahak. "Saya tidak bisa terima kata 'No' dari laki-laki. Setelah kami sering bertemu, dia banyak bilang 'No'. Aduh. Aku dibesarkan oleh ibu tunggal, saudaraku juga perempuan. Selama ini kami hanya bertiga, perempuan semua. No man."

Mungkin mantan Dania itu juga tidak tahu bahwa Jerman adalah salah satu negara yang praktek kesetaraannya cukup maju di Eropa. Andaikan ia tahu. :)

***


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun