Tapi, sesungguhnya bukan itu pangkal kenapa mata saya berkaca-kaca, saat menulis cerita ini. selain saya ingat sosok Eji yang heroik itu, saya ingat betul dalam sebuah tayangan berita saat Eji digiring polisi ke luar lapangan ia masih sempat bicara, " Saya tidak tahu apa yang salah dengan negeri ini," dan akhirnya air mata saya tumpah juga. Tidak lagi sekedar berkaca-kaca tapi telah tumpah menjadi banjir, menjadi lautan kekecewaan yang begitu mendalam, sebagaimana betapa kecewanya Eji terhadap prestasi Timnas kita.
Sekarang, Eji sudah dilupakan oleh banyak orang termasuk saya mungkin. Tapi kisah tersebut membuat saya sadar bahwa bangsa sebesar ini, negeri yang kaya raya ini hampir saja tenggelam. Dan seorang Eji mengingatkan kita bahwa, sesungguhnya kita bisa melakukan apa saja untuk "membangkit batang terendam" sesulit apapun itu, kita pasti bisa.
Namun, siapa peduli banjir sesungguhnya telah melanda ibukota dan daerah lainnya sejak berpuluh tahun lamanya. Payahnya, seolah orang-orang hebat di negeri ini tidak kuasa menanggulanginya, sehingga berbagai bencana dan banjir-banjir tersebut selalu terjadi dan bahkan terus terulang.
Benar juga kata Ebiet, mungkin alam sudah mulai bosan dengan ulah kita, dengan kelakuan manusia. Lihat saja, saat ini moralitas kita makin jauh terpuruk karena nyaris tak ada tauladan kepemimpinan yang bisa di teladani. Yang ada malah mengatas namakan pergerakan, perjuangan, moralitas mereka saling dukung-mendukung terhadap perilaku koruptif. Kejujuran tidak lagi menjadi bahagian istimewa bangsa yang pernah berjaya beberapa masa lamanya. Mungkin itu pula yang menyebabkan terpuruknya bangsa ini, sebagaimana Ronggo Warsito, menceritakan zaman edhan, zamannya orang-orang edhan. Ntahlah.