Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

[ Untukmu Ibu ] Lukisan Sang Ibu

22 Desember 2013   14:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:37 173 0
Kuberikan sepucuk surat cinta untuk ibu dikampung. Walau hanya sebatas lukisan kecil yang menempel pada kertas putih yang telah bercampur tinta hitam didalamnya. Tak ada suara hewan yang terdengar. Gelap. Pertanda hari sudah malam. Lampu dipingiran jalan mulai terlihat terang. Kamar didekat dapur itu masih terlihat gelap. Tak ada penghuni yang datang, hanya seekor tikus hitam yang menyelinap dalam terowongan kecil. Yah, wanita separuh baya yang sedang duduk dikursi coklat itu terlihat melamun. Bajunya kumal dan berwarna hitam. Menunggu datangnya sang angin malam.

Tak terdengar langkah kaki, hanya suara angin yang melintas kencang ditelinganya. Bosan. Kata-kata itu terucap jelas dari bibirnya yang berwarna merah, pilu dan sakit rasanya. Jantungku tak beraturan memandang lukisan sang ibu yang berada didekat dinding putih dipojokan kamar. Andaikan saja semua nyata, pasti ada kebahagian dalam diriku. Aku bukanlah siapa-siapa lagi diantara rerumputan yang tumbuh liar ditengah malam. Wanita tua yang aku rindukan kini ada diluar kota. Hanya lukisan kecil yang selalu aku pandang tanpa bosan. Kisah-kisah pilu bersamanya, membuat pikiranku semakin meledak dalam bisikan angin malam.

Kuungkit masa lalu bersamamu, walau kini aku dalam perantauan. Aku selalu memandang lukisan sang ibu. Lukisan yang tak pernah terhapus dalam memori hidupku. Lukisan yang tak tergantikan selama nafas ini masih berhembus. Lukisan cinta yang kau pandang setiap waktu dalam sholatmu. Beribu lukisan kasih yang tak dapat orang lain berikan padaku. Hanya kaulah lukisan terindah dalam jiwaku. Lukisan hati seorang ibu yang tulus dalam setiap hembusan nafasnya.

“Ibu,” gumamku.

Ketika kumelangkah dalam kegelapan, kau selalu memberikan lilin kecerahan dalam hidupku. Ibuku adalah wanita tangguh yang tak mengenal lelah. Wanita yang telah melahirkanku, memperjuangkan nyawanya demi buah hati tercintanya. Nyawanya menjadi pertaruhan dalam hidupnya. Wanita yang selalu mendo’akanku setiap malam tiba.

Ibuku adalah buruh tani. Ibu yang berbadan kurus dan berambut keriting. Wanita yang aku kagumi. Tak banyak yang ingin aku katakan padanya, hanya sebait surat cinta yang ingin aku berikan. Tak ada tangisan yang membanjiri pipiku, tapi air mata batin yang selalu mengalir dalam hatiku. Ibu, andaikan aku kenang masa itu. Aku ingin menjerit dan meluapkan segala kasih sayangmu padaku. Ibu, masihkah kau ingat! Ketika hujan lebat dipinggiran sawah miliki tetanggamu, dirumah tua yang berwarna hijau. Aku setia menunggumu, hingga akhirnya kaki ini melangkah untuk menjemputmu. Hujan deras tak pernah kuhiraukan. Angin besar yang melintas, tak pernah mematahkanku untuk memegang tangan dinginmu. Ibu, tangisanku meledak. Petir yang terdengar keras diatas langit, tak aku hiraukan. Aku merindukanmu, ibu. Aku pun sibuk mencari kunci motor untuk menjemputmu disawah. Sawah yang terbentang luas. Sawah milik tetangga, entah berapa jam kau menunduk mengarit gerombolan padi yang masih tertanam dipetakan. Kau lakukan itu semua, agar kami tak kelaparan.

Dan ketika kendaraan berwarna orange yang bermerek Vega-R ini berjalan menerjang hujan dan petir. Aku yang tak memakai baju mantel dan hanya menggenakan topi berwarna kuning untuk menutupi kepalaku dari hujan. Aku takut terjadi apa-apa denganmu,” gumamku. Dan aku pun menggigil kedinginan diperjalanan.

Melintasi hutan dan jalan yang naik turun gunung. Aku menunggumu didekat kuburan, disebelah rerumputan yang panjang, dan disebelah jembatan berwarna hitam putih. Yah, kulihat kau menangis dari kejauhan. Apa kau sedih melihatku seorang diri, bu? Berdiri dan menenggok kekanan dan kekiri. Seperti orang kebingungan, tak tahu jalan. Aku hanya berdo’a agar Tuhan melindungimu disetiap langkah yang kau tempuh.

Aku melihat bajumu basah kuyup dan kedua tanganmu menggengam setengah karung bulog yang beisi gabah atau padi didalamnya. Kau hanya memakai tudung coklat untuk menutupi kepalamu dari hujan. Aku pun segera menhampirimu, sedangkan teman-temanmu kehujanan berjalan melintasi air yang mengalir dari setiap perjalanan. Ibu, kau adalah harta termewah yang aku miliki dalam hidup ini. Beribu-ribu ucapan ibu dalam hatiku. Dan tak pernah berhenti.

Ibu, andaikan saja aku tak menjemputmu waktu itu. Kau tak akan menangis dan menggenangnya. Hujan yang turun semakin deras dan disertai petir. Tangan ini ingin selalu menggengammu. Wajahmu pucat dan kedua kakimu gemetaran menahan dinginya hujan. Ibu, dulu ketika aku keinginan kau selalu menyelimutiku dalam hangatnya sarung coklat pemberian kakek. Kehangatan dalam tubuhku adalah karena kasih sayangmu. Tapi, ketika kau kedinginan karena hujan aku tak mampu memberikanmu kasih sayang. Hanya pengorbanan yang dapat aku berikan. Maafkan aku ibu?” gumamku dalam hati.

Ibu, aku selalu berharap kau dalam keadaan sehat. Jangan cemaskan aku yang dalam perantauan. Tak ingin kumendengar kau menangis ketika hujan turun. Aku hanya ingin melihat ibu tersenyum. Pengorbannku tak sebanding dengan perjuanganmu ketika merawat dan membesarkanku. Nyawaku pun akan aku pertaruhkan untukmu ibu, karena kau adalah jantung hidupku.

Bisikan ini masih terbayang dengan kejadian tiga tahun silam. Aku pun masih teringat jelas suara ibu. Suara yang tak pernah bosan. Suara terindah yang bisa melelapkan tidurku disetiap malam.

“Bu, jangan pulang terlalu malam,”ujarku sambil mengangkat sekantong bekal milik ibu.

“Ibuku diam tak berkata apa pun, mungkin sedang kecapaian,” gumamku.

“Kalau enggak pulang sampai magrib, ya ibumu ini tidak dapat memberimu makan untuk esok hari,” sahut ibu sembari melepaskan tudung yang ada dikepalanya.

Aku pun kaget dengan kata-kata ibu barusan, Ya robbi mudahkanlah jalan rizki ibuku. Air mata ini mengalir dan tak dapat dibendung lagi. Tumpah membanjiri kulit yang lembut. Ya Tuhan, ingatkanlah aku akan kasih sayangnya. Ibu, batinku sakit melihatmu. Kau sudah terlalu tua untuk bekerja disawah orang. Kulitmu pun sudah keriput, tapi jiwamu masih segar.
Ibuku tak pernah menyerah sampai sekarang ini. Dia masih saja bekerja, memang kondisi ekonomi yang menbuatnya seperti ini. Wajah yang oval dan badan yag kurus tak pernah kau hiraukan. Angin malam yang sunyi. Hampar terkapar diatas pasir hitam diseberang pantai. Ibuku bukanlah wanita yang hanya duduk diam dirumah.

Sepucuk surat cinta yang bertuliskan lukisan sang ibu. Lukisan yang menggambarkan kepribadian seorang ibu demi sesuap nasi. Sang ibu yang selalu menjaga diri kita sampai menjadi wanita yang sukses. Tak ada penyesalan dalam dirinya untuk melakukan itu semua. Cintalah yang membawanya menjadi wanita seribu kasih sayang. Kasih yang tak terbayar oleh rautsan uang yang kau berikan. Kasih ibu sepanjang jalan. Tak ada yang dapat tergantikan oleh perjuangannya.

Penggorbanan yang kita lakukan barulah sebiji jagung yang tertanam dalam kebun, bukan padi yang berisi beras dipetakan sawah milik petani. Ibuku bernama Tarsini. Anak pertama dari almahrum ibu Saidah dan almahrum bapak Kasroni. Dulu ketika kecil ibuku selalu hidup menderita. Derita tak mengenal ilmu dan derita tak mengenal kasih dan sayang. Cintanya, bukanlah cinta seperti sekarang. Kasihnya berbeda dengan kasih yang ibu berikan sekarang. Dan pengalamannya yang terdahulu menjadi sebuah mimpi tak terlupakan. Kini, aku merasakan kasih ibu yang tulus dari hatinya. Hati yang aku jaga sampai akhir hayat.

Hujan yang melintas. Angin yang diam tak bersuara. Lamunan ini berhenti, ketika majikanku memanggil namaku.

“Nur…Nur…Nur,” terikan yang jelas dan keras.

“Ya,” sahutku sembari berjalan diatas lantai putih dan mengusap air mata yang mengalir.

“Aku hidup diperantauan seorang diri, tanpa ibu yang menemani. Langkah kaki ini terus berjalan menelusuri jejak suara yang terdengar keras diatas kamar.”

Lima bulan lamanya, aku tak bertemu ibu. Dan pada hari ibu ini, aku pun tak dapat pulang kekampung halaman. Hanya lukisan sang ibu yang selalu terpampang jelas didinding kamar itu. Hari ibu tak harus dirayakan pada tanggal ini, setidaknya setiap hari aku selalu meneleponnya. Walau hanya sebuah suara yang aku dengar, setidaknya mampu mengobati rinduku padanya. Sepucuk surat cinta untuk ibu. Seuntai tulisan indah yang tertulis jelas didalam hatiku. Semu tapi nyata.

Bisikan-bisikan itu hilang seketika, nyaris tak terdengar ditelinga. Gemuruh suara ombak dipantai semakin tinggi dan kencang, tapi tak sekencang emosiku saat ini. Ikhlas dan tulus. Dalam sebuah do’a dan sebait puisi untuknya. Semoga ibu dalam keadaan sehat dikampung.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun