Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Kejahatan Negara Kepada Rakyatnya

3 Agustus 2012   16:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:17 436 0
Kenaikan sangat signifikan berdampak pada rakyat, khu­susnya mereka yang berpendapatan menengah ke bawah. Kenaikan ini akan menggerus daya beli rakyat yang sudah sangat rendah, pendapatan rumah tangga miskin semakin merosot, sedangkan harga kebutuhan pokok terus meroket. Biasanya kenaikan harga ini bersifat momentum, tetapi harga tak pernah kembali normal setelah momentumnya usai. Pemerintah hanya bisa memonitoring harga kebutuhan pokok tapi tak berdaya menstabilkan harga kebutuhan pokok. Mulai dari harga sembako (beras, daging, kedelai), tiket pesawat terbang dan kareta api, harganya naik 200 persen menjelang Ramadhan, adalah bukti negara telah dikalahkan oleh  sistem mekanisme pasar.

Biang Keladi

Pemerintah untuk mengantisipasinya, yang sudah-sudah yakni selalu operasi pasar dan pasar murah, namun strategi ini gagal karena hanya bersifat sesaat dan cenderung hanya untuk mencari popularitas dan pencitraan namun tetap yang menanggung ini semua adalah rakyat kecil yang tak mampu karena tak punya posisi tawar.

Menurut teori harga, tingkat permintaan dan penawaran yang ada, ditetapkan harga keseimbangan dengan cara mencari harga yang mampu dibayar konsumen dan harga yang diterima produsen sehinga terbentuklah jumlah yang diminta sama dengan jumlah yang ditawarkan.

Padahal, sembako merupakan kebutu­han paling vital massa rakyat,  jika tidak terpenuhi, bisa memicu gejolak sosial. Ada beberapa hal yang menjadi catatan penulis penyebab (biang keladi) kenaikan harga bahan pokok ini; Pertama, meroketnya harga bahan pokok akibat buruknya infrastruktur distribusi, saluran distribusi yang tergangu sebab banyak yang sudah rusak otomatis biaya produksi menjadi naik. Pemerintah harus me­ngan­tisipasi gangguan distribusi ba­han pokok di bulan Ramadhan dan Lebaran agar tak menimbulkan gejolak harga di pasar.

Kedua, hukum dan mekanisme pasar berla­ku, efek paling dominan pengaruhnya terhadap kenaikan harga sembako,pemerintah benar-benar melepas harga sembako pada mekanisme pasar. Sejak pemerintah menjadi pengikut setia dogma neoliberal, hampir semua persoalan ekonomi diserahkan kepada pasar, nenek moyang semua masalah diatas, padahal kemampuan mem­beli masyarakat rendah karena naiknya harga tak diimbangi dengan meningkatnya jumlah pen­dapatan. Masyarakat seakan tak memiliki pilihan dan benar-benar tak berdaya ketika bahan pokok melambung hingga 30 persen, mereka tetap membeli sebab bahan pokok sulit tergantikan, berbeda dengan baju misalnya kalau harganya mahal kita bisa hijrah ke baju merek lain yang lebih murah. Meskipun harga pelbagai kebutuhan pokok naik, mereka tetap membelinya untuk memenuhi kebu­tuhan menyambut Ramadhan.

Ketiga, dipicu tradisi para pedagang yang menyetok barang yang akan dijual kembali pada harga tinggi, artinya faktor suplai dan permintaan, kenaikan harga akibat aksi koboy spekulasi pedagang yang memiliki modal besar. Artinya, menimbun stok dan menjual kembali  secara bertahap. Keempat, pengaruh ancaman krisis pangan dunia, pengahancuran produksi pertanian di negara dunia ketiga, efek serangan produk impor. Pemerintah harus tegas menerapkan tindakan pengamanan terhadap produk dalam negeri atas banjirnya produk impor,  pemerintah harus berani seperti yang telah dilakukan oleh Amerika Serikat menerapkan pengamanan perdagangan (safeguard) karena terjadinya lonjatan produk impor atas produk-produk China yang terdiri dari barang-barang komsumsi (buah, gula, daging) dan keperluan industri manufaktur. Petani tak punya semangat menanam padi karena harga beras dan buah mereka dihargai rendah dan  pemerintah yang tak berpihak kepada petani, sementara harga impor murah sehingga harga buah lokal, beras dan daging tak mampu bersaing dengan harga produk  impor.

Kelima, kenaikan harga bahan pokok lebih banyak disebabkan buruknya tata niaga, sebab panjangnya mata rantai perdagangan. Tata niaga yang tak sehat yang menjelaskan mengapa kenaikan harga pangan tak nikmati petani sebagai produsen. Keenam, faktor psikologi penjual dan agen barang, mereka memanfaatkan momen dengan menaikkan harga menjelang perayaan hari-hari besar demi mengeruk keuntungan besar yang dimanfaatkan oleh penjual. Ritual klasik kenaikan harga di bulan Ramadhan tak boleh dibiarkan.

Kebijakan Rabun

Baru-baru ini impor beras dikecam petani, beralasan panen tahun ini diatas harapan, produksi dalam negeri meningkat sehingga impor beras tak diperlukan (kompas, 21/7). Kebijakan seperti ini yang membuat petani semakin sensara. Impor beras, daging, buah, gula dan kebutuhan komsumsi lain adalah bukti nyata bentuk penyakit rabun yang diderita para penentu kebijakan pangan di republik ini.

Pemerintah telah gagal mewujudkan kedaultan pangan di dalam negeri. Alih-alih berjuang keras mewujudkan kedaulatan pangan, pemerintah malah membuka pintu izin impor untuk masuk­nya produk pertanian dari negara lain. Selain itu, atas petunjuk lembaga-lembaga dan negeri-negeri imperialis, pemerintah telah mengha­pus subsidi untuk pertanian. Jadi solusi untuk ini semua menurut penulis jangan hanya kebijakan yang bersifat sesaat, tapi sudah saatnya pemerintah berfikir jangka panjang (visioner).

Sekali lagi jangan sampai rakyat Indonesia  gelisah dan rakyat dibuat tak tenang beribadah akibat meroketnya kebutuhan bahan pokok,  pemerintah seakan tak hadir untuk berani memutuskan kebijakan yang membela rakyat. Kalau kenaikan harga  sembako ini terus terulang dengan pola yang sama dan tak ada solusi berarti benar pemerintah telah kalah oleh mekanisme pasar dan swasta, pemerintah ada namun tak berfungsi, meminjam kata Sartre “antara ada dan tiada”.  Semoga!!

Pangi Syarwi Adalah Analisis Pada Program Pascasarjana (PPs) Fisip Universitas Indonesia.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun