Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Yang Terampas dari Setiaku

29 Mei 2015   08:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:29 105 1
Oleh : D-Nyota

Malam kala kerinduan perlahan menyekat  ragaku, menawarkan secawan kopi susu kesukaanku, disini dingin, rindu pun menggulung dalam gumpalan buih susu  membentuk gambar hati. Sebelum mereguk  isi cangkirnya asap manis mengebul pada tatakan cangkir bergambar kopi timbul dibagian luarnya, menyusun kepingan kenangan  indah dalam merenda jala cinta.

"Kenapa suamiku belum datang juga?" Batinku dalam hati.

Aku masih duduk di sofa ruang tamu. Menunggu datangnya sosok yang sudah sepuluh tahun berbagi rasa denganku. Sepinya malam ini merogoh segala resah dan gundah gulana yang bercampur aduk dalam bening otakku.

"Ya Rob, lindungi suamiku dari segala marabahaya"

Jarum jam terus melaju, menghentikan gerak laku manusia setelah  terlelah di siang yang mengejar kaki, tangan, dan otak untuk beradu dengan dunia mereka. Rintik gerimis  meramaikan  heningnya malam. Harum bau tanah  basah menjadi parfum  wangi di beranda depan rumahku. Menghangatkan dingin malam.

" Kring…. Kring……" suara telepon berdering.

Aku masih saja tak beranjak meski dering telepon mengibaskan fikir-fikirku tentang suamiku. Hingga dering kedua menyusul setelah dering yang pertama kuabaikan.  Segera kuangkat gagang telepon. Kurasa itu suamiku.

" assalamualaikum, abang dimana? Baik-baik saja kan bang? ". sapaku mengawali pembicaraan.

Dan hanya terdengar pesan yang mengabarkanku untuk segera datang di rumah sakit Hardikusumo.

Aku juga tak tahu bagaimana aku harus menuju kesana, sedangku tak bisa mengendarai sepeda motor. Ku lihat angka dalam jam dinding yang menunjukkan pukul 2 malam. Aku sendiri disini, dirumah yang hanya berpenghuni aku dan anakku yang kini masih tertidur lelap. Kebingungan meraba fikirku. Kegoncangan batinku mulai membuncah, sedikit tangis pun mulai meleleh dari ujung mataku. Aku berusaha menutup kegelisahan dengan menyandarkan telapak tanganku erat dalam hati. Aku harus bagaimana  ?!!

Kini jantungku berdegup tak beraturan. Aku pun keluar rumah memastikan bahwa masih ada warga penduduk yang berjaga di pos kampung. Aku jadi teringat pesan suami untuk tidak keluar rumah sampai menunggunya datang sendiri. Namun suamiku, saat ini bukan aku yang menunggumu namun kau yang telah menungguku lama dipembaringan sana. Aku masih perlu menata hati untuk melihat kenyataan yang akan ku lihat nanti.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun