Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Stop, Jangan Banyak Mengkritik Pasangan!

25 April 2014   03:31 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:13 1270 1
TAK ada seorang pun yang menginginkan kritik dari pasangan, jika semua mau jujur. Tetapi, kritik itu seringkali menyembur tanpa dipikir panjang. Dalam sedetik kemudian, seseorang yang lainnya terluka atau malah defensif.

Kritik jelas berbeda dari respon konstruktif atau saran. Kritik menunjukkan dan menamai sesuatu hal dengan konotasi negatif, sementara saran adalah respon yang membantu atas sesuatu hal yang dianggap masalah, misalnya begini:

Pasangan sering meletakkan gelas dan piring bekas makanan di mana pun sesukanya. Atas masalah tersebut, pengkritik akan berkata, "Kamu ini suka bikin berantakan!" Sementara, pemberi saran akan berkata, "Tolong dong dikembalikan semua gelas piring bekas pakai ke tempat cuci!"

Jihan, sahabat saya sudah berulangkali mengeluhkan kebiasaan suaminya yang suka mengkritik. Sebagai pribadi yang mudah bergaul dan berpembawaan ceria, mula-mula ia menanggapi biasa kritik-kritik suaminya itu. Tetapi, suasana hati toh tak selalu dalam keadaan gembira. Kritik yang biasa ia tanggapi dengan santai pada situasi tertentu bisa membuatnya jengkel dan marah.

Menurut Jihan, kebiasaan suaminya mengkritik sudah 'parah'. Sehari-hari, pekerjaan suaminya di bidang desain grafis dan jual beli karya seni memang mengharuskan suaminya pandai mengkritik hasil karya orang lain. Tetapi, kebiasaan dan keterampilan mengkritik itu terbawa hingga ke rumah.

Pada awal pernikahan, kritik suaminya lebih tertuju pada hal-hal di luar diri Jihan, misalnya, "Ini sayur sop atau bening?",  "Wah, nonton film cengeng lagi" , dan "Kayak baju Mami-mami." Akhir-akhir ini, kritik suaminya ditujukan langsung pada dirinya, seperti, "Kamu kasar pada asisten RT", "Tumit bibik", dan kalau Jihan defensif suaminya akan berkata, "Kamu susah ditegur."

Situasi Jihan mungkin familiar dengan kehidupan sehari-hari kita di rumah.

Memang, kritik di lingkungan kerja atau karier dibutuhkan untuk memacu organisasi bekerja lebih baik dan berprestasi. Akan tetapi, kritik di antara pasangan berrumahtangga hanya satu hukumnya:

Hasil kritik tak selalu konstruktif, tetapi dampak kritik pasti negatif bagi hubungan pasangan itu.


Dalam sebuah pernikahan, pasangan bukanlah orang lain. Kita cenderung tidak berjarak atau bahkan menganggap sosoknya adalah bagian dari sosok kita sendiri. Oleh karena itu, jangankan mengkritik, sindiran dengan humor pun akan terlihat seperti gunung Vesuvius di padang sabana, apalagi mengkritik.

Mengkritik adalah mencela. Kritik dari pasangan hanya akan membuat pihak lainnya merasa lebih negatif tentang dirinya tanpa mengerti harus berbuat apa. Dalam sebuah pernikahan, mengkritik adalah media penularan dari sesuatu hal yang negatif dari pasangan pengkritik ke pasangan yang dikritik. Kalau begitu, berarti, ada hal-hal yang negatif dari pasangan pengkritik yang perlu diwaspadai.

Pasangan yang suka mengkritik itu mengindikasikan hal ini:

1) Selalu melihat gelas sebagai setengah kosong

Pasangan pengkritik biasanya melihat sesuatu hal dari sisi yang negatif. Dengan mudah ia akan melihat cela dari semua hal yang bagi orang lain umumnya baik-baik saja. Suami Jihan melihat tumit istrinya kasar dan pecah-pecah. Ia lupa keseluruhan Jihan adalah wanita yang cantik luar dalam. Tidak heran, umumnya pengkritik adalah orang yang pesimistis agresif ke luar (berbeda dari pesimistis agresif ke dalam yang biasanya suka mengeluh).

2) Menyimpulkan dengan cepat, tidak melihat penyebab

Tanpa disadari, pengkritik hanya melihat hasil akhir atau masalah itu sendiri. Sesungguhnya pengkritik tidak menyentuh akar masalahnya sama sekali. Jika suami Jihan berpikir lebih panjang, 'tumit bibik' Jihan itu disebabkan oleh pekerjaan rumah tangga Jihan yang tiada habisnya. Setiap hari turun naik tangga mengurusi dua orang anak. Meski ada asisten rumah tangga, toh Jihan terus menerus melakukan pekerjaan domestik tanpa jeda itu.

3) Tidak memikirkan solusi

Pengkritik tidak akan sempat memikirkan solusi atas sesuatu yang dicelanya itu. Jikalau terpikir, ia tidak dapat mengkomunikasikan solusinya dengan baik sehingga penerima kritik hanya mengetahui bahwa pengkritik tidak suka dengan sesuatu hal itu namun penerima kritik tak tahu pilihan cara mana yang bisa membuat pengkritik itu suka (baca: stop mengkritik). Jika suami Jihan ingin tumit Jihan lebih halus, apakah suami Jihan bersedia mengambil waktu lebih banyak untuk mengasuh anak?

4) Kurangnya empati


Pengkritik pasangan sebenarnya punya kecenderungan kurangnya empati. Ia tidak mencoba meluangkan waktu untuk berada di posisi pasangan dan melihat sesuatu itu dari perspektif pasangan. Yang terjadi adalah pengkritik menilai sesuatu hal itu dari kacamata dirinya sendiri. Menurut dirinya hal itu masalah sedangkan menurut pasangan yang dikritik belum tentu hal itu masalah.

5) Kemampuan komunikasi buruk

Komunikasi pengkritik buruk sebab ia tidak memahami bagaimana semestinya ia bisa mengutarakan opininya ke pasangan tanpa bernada mencela. Bisa jadi yang diutarakan benar secara substansi, tetapi salah pada cara penyampaiannya. Pengkritik tidak mengenali audiens yang dalam hal ini adalah pasangannya sendiri dengan baik. Untungnya Jihan termasuk sabar. Coba saya yang dikatai 'tumit bibik' oleh suami Jihan, saya akan bilang balik, 'Kepala botak jelek! Tolong dong disikatin tumitku biar mulus... .' --jangan ditiru, hahaha.

6) Tidak romantis

Sudah dapat dipastikan pasangan suka mengkritik adalah sosok yang tidak romantis. Pasangan yang romantis jika menemui ganjalan akan memandang ganjalan itu sebagai peluang untuk membangun konektivitas hati atau intimitas dengan pasangan. Kekurangan dari pasangan semestinya menjadi peluang untuk menunjukkan kelebihan diri. Bisa atau tidak bisa menutupi kekurangan pasangan, pasangan yang romantis akan berupaya mencari waktu yang tepat untuk membicarakannya dengan baik. Jadi, pasangan yang romantis biasanya memang 'bermulut manis.' Pasangan tidak akan sadar ia tengah diberi masukan.

7) Tidak menghormati

Ada sebuah adegan di sebuah tayangan drama yang membuat saya tergelitik. Seorang pria memuji-muji istrinya di hadapan banyak orang sebagai istri yang hebat dan setia, begitu juga ketika di kamar tidur. Esoknya, si istri bercerita pada selingkuhannya bahwa sang suami telah menyadari ia selingkuh. Perasaan cinta yang begitu besar bahkan membuat sang suami merasa malu untuk menuduh istrinya sebab ia tahu hal itu hanya akan mempermalukan sosok yang ia cintai.

8) Rasa percaya diri yang rendah

Bagi orang yang memiliki kepercayaan diri yang rendah, setinggi apa pun posisinya di lingkungan publik, mengkritik pasangan membongkar kecenderungan itu. Pasangan pengkritik membutuhkan seseorang yang dianggap lebih inferior agar ia merasa dirinya lebih superior. Ia mencuri rasa positif pasangan untuk dijadikannya rasa positif di dirinya sendiri. Suami Jihan mungkin tak menyadari bahwa ia sesungguhnya takut kehilangan Jihan yang cantik, cerdas, tetapi rela bekerja di lingkungan domestik dengan menunjukkan kelemahan kecil Jihan agar ia sendiri merasa lebih baik.

Solusi bagi pasangan penerima kritik hanya satu: segeralah bicarakan kebiasaan pasangan itu dengan baik dan dalam situasi dan kondisi yang baik. Berhati-hatilah dalam berbicara karena pasangan pengkritik belum tentu bisa menerima kritik balik dengan baik. Sebaiknya, kita jangan ikut mengkritik.

Sekali lagi, mengkritik itu melelahkan dan lama-kelamaan hanya akan mengurangi kebahagiaan rumah tangga. Kritik sudah banyak didapat di luar rumah. Bersama pasangan, berharap untuk lebih banyak dipuji adalah hal yang normal. Jadi, stop mengkritik pasangan atau nanti kita dikira menderita kedelapan hal itu.

Marilah kita lebih banyak memuji pasangan kita dengan tulus, baik untuk kelebihan maupun kekurangannya, sebelum ia dipuji-puji dengan lebih baik oleh teman sekantornya. :D

***


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun