(Sebuah Catatan Ringan Jelang Pemilu)
HAJATAN politik lima tahunan, yakni pemilu legislatif sudah di depan mata. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan dan mengagendakan hari H pelaksanaan pemilu pada hari Rabu, 9 April 2014. Tidak hanya para calon legislator (caleg) yang sibuk dan gerilya mencari simpati dan dukungan dari pemegang suara yang masuk daftar pemilih tetap, sebaliknya masyarakat pemilik suara pun pasang kuda-kuda menghadapi “serbuan” para caleg.
Berbagai cara dilakukan caleg untuk “melumpuhkan” pertahanan calon konstituen. Konsekuensinya, mereka harus menyiapkan biaya politik cukup banyak, paling tidak untuk kepentingan sosialisasi kepada calon pemilih. Sasarannya bisa perorangan atau keluarga, bisa juga kelompok masyarakat. Begitu juga masyarakat calon pemilih. Aneka cara juga dilakukan untuk "menjerat" caleg. Ini dilakukan karena berdasar pengalaman pemilu sebelumnya, masyarakat pemilih cenderung diposisikan sebagai objek yang mengatasnamakan demokrasi oleh para caleg.
Tak bisa dimungkiri, makin pintar dan cerdasnya masyarakat calon pemilih memicu persaingan sangat sengit, baik antara caleg antarpartai maupun caleg separtai. Tak heran jika caleg dan tim suksesnya harus memeras otak untuk bisa mengambil simpati calon pemilih.
Strategi mendekati konstituen dan pemenangan pemilu pun dirancang secara matang agar target perolehan suara tidak meleset.
Politik Etalase
Ada fenomena menarik yang berkembang belakangan ini terkait makin dekatnya hari H pemilu. Fenomena ini berupa merebaknya sikap dan praktik politik etalase yang dilakukan oleh masyarakat pemegang suara. Ya, seperti etalase, model ini siap menjadi ajang pajangan dan promosi, tidak saja untuk seorang caleg tertentu, tetapi terbuka bagi siapa pun yang ingin menarik simpati dan mengais suara.
Umumnya model ini dilakukan oleh perorangan atau kelompok masyarakat yang memiliki kesadaran untuk memilih caleg secara objektif dan berkualitas. Pelaku politik etalase juga tidak pernah menyandra aspirasi politiknya dengan membabi buta memberikan dukungan kepada caleg atau partai tertentu. Karena itu, praktik politik etalase lebih bersifat terbuka dan tidak partisan. Konsekuensinya, dalam politik etalase peluang bagi para calon legislator yang ingin "menjual diri" selalu terbuka.
Satu hal lagi, dalam model ini tidak akan terjadi kontrak politik apa pun dengan caleg. Kalaupun ada caleg yang memberikan kontribusi atau sumbangan untuk mendukung program pembangunan masyarakat, hal itu bukan menjadi bagian dari praktik money politics, karena sumbangan itu tidak otomatis harus dikompensasi dengan dukungan suara. Warga juga bebas memberikan dukungan suara mereka sesuai dengan hati nurani tanpa harus terbebani oleh sesuatu yang telah diberikan caleg.
Meskipun tidak ada jaminan memberikan dukungan suara, secara etik, naluri politik seorang politisi atau caleg tentu bisa menangkap peluang positif ketika dirinya telah memberikan sesuatu kepada calon pemilih. Secara konsep, ini berbeda dengan politik warung kopi alias politik transaksional, yang sejak awal memang beraroma transaksi dan ada ikatan atau kontrak politik.
Politik etalase juga lazim diterapkan di lembaga-lembaga atau organisasi kemasyarakatan (ormas), yayasan, juga pondok pesantren yang netral dan tidak berafiliasi dengan partai politik tertentu. Karena itu tak heran, banyak politisi, baik pengurus partai maupun caleg-nya berdatangan minta doa restu dan dukungan ke pimpinan ormas.
Hal serupa juga diterapkan oleh pengelola media massa yang memberikan ruang bagi caleg-caleg dari partai mana pun untuk menyosialisasikan program atau aktivitas politik mereka menjelang pemilu. Tentu saja ruang media, baik cetak, elektronik, maupun on line, yang disiapkan untuk mengakomodasi kepentingan caleg, tidaklah gratis. Sebab, "layanan" itu masuk dalam produk iklan, baik pariwara, display, atau berita terselubung yang berbayar. Kelonggaran yang diberikan pengelola media massa kepada para caleg itu adalah varian dari praktik politik etalase yang saling menguntungkan.
Dalam konteks memberikan kesempatan kepada caleg untuk menyosialisasikan diri dan agenda politik mereka, politik etalase cukup ideal untuk diterapkan sekaligus sebagai pembelajaran dan pencerahan politik kepada masyarakat. Model ini terasa lebih elegan dan cerdik, serta terhindar dari kesan transaksional yang bisa menjebak dan menjerat pelakunya pada praktik money politics yang masuk ke ranah pelanggaran beraroma tindak pidana. Pada gilirannya, dalam politik etalase ini, adu cerdik antara caleg dan calon pemilih akan mewarnai hari-hari akhir menjelang pelaksanaan pemilu.
*) Penulis adalah Pemerhati Kebijakan Publik, Pegiat di Jaringan Literasi Indonesia, Tinggal di Gresik.
E-mail: mashartoko77@yahoo.com