Dalam UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) secara tegas mengamanatkan untuk memberikan perlindungan kepada fakir miskin, anak dan orang terlantar serta orang tidak mampu yang pembiayaan kesehatannya dijamin oleh pemerintah. Sejak tahun 2008 pemerintah menguatkan penjaminan kesehatan melalui Jaminan Kesehatan Masyarakat bagi warga miskin.
Beda di Lapangan
Tetapi apakah dalam prakteknya UU di atas seindah bunyinya? ternyata di lapangan masih banyak yang perlu di benahi, terutama menyangkut kepesertaan jamkesmas. Data peserta jamkesmas di lapangan boleh dibilang ambradul. Duh…susahnya jadi orang miskin.
Hari Rabu (29/5) saya diundang menjadi moderator dalam acara “Public Hearing Hasil Audit Kepesertaan Jamkesmas” di Kabupaten Sumenep yang diadakan secara “kroyokan” oleh 5 NGO Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Acara ini dihadiri oleh sekitar 400 orang yang terdiri dari perwakilan ormas, pemerintah daerah, birokrasi kesehatan, rumah sakit, Komisi Pelayanan Publik Jawa Timur, Camat, Kepala Desa dan masyarakat. Sayang perwakilan dari DPRD Sumenep tidak datang. Bupati juga hanya mewakilkan pada Asisten II, yang membidangi kesehatan dan ekonomi.
Dalam acara –yang diselenggarakan di pendopo kecamatan Dungkek—ini, dipaparkan hasil audit (semacam survey) yang dilakukan oleh 71 auditor selama satu minggu. Ada 1.233 responden yang diwawancarai door to door selama kurang lebih satu minggu. Audit dilakukan di dua desa dari dua kecamatan yaitu, desa Geddungan kecamatan Batuan, dan desa Jadung kecamatan Dungkek. Respondennya terdiri dari peserta jamkesmas sebanyak 577 responden dan Rumah Tangga Miskin (RTM) sebanyak 656. Dari jenis kelamin, responden laki-laki berjumlah 525 orang dan perempuan 708 orang.
Ada banyak temuan di lapangan yang sungguh mengagetkan. Misalnya, 55% dari total1.233 responden tidak mempunyai Kartu Keluarga (KK). dan 64% dari total responden juga tidak memiliki KTP. Ini benar-benar aneh, pada hal KK dan KTP menjadi prasyarat menjadi peserta Jamkesmas.
Temuan lain menyangkut pengetahuan responden tentang jamkesmas. Dari total 1233 responden terdapat 53% persen yang tidak mengetahui tentang jamkesmas. ini menunjukkan bahwa informasi tentang Jamkesmas tidak sepenuhnya sampai kepada masyarakat, bahkan kepada pengguna jamkesmas itu sendiri.
Belum lagi informasi tentang jamkesda, jumlah responden yang tidak tahu hampir semua yaitu 95% dari total 1233 responden. Jamkesda sendiri adalah jaminan kesehatan bagi warga miskin yang tidak tercover dalam kouta jamkesmas. Beaya jamkesda dibebankan kepada APBD.
Temuan lain misalnya ada 131 orang yang sudah meninggal tetapi masih terdata sebagai peserta jamkesmas. 66 orang terdaftar sebagai peserta tetapi tidak memegang kartunya. Bahkan ada 334 orang yang terdaftar sebagai peserta jamkesmas tapi mereka sendiri justru tidak tahu.
Temuan lain yang mengagetkan ada polisi dan 2 orang anggota keluarganya dimasukkan dalam peserta jamkesmas. Menurut Auditor yang mempresentasikan hasil auditnya, polisi ini tersinggung karena namanya dicatut dan dimasukkan sebagai peserta jamkesmas.
Setelah presentasi selesai, saya mempersilahkan wakil dari pemerintah untuk menanggapi. Sayang, wakil dari pemerintah terkesan membela diri, malah ada kecenderungan menyalahkan peserta jamkesmas.
Prihatin
Amburadulnya kepesertaan Jamkesmas di dua desa tadi saya pikir merupakan gambaran dari kepesertaan Jamkesmas secara umum. Apalagi secara nasional jumlah warga miskin berdasar data BPS 2010 sekitar 60,5 juta.
Jumlah warga miskin yang demikian besar dan rentan untuk hidup sehat seharusnya dipastikan kepesertaannya. Tidak cuma dalam data, tetapi benar-benar memegang kartunya. Selama ini, banyaknya warga miskin yang belum tercover dan kepesertaan jamkesmas yang salah sasaran merupakan tanggung jawab pemerintah yang tidak boleh dianggap selesai di meja. Jika kondisinya seperti di dua desa di atas sungguh memperihatinkan. Sentilan bahwa “orang miskin dilarang sakit” mungkin benar adanya.
Matorsakalangkong
Sumenep, 29 mei 2012
Kegiatan ini kerjasama PP Lakpesdam NU, Pattiro, Inisiatif, Seknas Fitra, dan IDEA dan Lakpesdam NU Sumenep sebagai mitra kerja lokal