Bagi Mu’in sendiri, nilai pahala ibadah di bulan Ramadhan yang berlipat ganda, bukanlah hal yang penting, karena sejak dia jadi “orang”, nyaris sangat jarang dia terlibat aktifitas ibadah, jadi baginya Ramadahan hanyalah bulan persiapan menyambut lebaran, tak lebih dari itu. Untuk orang dengan “type” seperti dia, justru lebaran itulah yang merupakan momentum yang harus benar-benar dia manfaatkan untuk mempertahankan jabatannya. Dia sama sekali tidak menyadari kalo hari raya Idul Fitri itu sejatinya hanya diperuntukkan bagi mereka yang benar-benar taat menjalankan ajaran agma selama bulan Ramadhan. Bulan penuh berkah itupun akhirnya hanya jadi alat “pencitraan” baginya. Untuk itulah, pada tahun inipun Mu’in juga hanya disibukkan dengan mempersiapkan puluhan parcel mahal yang bakal dia “sebar” untuk mengamankan posisi “strategis”nya yang sudah memberinya berbagai kemewahan finansial bagi diri dan keluarganya. Parcel-parcel “eksklusif” itu bukan saja dia peruntukkan untuk pejabat di atasnya, tapi juga untuk pihak-pihak lain yang dia anggap berperan untuk “mengamankan” posisinya, mulai dari oknum aparat, oknum wartawan, pimpinan ormas berpengaruh sampe lembaga swadaya masyarakat yang selama ini tergolong “vokal” mengkritik kebijakannya. Mu’in tau persis, momentum lebaran merupakan waktu yang pas untuk memberikan bingkisan “penutup mulut” itu, karena dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya, semua pihak yang dia “suap”, biasanya menerimanya dengan senang hati, bahkan sudah menganggap itu sebuah “tradisi”
Saking sibuknya mempersiapakan lebaran, Mu’in sampe “nggak sempat” melaksanakan kewajiban yang seharusnya dia lakukan di bulan Ramadhan. Puasanya nggak pernah “nyampe”, meski tiap malam dia ikutan makan sahur dengan menu yang istimewa yang dihidangkan oleh para pembantunya, tapi puasanya hanya bertahan paling-paling sampe jam 11 siang. Dengan alasan penyakit asam lambungnya lagi kumat, seolah jadi “pembenar” bagi dia untuk melepaskan puasanya. Sholat lima waktu yang merupakan kewajiban “melekat” pada dirinya yang mengaku Muslim itupun sudah lama sekali tidak dia kerjakan, paling-paling seminggu sekali dia pergi ke masjid untuk sholat jum’at, itupun jika sedang bersama para pejabat lainnya yang dia segani. Begitu juga dengan sholat tarawih, itupun “terpaksa” dia ikuti hanya karena dia masuk di Tim Safari Ramadhan karena posisinya segai seorang pejabat.
Susi, sang isteri juga setali tiga uang, bagi dia, selama suaminya mampu memberikan apapun yang dia minta, dia tidak akan perduli dari mana suaminya memperolehnya, mau halal mau haram, sebodo amat, begitu pikirnya. Karena sejak suaminya dilantik jadi pejabat kira-kira lima tahun yang lalu, gaya hidup dan penampilannya pun berubah drastis, begitu juga lingkungan pergaulannya juga mulai “bergeser”. Hubungan dengan tetangga mulai renggang karena dia merasa sudah “naik kelas” sehingga merasa bukan “level”nya lagi bergaul dengan para tetangga yang kebanyakan dari kalangan “biasa” itu. Pakaian dan perhiasan mahal seperti sudah menjadi “mainan” biasa baginya, soal duit, dia nggak perlu pusing-pusing, tinggal mita sama suaminya, langsung dia dapatkan, seberapapun dia minta. Mu’in sendiri begitu memanjakan istrinya, tidak lain juga sebagai bentuk ”balas budi”, karena dulunya Mu’in hanyalah seorang pegawai biasa dan dia berasal dari keluarga biasa pula, bahkan boleh dibilang dari keluarga “susah”, tapi sejak dia menikahi Susi, anak seorang mantan pejabat berpengaruh di kota itu, “derajat”nya mulai naik. Entah bagaimana cara mendapatkannya, tau-tau dua gelar sarjana sudah melekat di belakang namanya, bahkan satu gelar magister juga sudah bertengger di badge namanya.
Berbelkal ijazah kesarjanaan yang sebenarnya “nggak jelas” itu ditambah lobby dari mertuanya yang kebetulan punya kedekatan keluarga dengan pimpinan daerah disitu, maka karir Mu’in pun melejit bagai roket luar angkasa. Hanya dalam beberapa tahun saja, dia sudah menduduki posisi “top leader” di kantornya, jabatan eselon dua itu kemudian jadi “alat” bagi dia untuk bisa hidup mewah, sesutau yang tidak pernah termimpikan sewaktu dia hidup susah dulu. Kebetulan instansi yang dia pimpin adalah instansi yang banyak kegiatan proyeknya, dan dengan “power” dan kedekatan dengan penguasa daerah, dia bisa leluasa mematok “fee” dari semua proyek yang ada di kantornya.
Meski sudah termasuk keterlaluan, tapi perilaku “illegal” dari Mu’in nyaris aman-aman saja dari sentuhan hukum, memang sih untuk “mengamankan” kecurangannya itu, nggak sedikit uang yang harus dikeluarkan buat sogok sana suap sini, toh bukan duit dari kantongku, begitu pikirnya. Mu’in nggak peduli dengan keluhan dari bawahannya yang merasa begitu tertekan dengan “kebijakan” yang dia terapkan, baginya bawahan hanyalah “alat” untuk menggapai tujuan pribadinya. Dia juga nggak takut posisinya bakal “bergeser”, karena dia begitu yakin sang penguasa daerah ada di pihaknya.
Tapi ibarat pepatah “ Sepandai-pandai tupai melompat, sekali-sekali jatuh juga”, itu pula yang kemudian terjadi pada Mu’in, akumulasi tindakan penyelewengan yang dia lakukan rupanya diam-diam dipantau oleh sebuah LSM anti korupsi, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang selama “luput” dari pantauan Mu’in. LSM itu bisa mendapatkan data detil dari para anak buah Mu’in yang memang sudah lama merasa sakit hati dizalimi oleh atasannya yang rakus itu.
Tapi lagi-lagi, Mu’in menganggap itu masalah “kecil” yang bisa dia selesaikan dengan pengaruhnya dan nggak perlu ditakutkan, toh dia punya “beking” yang kuat. Saking pedenya akan “power” yang dia miliki, akhirnya sebuah tindakan “ceroboh” telah dilakukan oleh Mu’in, ketika ketua LSM itu menemuinya untuk klarifikasi, Muin malah marah-marah dan menantang LSM itu untuk membuktikan kecurigaanya, tak cukup disitu, mulutnya juga mengeluarkan ucapan-ucapan “kotor” bernada ancaman. Merasa ditantang, sang ketua LSM pun segera membeberkan bukti-bukti di hadapan aparat penegak hukum, dan mereka yang selama ini “tertelikung” oleh duit si Mu’in dengan bekingnya yang kuat, kali ini nggak bisa berkutik lagi, karena selain melaporkan ke aparat penegak hukum, sang ketua LSM juga membuat pers release ke berbagai media cetak maupun online, mau tak mau kasus Mu’in harus segera di “angkat”, karena sudah terpublikasikan di berbagai media.
Mu’in masih santai-santai saja menghadapi akhir bulan Ramadhan, tiga hari menjelang lebaran dia pun menjalani hari tanpa puasanya dengan tanpa beban, meski di luar sana semua tetangganya sedang menahan lapar menjalankan ibadah puasa, Mu’in dengan santainya menikmati kopi dan makanan ringan di ruang keluarga, isterinya juga nggak begitu peduli suaminya mau puasa atau tidak, yang penting kebutuhan lebaran sudah terpenuhi, dan “gengsi”nya dimata teman-teman se “level” nggak bakalan “merosot”. Bagi keluarga Mu’in, gengsi dan “harga diri” adalah segala-galanya, bahkan mengalahkan nilai-nilai kesucian bulan yang sangat dihargai oleh ummat Islam sedunia itu, gengsi dan harga diri dalam penafsiran Mu’in dan keluarganya, tidak lain hanya di ukur dengan gelimang harta dan kemewahan dunia.
Memasuki hari terakhir Ramadhan, bakda maghrib, suara takbir dan tahmid sudah mulai bergema dari semua masjid dan musholla, tapi itu sama sekali nggak “menggerakkan” hati Mu’in untuk melangkah ke sana. Seperti tahun-tahun sebelumnya, dia paling malas kalo harus pergi takbiran ke masjid atau musholla, yang menurut dia hanya berisi orang-orang kampung yang tidak se”level” dengannya. Sejak kehidupan dan status sosialnya berubah, memang Mu’in jadi sangat angkuh, sombong dan selalu memandang sebelah mata kepada para tetangganya, dia tidak ingat kalo dulunya dia juga nggak lebih dari seorang “gembel”.
Dan akhir Ramadhan itu menjadi malam “naas” bagi Mu’in, di saat yang lainnya gembira merayakan sebuah kemenangan, justru malam itu jadi malam terburuk baginya.Jam dinding mewah yang ada di ruang tamu menunjukkan jam sepuluh lewat lima belas menit ketika Susi dikejutkan dengan ketukan keras di pintu rumahnya, awalnya Muin dan Istrinya sempat mengeluarkan kata-kata “ngak enak” karena dia menyangka yang datang itu tetangganya yang mau minta sumbangan untuk masjid atau musholla, atau remaja masjid yang meminta sumbangan “ta’jilan” untuk mereka yang sedang takbiran di masjid.
Tapi begitu pintu terbuka, lima orang polisi bersenjata lengkap sudah berada di teras rumah,
“Selamat malam, pak, bu, kami dari kepolisian ingin menyerahkan surat perintah penangkapan ini” kata seorang polisi yang mungkin komandan regu itu sedikit berbasa basi, dia menyodorkan sebuah amplop kepada Mu’in,
“Penangkapan apa ini, kalian tidak tau siapa saya?” Mu’in masih punya nyali untuk menggertak polisi-polisi itu,
“Maaf pak, kami hanya menjalankan perintah, silahkan bapak menyampaikan keberatan bapak di kantor polisi” para polisi itu tidak tersulut emosi dengan gertakan Mu’in,
“Sebentar, saya akan telepon atasan kalian, biar kalian tau siapa saya” sahut Mu’in masih dengan nada tinggi, Mu’in mau beranjak ke dalam mengambil handphone, tapi seorang polisi dengan sigap langsung menangkap tangannya, Mu’in berontak tapi cekalan tangan polisi itu lebih kuat, sepasang “gelang antik” segera terpasang memborgol kedua tanganya,
“Kurang ajar kalian, kulaporkan nanti sama atasan kalian, kalian bisa dipecat” Mu’in yang sudah terborgol masih juga mengeluarkan ancamannya, tapi polisi-polisi itu bergeming, mereka tetap membawa Mu’in ke mobil patroli.
Susi hanya bisa berteriak histeris melihat suaminya digelandang ke mobil patroli dalam keadaan terborgol, tapi teriakannya nyaris “tenggelam” oleh lantunan gema takbir malam itu. Para tetangga juga tidak satupun yang datang kesitu, karena mereka sudah terbiasa mendengar jeritan, makian dan kata-kata “kotor” dari dalam rumah mewah itu, jadi mereka mengira kejadian malam itu juga hanya peristiwa biasa. Hanya raungan sirine mobil patroli itu saja yang kemudian “mengusik” para tetangga untuk “mengintip” dari balik jendela rumah mereka, tak begitu jelas memang apa yang telah terjadi, tapi kalaupun mereka bisa melihat jelas apa yang sudah di alami oleh Mu’in, sepertinya mereka juga akan acuh saja, seacuh sikap Mu’in dan keluarganya pada mereka.
Tinggal Susi sendirian di rumah, dua anaknya sedang nongkrong di kafe dengan teman-teman “gaul” mereka, dan biasanya dini hari mereka baru kembali ke rumah. Beberapa kali Susi menghubungi kedua anaknya melalui hape, tapi sia-sia saja, selalu terjawab dengan nada sibuk. Ingin rasanya dia lari untuk “mengadu” kepada tetangga-tetangganya, tapi dia ragu apakah tetangganya mau mendengar pengaduannya, karena dia sendiri selama sama sekali nggak punya kepedulian terhadap tetangga.
Sementara Mu’in yang sudah sampai di kantor polisi, langsung dijebloskan kedalam sel yang sudah berisi empat orang tahanan lainnya, dia coba berontak tapi sia-sia, ocehan yang bernada angkuh dan mengancam itu sama sekali tidak digubris oleh para polisi itu, mereka tetap memsukkan Mu’in ke ruang pengap itu, sementara empat yang sudah lebih dulu jadi “penghuni” sel itu, menyambutnya dengan tatapan sinis.
Ujung Ramadhan yang bagi banyak orang jadi malam kemenangan itupun berubah menjadi malam “kelam” bagi Muin, keangkuhannya tak mampu menolongnya, kekayaannya tak mampu membantunya, bahkan istri yang selalu dimanjakan dengan gelimang harta itupun tak berdaya untuk melakukan sesuatu, dan lebih tragisnya di saat bersamaan kedua anaknya sedang asyik “dugem” dengan teman-temannya. Dan akhir Ramadhan tahun ini akan jadi awal hari- hari kelam yang akan terus menemani Mu’in, akibat keserakahan dan keangkuhannya, lantai dingin berdinding jeruji, jadi akhir “petualangan” Mu’in, benar-benar sebuah nestapa bahkan petaka baginya di ujung Ramadhan ini.