Tidak seperti anak-anak yang lahir di era 90-an, saya lahir di era 70-an, dimana teknologi belum semaju sekarang ini. Media elektronik hanya ada TVRI selain radio dengan frekwensi AM yang isi beritanya tidak jauh beda dengan TVRI di kala itu.
Mengenang masa-masa saya sekolah dari mulai TK, SD hingga ke Perguruan Tinggi, saya merasa didik (bukan sekedar diajar) oleh guru sebagai pengajar serta orang tua sebagai wali. Pada masa itu saya merasa orang tua saya benar-benar memasrahkan saya kepada guru saya, jadi apapun yang dilakukan guru kepada saya dan teman yang lain itu orang tua tidak akan protes apalagi sampai melawan guru. Saya pun merasa guru benar-benar dekat dengan muridnya, mengenal satu persatu muridnya, beberapa malah mengenal muridnya secara pribadi. Hal seperti ini seperinya tidak saya dihat pada mereka para pendidik. Pendidik/pengajar, dalam hal ini guru, seperti hanya menggugur kan kewajiban ketika jam sekolah saja. Mereka datang ke sekolah, mengajar bahan ajar dan selesai ketika jam pulang sekolah tiba. Entah apa ada hubungannya dengan kurikulum yang selalu berganti tiap ganti menteri atau memang jamannya yang sudah beda jauh.
Kembali lagi ke perbandingan anak-anak era 70-an dengan era 90-an. Mengenai tata krama, saya merasa anak-anak sekarang (kebanyakan lahir setelah tahun 1990) sangat kurang. Apa ada hubungannya dengan pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang sejak kurikulum 94 mulai dihilangkan dan diganti dengan PpKN dan sekarang PKN!?? Bisa jadi iya, karena sekolah tidak lagi diwajibkan untuk mendidik muridnya soal moral. Masalah moral dikembalikan lagi ke keluarga. Padahal di jaman sekarang keluarga jauh untuk bisa diharapkan mendidik secara moral terutama di kota-kota besar. Kebanyakan orang tua hanya memenuhi kebutuhan secara materi, tanpa memperhatikan kebutuhan rohani. Pendidikan anak diserahkan pada nenek yang sudah mulai lelah secara fisik atau lebih parah lagi kepada baby sitter/pembantu. Dengan asuhan seperti ini, apa mungkin pendidikan moral akan terserap ke otak anak terlebih hingga anak mempraktekan. Di jaman sekarang, anak-anak marah hingga membentak orang tua di depan umum terlihat biasa. Mereka (anak-anak itu) membentak orang tuanya tak ubahnya seperti membentak ataupun memerintah pada pembantunya. Sungguh miris ketiga saya melihat hal seperti ini terjadi di depan mata saya tanpa saya bisa berbuat sesuatu.
Sedikit cerita pengalaman saya beberapa hari lalu ketika saya datang ke GrapaRi Telkomsel. Saya dilayani oleh customer sevice perempuan yang usianya menurut tebakan saya sekitar 21-22 tahun. Dari awal CS ini agak sedikit tidak ramah untuk ukuran karyawan front office, jauh dibawah standar layanan Grapari cabang lain yang sering kali saya kunjungi. Si mbak ini tiap kali saya tanya tentang produk telkomsel, jawabnya sambil melihat ke komputer, berpaling sebentar ke saya dan kemudian pindah lagi ke komputer. Beberapa kali saya perhatikan seperti itu. Saya pikir, mungkin memang sedang sibuk jadi customer agak di nomor duakan. Kejengkelan saya memuncak ketika ditengah saya ngomong dengan dia, dengan seenaknya dia memotong pembicaraan (tanpa kata maaf) dan bicara dengan rekan kerjanya, seperti memberi perintah. Di situ saya mulai naik darah. Sebagai pelanggan saya merasa tidak dihargai. Andaipun pada saat training sebagai CS baru dia tidak diajarkan soal memotong pembicaraan itu tidak boleh, mestinya dia diajarkan (entah oleh guru atau pun orang tuanya) untuk menghargai orang lain terlebih lagi yang lebih tua untuk tidak seenak udelnya memotong pembicaraan. Menurut ukuran saya itu sangat tidak sopan.
Itulah gambaran saya pada anak-anak muda jaman sekarang. Sopan-santun terasa sekali kurang. Barangkali pendidikan moral disekolah harus dimunculkan ulang, agar anak-anak mengenal sopan santun sejak kecil dirumah maupun disekolah. Di jaman sekarang ini rasanya perlu pengamalan butir-butir P4 di galakkan lagi. Janganlah menganggap butir-butir P4 karna produk orde baru langsung dinilai jelek.
Bogor, 2/5/2014