Rukun Tetangga, biasa disebut RT, satu kelembagaan yang mungkin khas dimiliki bangsa kita. Kelembagaan ini hadir tidak dalam ruang hampa. Ia merupakan symbol dari karakter bangsa kita yang suka gotong-royong dan kekeluargaan. Lihat, namanya saja “rukun tetangga”.
Herannya, dalam praktiknya kelembagaan ini sering dianggap sebelah mata. Meski saya tidak memiliki data, tetapi saya meyakini, jarang RT yang memiliki kegiatan rutin dan berkesimbungan. Kalau pun ada yang sering justru pertemuan yang sangat formal, seperti rapat. Atau ketika saya masih kuliah dulu di Jakarta, paling RT rame ketika menyambut agustusan.
Media pun jarang meliputnya. Maklum RT kalah seksi dengan istana atau senayan. Paling-paling kelembagaan ini muncul di media, kalau ada teroris yang ditangkap atau ada peristiwa besar lainnya. Buru-buru media mewawancarai ketua RT.
Senafas dengan media, para elit –terutama politisi—baru melirik kelembagaan ini ketika menjelang pemilu. Sehabis pemilu, RT kembali sunyi.
15 tahun
Maaf bukan narsis, RT di lingkungan saya memiliki kegiatan rutin mingguan yang sudah berusia hampir 15 tahun. Satu prestasi yang sungguh menjadikan penduduk di RT saya bangga. 15 tahun dengan kegiatan rutin mingguan, bukan sesuatu yang mudah dilakukan. Tetapi jika ada niat tulus merajut ikatan kekeluargaan, semuanya sangat mungkin terjadi.
Saya sendiri baru bergabung sekitar 4 tahunan. 4 tahun bergabung dengan jamaah pertemuan rutin (“kompolan” dalam bahasa Madura) yang sebagian besar anggotanya adalah petani, membuat saya banyak belajar terhadap mereka. Ketangguhannya, kesetiakawanannya, nilai gotong royong, dan kejujurannya telah ikut membentuk pribadi saya. Satu hal yang beda, mereka sangat homuris, terlibat dalam tindakan komunikasi yang tidak kaku dan formal. Semua berlangsung dalam suasana santai dan informal.
Setiap minggu kegiatannya pindah dari rumah-rumah. Diawali dengan kegiatan menabung dan simpan pinjam, kemudian membaca surah alfatihah dan surah-surah pendek, terus dilanjutkan membahas permasalahan lingkungan sekitar. Mulai sejak gotong royong, masalah pertanian, upaya menangkal gerakan keagamaan radikal, hingga persoalan ronda, atau obrolan ringan seputar kondisi politik nasional hingga politik local.
Dari setiap tabungan yang diperoleh setiap minggunya, sebagian disisihkan untuk membantu sesama. Jika ada penduduk di lingkungan RT yang sakit atau meninggal, atau kena musibah lainnya, bantuan kemudian diserahkan. Sedikit memang. Tetapi ikatan kekeluargaan lebih penting dari sekedar nominal uang, bukan?
Apakah kegiatan rutin RT berdampak bagi masyarakatnya? Saya merasakannya, ia. Setidaknya lingkungan kami damai. Tak ada muda yang nongkrong. Sangat jarang perselingkuhan. Dalam tiga tahun terakhir misalnya, tak ada satu kasus pun perselingkuhan. Tak ada penduduk yang terlibat gerakan keagamaan radikal. Tak ada tawuran.
RT, meski tidak sesibuk istana atau senayan, dalam membangun kebersamaan saya rasa tidak kalah. Bahkan mereka bisa terus hidup, meski elit di istana maupun senayan, atau pemerintah di tingkat local kurang peduli sama mereka. Nah, seksi bukan?
Sayangnya, kita –terutama kaum terpelajar—menganggap sebelah mata lembaga “kerdil” ini. Bagaimana RT di lingkungan Anda ?
Matorsakalangkong
Sumenep, 26 januari 2012