[caption id="attachment_134726" align="alignleft" width="158" caption="Drs. Laurens Bahang Dama"] [/caption]
Oleh : Drs Laurens Bahang Dama Anjloknya perekonomian Eropa, secara tidak langsung menghambat tatanan ekonomi dunia. Kondisi ini juga dikhawatirkan oleh kalangan pengamat beberapa hari terakhir (Sept 2011) akan berpengaruh ke Indonesia tahun depan (2012). Di tengah keluh-kesahnya pengamat dan pelaku pasar itu, pemerintah masih optimis, bahwa stabilitas ekonomi terutama di sektor pasar uang masih terjaga.
Namun disaat yang sama, aliran modal asing atau capital inflow yang selama ini menjadi topeng optoptimisme pemerintah itu, perlahan-lahan mulai menyusut keluar. Rupiah pun beberapa hari terakhir mulai anjlok hingga nyaris mendekati di atas Rp. 9000. Jika kondisi ini terjadi secara kontinyu, maka pemerintah bisa ketar-ketir bila sewaktu-waktu gonjangan pasar uang itu terjadi secara masif di segala lini industri pasar uang. Memang, selama ini, pemerintah berdalih, bahwa ketersediaan dana Sisa Anggaral Lebih (SAL) akan dijadikan sebagai sumber pembiayaan apabila terjadi kekisruhan di ranah pasar uang yang berkemungkinan menyumbat laju pertumbuhan ekonomi. Demikian pun BI yang saat ini mengambil langkah untuk membeli kembali Surat Utang Negara (SUN) untuk menjaga stabilitas pasar valas dan SUN. Akan tetapi sampai berapa lama hal tersebut bisa dilakukan BI dan pemerintah, bila krisis ekonomi Eropa itu berlangsung dalam waktu lama dan menggeliat serta berpengaruh pada sektor-sektor non moneter? Selama ini, derasnya arus modal asing, belum benar-benar dimanfaatkan untuk investasi langsung yang bersinggungan dengan sektor riil. Akibatnya, dengan menggunungnya aliran modal asing itu, tak mampu menambah penguatan ekonomi nasional. Malah sebaliknya, pemerintah dan Bank Sentral dibuat was-was terkait kemungkinan sudden reversal atau terjadi arus balik modal asing secara tiba-tiba dan serentak. Lalau apa manfaat menggunungnya modal asing itu selama ini? Artinya, kita hanya menimbun arus modal asing itu tanpa memanfaatkannya. Pasalnya, selama ini pemerintah belum bisa membuktikan hasil konkret aliran modal asing ke Indonesia itu kepada publik. Terutama dalam sektor riil ekonomi. Demikian pun, selama ini kita hanya mendengar dan membaca di media, bahwa cadangan devisa membaik dan inflasi tetap terjaga dengan derasnya capital inflow, tapi suatu pembuktian empirik terkait efek positif capital inflow terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi riil belum terlihat nyata. Belajar dari Krisis 2008 Yang saya khawatirkan adalah, dengan berpaku pada ketahanan modal asing dan gonncangan pasar global, malah menggerus konsentrasi pemerintah. Pasalnya, terkait kondisi ekonomi nasional secara faktual, menarik perhatian pemerintah untuk rame-rame berbicara tentang keamanan pasar uang.
Lagi-lagi kekhawatiran kita adalah, bila seluruh sumber daya ekonomi di Indonesia, dipaksakan pemerintah untuk mengamankan sektor pasar uang yang pada akhirnya menimbulkan kebocoran ekonomi dimana-mana. Kita mestinya belajar dari krisis pada tahun 2008. Kebijakan pemerintah terkait Bank Century yang menggemparkan itu, adalah sebahagian dari ikhtihar ekonomi pemerintah dalam wujud haram bail out untuk mengamankan stabilitas pasar uang waktu itu, yang dikhawatirkan berdampak sistemik terhadap pertahanan ekonomi nasional. Namun apa hasilnya? Sikap bunuh diri pemerintah untuk mengamankan stabilitas pasar uang itu, malah berbuah pahit dan menyayat hati seantero rakyat Indonesia, dengan menggasak uang rakyat sebesar 6,7 triliun. Saya membayangkan seberapa banayak rakyat kecil yang terpengaruh oleh dampak sistemik bank Century? Malah sebaliknya, dana sebesar 6,7 triliun itu, bila digunakan untuk stimulus UMKM, tentu dampaknya dasyhat terhadap penguatan ekonomi domestik. Menguatnya ekonomi domestik akan menjadi perisai atau benteng raksasa untuk menghadapi krisis keuangan global pada pada saat itu. Hal ini yang tidak disadari pemerintah. Belajar dari krisis tahun 2008, maka untuk menghadapi kondisi krisis saat ini yang dipicu oleh jungkir-baliknya ketahanan ekonomi Eropa, maka pemerintah sebaiknya tidak melulu memprioritaskan stabilitas pasar uang, tapi juga menjangkarkan perhatian pada penguatan ekonomi domestik. Dengan ekonomi nasional yang kuat, saya yakin kita tidak akan mudah getas oleh getaran-getaran krisis Eropa itu. Saya percaya, dengan menguatnya ekonomi domestik, pertumbuhan ekonomi akan stabilized, bahkan bisa progress. Kalau pertumbuhan ekonomi membaik yang ditandai dengan terus bergeraknya sektor riil, maka akan menimbulkan iklim pasar yang baik pula. Hal ini tentu akan menarik investor, seiring terbentuknmya sentimen positif para pelaku pasar seiring menguatnya ekonomi domestik. Terkait dengan krisis Eropa yang tentu akan berimplikasi ke Indonesia, sejatinya tidak dilihat secara parsial atau separuh-separuh. Akan tetapi harus dilihat secara komprehensif dari segala dimensi ekonomi. Olehnya itu, penanganan dari sisi pasar uang semata di satu sisi dan menafikan penguatan sektor riil domestik di sisi yang lain, akan membuat pemerintah bakal kelabakan, bila sewaktu, krisis Eropa itu merambah ke sektor-sektor yang tak pernah diduga sebelumnya yang bersifat non moneter. Sikap Bank Indonesia (BI) untuk mengikat capital inflow ke instrument sertifikat Bank Indonesia (SBI) dalam waktu panjang memang langkah yang baik. Sebagaimana dilansir The Institute of International Finance, aliran dana ke emerging market tahun 2011 akan mencapai 960 miliar dollar AS. Bahkan, pada 2012 akan menjadi 1.009 miliar dollar AS (sumber : http://rimanews.com). Akan tetapi, apalah artinya dana sebesar itu, jika tidak dikelola dengan baik, atau tidak diinvestasikan secara langsung dan bersinggungan dengan sector riil. Saya sependapat dengan pengamat ekonomi Aviliani bahwa capital inflow yang masuk ke perbankan dan Bank Indonesia (BI) sudah melewati batasan yang cukup alias over karena tidak ada yang menyerap. Tentu berbeda dengan China yang berani mengenakan pajak. Sementata Indonesia justru tak mau melakukan. Kalau di China mengenakan pajak di pasar modal supaya aliran masuknya tidak cepat keluar. Jika pemerintah mengambil seperti Cina, tentu capital inflow akan berkontribusi terhadap penerimaan negara. Stabilitas politik Untuk menciptakan stabilitas pasar, maka stabilitas politik pun harus membaik. Di tengah goncangan itu, tentu investor asing sangat sensitif dengan multi dimensional kondisi di Indonesia. Terutama kondisi politik akhir-akhir ini. Proses pemboikotan pembahasan RAPBN 2012, tentu bisa menciptakan sentimen negatif para pelaku pasar. kondisi pasar yang baik. Pastinya dibingkai dengan stabilitas politik dan l
aw enforcement. Saya memperkirakan, dengan peruntukkan
capital inflow yang tepat sasaran dan tepat kebutuhan serta stabilitas politik yang ikut melicinkan dinamisasi iklim pasar, maka kita bisa menembus ancaman badai krisis Eropa tanpa suatu hambatan berarti. Itu pun kalau pemerintah sungguh-sungguh.
Semoga
KEMBALI KE ARTIKEL