Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Gitar... Dimanakah Sengatmu???

22 Februari 2011   19:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:22 338 2

“Hei! udah sore nih…jangangitaran aja dong!!”.

Di bagian lain,seorang ketua RT berkeluh kesah :

“Wah,banyak pemuda di kampung kita yang kerjanya Cuma gitaran melulu..”

.Juga seorang ibu dari seorang anak SMP yang dengan kesalnya setengah berteriak…

”STOP!!udah sih!! Berhenti!! Hentikan tuh gitaran mu!!! Jrang jreng jrang jreng tak karuan..”

Ilustrasi tersebut setidaknya menyiratkan pada kita bahwa sampai detik ini,bermain gitar masih diidentikkan dengan kegiatan yang kurang bermakna.Kegiatan pengisi waktu yang malah membuang waktu.Juga sebuah aktifitas yang “mengganggu” sampai batas tertentu.

Yang menarik adalah,jika kita cermati,hampir tidak ada,dan mungkin malah tidak akan pernah ada, orang, atau orang tua yang berteriak “SUDAH JANGAN BERPIANO TERUS’. Kenapa fenomena ini terjadi?,Faktual yang paling mudah ditengarai adalah karena alat musik piano berharga mahal bahkan sangat mahal. Jadi logikanya,karena piano sudah dibeli dengan sangat mahal,orang tua malah akan sangat gembira jika sang anak terus menerus keasyikan bermain piano. Berbeda dengan gitar yang dengan lima ratus ribu rupiah saja sudah bisa mendapat gitar kualitas bagus. Untuk piano….hehehehe…dua puluh juta pun hanya mendapat piano bekas yang disana sini mulai dihinggapi rayap.

Dan that’s guitar. Itulah gitar. Senantiasa dipandang sebelah mata.,dinilai rendah dan dimiskinkan.Kadang hanya karena persepsi yang dibangun oleh sebuah identitas dan keidentikan yang semu semata. Sejak awal perkembangannya gitar memang sarat dengan penilaian under estimate. Ada serangkaian kisah menarik tentang gitar. Barangkali saja kisah tersebut sempat menyapa otak dan menebarkan aroma di sanubari kita semua bahwa tidak selamanya yang murah dan merakyat itu tidak punya kelas.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun