Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Berakhirnya Rekayasa Politik Istana

9 Agustus 2012   03:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:03 702 0

Putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan peninjauan Kembali (PK) Muhammad Misbakhun membuat partai keadilan Sejahtera PKS percaya diri, dipercaya meningkatkan citra PKS yang selama ini tersudutkan (Jawa Pos, 29/07).

Pengajuan peninjauan kembali, yang diajukan oleh Misbakhun ke Mahkamah Agung (MA). Putusan PK tersebut menyebutkan Misbakhun diputusbebas atas perkara  dugaan pemalsuanletter of credit’(L/C) fiktif Bank Century senilai US$ 22,5 juta. Putusan hakim yang memvonis Misbakhun dengan dakwaan alternatif Pasal 263 KUHP tentang membuat surat palsu tahun 2010, ada indikasi cenderung dipaksakan dari perdata didorong ke pidana tanpa bukti yang kuat, ketika ditanya dimana pidananya hakim juga tak bisa menjelaskan.

Indikasi ini paling tidak sudah sangat membantu untuk menjelaskan ada yang tak beres pelbagai penegakan hukum di republik ini, benarkah kasus Misbakhun adalah kasus rekayasa politik murni dari Istana, kelanjutan dari intimidasi  yang dilakukan Istana kepada politisi inisiator kasus Century. Kalau betul itu terjadi, maka pertanyaan selanjutnya  benarkah Indonesia negara hukum?

Misbakhun adalah tim sembilan inisiator Panwas kasus Century dianggap terlalu vokal selama menjadi anggota DPR, berani mengusut kasus yang diduga melibatkan sejumlah pejabat negara, yang outputnya bisa menggoyang kekuasaan, menyeret petinggi Bank Indonesia (BI), tentu berimplikasi terhadap keberlangsungan kekuasaan penguasa. Ada kecurigaan Misbakhun dilumpuhkan dan dimatikan karirnya secara politik, meskipun dari awal sudah ada sinyal teguran dan intervensi yang dikirim namun Misbakhun tetap rada keras kepala untuk tetap menyuarakan kasus Century. Putusan bebas Misbakhun oleh Mahkamah Agung, adalah  bukti indikasi kriminalisasi dan rekayasa politik terhadap dirinya oleh rezim yang berkuasa.

Intervensi  dan ikut campur tangan ajaib  penguasa  terhadap penegak hukum bisa saja terjadi. Karenadalam teorinya, pekerjaan yang paling menentukan hukum dibuat oleh para wakil rakyat atau politisipolitisi yang duduk di parlemen, ternyata tak lepas dari pelbagai pengaruh kekuatan politik dan ekonomi di luar tembok  parlemen. Begitu juga penerapan hukumnya oleh para hakim, sangat berpontensi dicampuri kepentingan  dan intervensi luar yang menginginkan (atau memesan) suatu keputusan hukum (dengan sandaran hukum pula) oleh rezim yang sedang berkuasa. Supremasi hukum di level ‘rule creation’ dan ‘rule application’ telah menimbulkan keraguan di banyak kalangan terhadap putusan hakim.

Telisik Rekam Jejak

ICW misalnya marah besar, menyatakan dan akan mengadukan hakim Mahkamah Agung yang membebaskan Misbakhun. Mempertanyakan putusan PK Mahkamah Agung yang penuh dengan kejanggalan, sebab perlakuan  tak sama antara Misbakhun yang PK-nya diterima, sementara peninjauan kembali Franky Ongkowardjojo, justru ditolak Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, ditambah lagi pada waktu putusan vonis bebas Misbakhun masih terdapat perbedaan sikap hakim Mahkamah Agung, tak salah dan wajar ICW curiga dan marah terhadap putusan hakim Artidjo Alkostar dan anggotannya.

Siapa sebenarnya hakim Artidjo Alkostar? Ia selama ini digolongkan sebagai salah satu hakim Mahkamah Agung paling idealis saat ini, memiliki kapasitas, kapabilitas, intelektualitas, juga mempunyai rekam jejak dan integritas yang baik. “Setidaknya itu bisa kita lihat dari putusan yang dikeluarkan yang banyak mencerminkan rasa keadilan masyarakat”. Salah satu contohnya, ketika Artidjo mengajukan ‘dissenting opinion’ atau perbedaan pendapat dalam Sidang Majelis Kasasi atas perkara Rasminah, nenek yang dituduh mencuri piring oleh majikannya 31 Mei 2011 yang lalu, dengan menyatakan Rasminah tidak bersalah.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun