Darwin sebenarnya sudah mengetahui kalau keretaapi yang ia tumpangi memang akan mempunyai keadaan yang demikian. Pertama ia melihat keadaan di peron. Banyak penumpang menumpuk di situ. Berdiri dan duduk menunggu seperti dirinya. Ada yang terlihat gelisah sambil menengok-nengok ke arah utara tempat keretaapi akan datang dari pemberangkatan awalnya di stasiun Jakartakota yang hendak menuju stasiun Tebet tempat ia dan penumpang lainnya berada. Kedua kereta agak terlambat datangnya dari jadwal semula dikarenakan ada masalah sinyal di stasiun Manggarai. Hal itu juga yang menyebabkan penumpang bertambah dan menumpuk. Ketiga sekarang adalah hari Sabtu, akhir pekan. Tentulah kalau di akhir pekan semua orang yang tinggal di Jakarta ingin ke Bogor untuk ke Kebun Raya atau mungkin ke Depok ke tempat keluarga.
Sekarang sudah jam setengah 2 lewat 5 menit. Keretaapi sudah terlambat sepuluh menit. Tentu sepuluh menit bisa jadi waktu yang sebentar dan itu untuk mereka yang sedang menyaksikan atau mendengarkan acara kegemaran mereka di radio dan televisi dan waktu sepuluh menit juga bisa dilewati dengan mendengar 3 buah lagu. Tetapi, sepuluh menit ternyata waktu yang cukup lama untuk menunggu si ular besi yang diharapkan datang.
Dalam waktu seperti itu Darwin selalu melirik pada jamtangan yang terbelit di tangannya. Ia merasa dirinya sudah terlambat untuk bisa menghadiri pesta pernikahan temannya di Bogor. Karena ia sendiri kurang tahu tempatnya maka ia minta ditunggui oleh teman-temannya di stasiun Bogor. Ia merasa pasti teman-temannya sudah berada di jalan. Ia lalu sms salah satu temannya,
"Lo lagi dimana?" tanyanya dalam sms-nya.
Temannya yang bernama Fadli menjawab,
"Gue lagi di Pasar Minggu. Lo?"
"Gue masih di Tebet,"
"Lo pasti tadi ketinggalan kereta ya?"
"Mang tadi ada kereta?"
"Ada tapi kereta ekonomi,"
"Oh, gitu gue naik AC nih,"
"Gaya banget lho. Hahaha,"
"Setan lo! Tunggu gue ya di Bogor?"
"Oke,"
Lepas sepuluh menit keretaapi AC Ekonomi yang ditunggu-tunggu akhirnya datang setelah sebelumnya operator di stasiun Tebet memberitahukan kedatangan kereta dari arah Utara. Benar apa yang dipikirkan Darwin. Penuh dan padat. Itu yang terlihat olehnya ketika kereta melintas di depan para penumpang yang hendak naik. Ketika pintu dibuka para penumpang berebut ingin masuk ke dalam. Darwin pun juga terpaksa seperti karena tidak ada pilihan lain. Mulailah ia berdesak-desakan dengan sesama penumpang. Benar-benar seperti terhempit banyak beban. Salah seorang penumpang ada yang menginjak kakinya untungnya ia merasa tidak kesakitan karena memakai sepatu. Di sisi lain ada penumpang yang berteriak-teriak, heh jangan main dorong dong. Ia berkata seperti itu karena merasa didorong oleh penumpang yang hendak naik. Kereta pun berjalan. Di tiap stasiun bukannya berkurang kepadatan makin bertambah seperti layaknya Jakarta yang tiap tahun makin padat.
Dalam keadaan seperti ini Darwin hanya bisa terpaku sambil memegang pegangan yang berada di atasnya. Tak ada si pemeriksa karcis kalau sudah seperti ini karena si pemeriksa karcis sudah ogah untuk melanglang buana diantara banyak kepala. Teriakan anak kecil seperti menambah kepadatan yang sudah membahana tersebut. Mendengar itu Darwin kesal di hatinya walaupun ia teringat perkataan ibunya bahwa tangisan anak kecil bisa menyelamatkan orang dari kecelakaan karena jiwa mereka yang bersih dan dijaga malaikat. Darwin pun berharap semoga kepadatan ini berkurang ketika kereta mencapai stasiun Depok Baru.
Di dalam itu ia lalu mengkhayal karenanya. Keadaan keretapi di Indonesia yang semakin memadatkan penggunanya dan bukan menyamankan. Dirinya yang mengkhayal itu lalu menerawang ke seluruh interior kereta AC Ekonomi dan terlihat bahwa keretaapi ini adalah "buangan" dari Jepang. Di negara asalnya pasti tidak sepadat ini. Darwin melihat kepadatan ini seperti dibuat-buat dan akhirnya dimanfaatkan oleh mereka yang sebenarnya tidak memiliki tiket AC Ekonomi untuk ikut masuk ke dalam.
Ia lalu teringat tentang keretaapi lantai ganda atau double decker. Keretaapi itu seharusnya ada di Indonesia terutama di jalur jabodetabek yang begitu padat menggila penggunanya. Di negara-negara lain yang ada sistem komuternya saja kereta jenis itu ada. Ia yakin kereta itu pasti bisa menjawab kepadatan dalam gerbong ini. Ia lalu membayangkan bentuk kereta itu yang besar dan padat berwarna putih dengan lambang KA yang berwarna merah. Jika satu gerbong kereta normal berjumlah 8 gerbong maka jika ada double-decker akan berjumlah 16. Manusia-manusia di Jabodetabek yang menggunakan keretaapi untuk ke tempat kerja dan ke kampus akan bisa terangkut semuanya dengan tertib dan karenanya tidak boleh lagi ada manusia-manusia konyol yang mencari mati di atap kereta.
Keretaapi jenis ini pun juga bisa diaplikasikan untuk lokomotif yang keluar kota apalagi saat mudik. Berita tentang padat tidak teraturnya keretaapi sudah tidak akan terdengar lagi. Kereta sapu jagad karenanya tidak diperlukan lagi.
Tetapi dalam hatinya ia meragukan apa bisa negara ini membuatnya?
Keretaapi AC Ekonomi yang ia tumpangi terus melaju sampai akhirnya ke stasiun Depok Baru. Benar sesuai dengan pikirannya. Para penumpang memang kebanyakan turun di stasiun ini. Kemudian di stasiun berikutnya dari Depok Lama hingga Cilebut terus terjadi pengurangan penumpang. Darwin pun lega.
Jam 3 kurang 10 menit ia akhirnya sampai di stasiun Bogor lalu mencari teman-temannya lewat sms. Ia lalu menemukan mereka di depan loket keluar stasiun dan bergegas ke sana,
"Enak bro naik AC?" tanya salah satu temannya Husin.
"Enak apaan?" jawabnya, "Penuh,"
"Sapa suruh naek AC," kata Fadli, "Gaya sih lo. Udah tau hari gini penuh banget,"
"Ya udahlah," kata Darwin, "Sekarang kita ke pesta aja langsung,"
Mereka bertiga kemudian meninggalkan stasiun Bogor dengan meninggalkan peninggalan berupa tiket kepada petugas di sana dan selanjutnya naik angkot sambil disirami udara yang perlahan-lahan hangat di sore hari.