Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

45 Tahun Mendidik: Ladang Amal Seorang Guru Sejati

8 Mei 2012   15:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:32 402 1

Hari itu, 7 mei, jam 13.00 WIB rumah seorang guru sederhana, ikhlas, dan dicintai murid dan mayarakatnya didatangi ribuan pelayat yang mau menyalatkannya. Beliau wafat dalam usia 73 tahun setelah hampir setengah abad ( lebih 45 tahun) mengabdi di dunia pendidikan.

Usai shalat, gema syahadat membuat bathin bergetar. Keranda yang baru saja keluar dari pintu mushalla, tempat jenazah di shalatkan, seperti berjalan sendiri di atas kepala pelayat. Tangan-tangan secara berantai begitu sigap melewatkan keranda di atas kepala di antara penuh sesak ribuan pelayat, untuk kemudian dibawa ke rumah pemakaman.

Tiba di pemakaman, hujan gerimis mulai turun. Makin lama makin deras. Tetapi pelayat yang mengantarnya ke pemakaman tak beranjak. Tak ada seorang pun yang pulang hingga prosesi pemakaman selesai. Meski tubuh para pelayat sudah basah kuyub.

Itulah cara murid dan mayarakat menghormati guru yang sudah wafat dan tokoh yang dikenal luas pergaulannya. Semua berkabung dan kehilangan terhadap sosok guru dan panutan masyarakat. KH Afif Ma’ruf, namanya. Seorang guru dan tokoh local dengan totalitas peran yang besar.

Kabar Duka Itu…

Hari minggu, 6 mei, jam 21.15 WIB ketika saya baru saja mempublish tulisan di Kompasiana, seorang murid saya dengan wajah lesu datang ke rumah. Ia mengabarkan berita duka wafatnya guru paling senior di madrasah kami. Dalam usia 73 tahun, KH Afif Ma’ruf yang sudah mengabdikan diri selama 45 tahun tutup usia.

Saya langsung off, setelah saya sempat membalas 3 komentar di tulisan saya. Malam itu juga saya langsung meluncur ke rumah duka, yang jaraknya sekitar 1 km dari rumah saya. para keluarga, tetangga, murid-muridnya sudah banyak di rumah duka. Di tempat tidurnya yang sangat sederhana, jenazah sudah ditutup dengan kain.

Keluarganya masih larut dalam duka. Suara tangis tak bisa ditahan. Para muridnya membacakan surah yasin sambil tak kuasa dalam isakan tangis juga. hingga jam, 23.30 rumah duka makin dipenuhi banyak orang. Semua larut dalam duka. Dan duka itu mengalir dalam deringan telpon dan sms yang bertaburan secara berantai.

Amanah dan Sederhana

KH Ma’ruf adalah sosok guru yang total mengabdi di madrasah kami. Lebih dari 45 tahun beliau tetap mendidik murid-muridnya. Spesialisasinya di bidang Alqur’an dan Hadits.

Kurang lebih, sejak 3 bulan beliau sudah tidak bisa mengajar di madrasah. Penyakit kanker tulang yang dideritanya membuat beliau tidak bisa berjalan. Beliau lumpuh. Selama 3 bulan hingga wafatnya, ia hanya berbaring di tempat tidur yang sangat-sangat sederhana. Sebuah dipan berukuran 1,5 x 2,5 meter di dalam rumah yang juga sangat sederhana. Jika keluar rumah, cuma ketika mau berobat ke dokter atau ke pengobatan alternative.

Soal rasa sakit pada tulang betisnya sudah beliau rasakan sekitar 1-2 tahun kemarin. Ketika berbincang di kantor ia berpikir penyakitnya hanya asam urat atau rheumatic. Meski sakit ngilu, ia pantang bolos. Ia tetap mengajar. Kecuali kalau sudah tidak kuat jalan, baru beliau ijin. Maklum, beliau meski di atas 70-an memilih jalan kaki dari rumahnya yang jaraknya 1 km, ketika mengajar. Beliau menolak tawaran madrasah yang siap mengantar dan menjemputnya.

Di samping mengajar beliau melayani masyarakatnya. Di rumahnya juga mengajari anak-anak kecil mengaji Alqur’an. Pernah suatu waktu, beliau tetap datang ke undangan pernikahan muridnya, pada hal paginya ia sudah tidak bisa jalan. bahkan duduk pun susah. Tapi malamnya, selesai meminum obat pemberian dokter ia enakan. Baru saja enak, ia sudah menghadiri undangan pernikahan bersama saya.

Ladang Amalmu sudah Engkau Panen

Tanggal 22 maret lalu, ketika beliau masih bisa bica bicara, tetapi sudah lumpuh sambil menahan nyeri tak tertahan, saya sempat membezuknya. Ketika saya ijin pulang, beliau sempat berbisik dengan lirih kepada saya, nak…semoga amal saya selama mengajar di madrasah ada sisanya buat saya (diterima sebagai amal oleh Allah, dari saya)…” Baru selesai mengatakan seperti itu, tangis beliau pecah. Saya berusaha untuk menafsirkan bahwa ucapan beliau bukan merupakan salam perpisahan.

Beberapa hari sebelum meninggal kondisi beliau makin kritis. 3 kali saya membezuknya sebelum meninggal, beliau sudah tidak mampu bicara. Suaranya juga sudah habis. Cuma tangannya yang bergeser naik-turun untuk menyalami orang-orang yang membezuknya.

Melihat ribuan orang yang menyalatkan jenazahnya dan mengantar kepulangannya, ladang amal yang beliah harapkan Insyaallah sudah beliau panen. Saya menyaksikan diantara ribuan pelayat, sangat banyak murid-muridnya sejak yang tua hingga yang masih sekolah sekarang banyak yang hadir. Mereka semua hadir sebagai bentuk pemulyaan terhadap guru dan tokoh masyarakat yang telah menjadi pintu ilmu. Yang sudah mengabdikan diri di dunia pendidikan selama lebih 45 tahun, dan melayani masyarakatnya di luar sekolah dengan ikhlas. Ia sosok guru di sekolah sekaligus masyarakat.

Sebagai seorang murid yang pernah dididik beliau sejak kelas 4 Madrasah Ibtidaiyah hingga Madrasah Aliyah, saya sungguh kehilangan. Sepeninggal ayah saya, beliau bukan cuma guru atau sesama pengajar di madrasah, tetapi juga seorang ayah yang menjadi tempat curhat saya. Selamat jalan guruku, ayahku. Semoga Allah menempatkanmu di tempat orang-orang dikasihi-Nya.

Dan… semoga kami bisa meneladani amanah, keikhlasan, dan kesederhaanmu. Menjadi guru sejati tidak cuma di ruang kelas, tetapi juga di masyarakat. Amalmu Insyaallah sudah engkau panen, guruku.

Matorsakalangkong

Sumenep, 8 mei 2012

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun