Mohon tunggu...
KOMENTAR
Nature

Tindakan Kecil untuk Perubahan Iklim

30 September 2011   03:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:29 295 2
Di Sumenep Madura –dimana saya tinggal— cuaca ekstrem sebagai akibat dari perubahan iklim sebenarnya sudah saya rasakan 5-7 tahun yang lalu. Pada musim kemarau dalam 5-7 terahir ini, sengatan matahari memancarkan panas yang berlebih. Melebihi panas di tahun-tahun sebelumnya. Madura adalah daerah tropis atau beriklim panas. sama dengan daerah lain di Indonesia, madura memiliki dua musim. Sebagai daerah tropis, madura memiliki musim kemarau yang lebih panjang dari musim hujan. Dalam hitungan kalender, musim kemarau di daerah saya biasanya terjadi sejak bulan Maret – Oktober. Sisanya sejak bulan November-Pebruari merupakan musim hujan. Beberapa tahun terahir ini, ketika musim kemarau, berada di dalam rumah pada siang hari merupakan siksaan. Persis seperti berada dalam ruangan kaca tertutup di bawah sorotan lampu dengan watt tinggi. Untuk menyiasati panas, saya di dalam rumah sering berpakaian celana pendek. Tetapi tetap saja saya sulit menahan gempuran panas. [caption id="attachment_134110" align="aligncenter" width="314" caption="tempat santai ketika musim panas (dok pribadi)"][/caption] Tingginya suhu panas ternyata mempengaruhi perilaku keseharian orang-orang Madura. Saya menyaksikan banyak tetangga saya membuat tempat pristirahatan di luar rumah. Biasanya ditaruh pas di bawah pohon. Di situlah banyak orang merebahkan penat di siang hari. Lumayan, di bawah pohon sengatan panas tidak begitu terasa, karena angin masih bersahabat memberi kesegaran. Tidak saja di siang hari. Malam hari pun banyak tetangga saya yang bergerombol sekeluarga tidur di beranda rumah. Karena di malam hari pun, suasana panas terasa sekali di dalam rumah. Terus terang pemandangan seperti ini tidak pernah saya saksikan sebelumnya. Apalagi di dekade 80-an atau 90-an ketika saya masih kanak-kanak. Beberapa tahun terahir ini juga ditandai oleh musim kemarau. Karena bulan-bulan yang seharusnya hujan turun, ternyata tidak terjadi. Akibatnya banyak petani yang mengalamai gagal panen. Terutama di sawah atau tanah tegalan yang sepenuhnya tergantung kepada hujan, biasanya disebut sawah/tegalan tadah hujan. Seorang teman saya yang menanam kacang tanah di tanah tegalan merugi karena musim yang seharusnya hujan tidak terjadi. [caption id="attachment_134111" align="aligncenter" width="314" caption="banjir kecil yang jadi tontonan itu (dok pribadi)"][/caption] Tahun ini, sebaliknya, di daerah saya tak ada musim kemarau. Berarti setahun penuh diguyur hujan. Hampir setiap hari, hujan turun. Siang-malam. Beberapa bulan yang lalu, akibat curah hujan tinggi, ada peristiwa yang jarang terjadi, yaitu surplus air yang total menggenangi semua sawah. Saya menyebutnya sebagai “banjir kecil”, karena air meluber hingga jalan raya. Di jalan raya, banyak kendaraan motor macet. Perisitiwa banjir kecil ini ini sempat menjadi tontonan masyarakat, karena tidak pernah terjadi, seingat saya, selama 3 dekade. Di tahun 2010, di musim yang seharusnya kemarau, banyak petani menanam kacang ijo. Termasuk saya.  Tetapi cuaca ternyata sulit diramal. Hujan setiap hari menyebabkan pohon kacang ijo membusuk dan tidak bisa tumbuh dengan baik. Panen pun gagal. Saya yang seharusnya memperoleh penghasilan Rp. 1,5 juta untuk ukuran 3 petak sawah, dalam musim panen kacang ijo kemarin hanya memperoleh Rp. 50 ribu. Pada bulan ini, musim hujan turun disertai angin topan yang sangat kencang. Terpaan angin kencang ini banyak mengakibatkan kerugian karena banyak rumah roboh. Selama dua hari (11-12 januari), ada sekitar 104 rumah rusak akibat angin kencang di delapan kecamatan di Sumenep (berita di sini). Kecepatan angin normal antara 5-20 km/perjam. Saat ini berkisar 50-60/perjam (baca di sini). Perubahan Iklim; sebuah refleksi Saya percaya, cuaca ekstrim yang terjadi di daerah saya sebagai dampak dari perubahan iklim global. Prosesnya yang pasti sudah lama. Proses industrialisasi yang banyak menggunakan bahan bakar fosil telah melepas CO2 dalam jumlah yang berlebih ke atmosfer. Akibatnya peningkatan suhu bumi tak bisa dielakkan. Belum lagi gaya hidup manusia yang tidak ramah lingkungan ikut menambah panas suhu bumi meningkat. Penggunaan mobil, motor, serta listrik hingga yang paling sering penggunaan plastik terus berlangsung tanpa bisa dihentikan. Manusia seperti terjebak pada kerakusan memenuhi selera dan gaya hidupnya tanpa didasarkan lagi pada prinsip keseimbangan. Memang kampanye penyadaran telah banyak dilakukan oleh berbagai kalangan. Ada yang dilakukan secara top-down, tetapi banyak juga yang dilakukan oleh masyarakat sendiri secara bottom-up. Tetapi garakan ini masih belum menjadi mainstream. Permasalahannya, kampanye penyadaran terutama yang dilakukan secara top-down oleh negara dilakukan setengah hati. Sekedar diarahkan untuk mengedukasi masyarakat, tetapi tidak menyentuh akar. Pada hal masalahnya terkait dengan (terutama) kabijakan ekonomi negara sendiri yang seringkali tidak berbasis lingkungan. Dan juga abainya negara bersikap tegas terhadap korporasi yang melakukan kejahatan lingkungan. Belum lagi isu perubahan iklim menjadi isu yang krusial akibat perbedaan kepentingan antara negara-negara maju dan berkembang. Bagi negara maju, isu perubahan iklim sering didesain untuk menjebak negara berkembang terhadap perangkap hutang (baca di sini) Tapi rumitnya persoalan perubahan iklim tak seharusnya membuat kita terus mengeluh. Harus ada suatu tindakan sekecil apapun untuk turut menyelesaikannya. Saya sebagai seorang guru dan anggota masyarakat di sebuah desa kecil melakukan sesuatu yang sepadan dengan kapasitas saya. Betapapun kecilnya, tetapi saya menikmatinya. Melakukan dengan senang hati, tanpa henti. Tindakan Kecil untuk (mungkin) Perubahan Kecil Beberapa hal yang saya dilakukan baik sebagai guru maupun anggota masyarakat sebagaimana berikut ini:

  1. Di madrasah tempat saya mengajar, saya menginisiasi “sekolah ramah lingkungan”. [caption id="attachment_134112" align="aligncenter" width="320" caption="halaman madrasah (dok pribadi)"][/caption] Yang dilakukan adalah menanam pohon yang menjadikan lingkungan sekolah sejuk dan rindang. Setidaknya ini yang baru dilakukan. Dua hal yang belum dilakukan, membentuk “duta lingkungan” yang mewadahi siswa turut terlibat dalam membangun “sekolah ramah lingkungan”. Satu lagi, kebun tanaman obat keluarga (toga) yang dikelola sendiri oleh siswa
  2. Membentuk Komunitas JP-Stik (Jaringan Pengguna Sampah Plastik). Wadah ini disediakan bagi siswa yang ingin memanfaatkan plastik dan memodifikasinya menjadi tas. Kegiatan ini banyak mengundang minat siswi dan sudah menghasilkan karya tas plastik. Bahkan JP-Stik sudah menerima siswi dari sekolah lain yang meminta komunitas JP-Stik sharing pengalaman tentang pemanfaatan plastik menjadi tas. [caption id="attachment_134114" align="aligncenter" width="320" caption="jp stik"][/caption]
  3. Membangun konsensus bersama kolega –terutama TU sekolah—untuk memanfaatkan kertas secara bijak. Misalnya, kertas yang sudah dipakai, tapi di belakangnya masih bisa digunakan untuk nge-print, ya dipakai lagi.
  4. Sebagai anggota masyarakat saya terlibat dalam kelompok pengajian RT. Saya mengkampanyekan tentang bahaya pupuk kimia dan ajakan untuk beralih ke pupuk organik yang ramah lingkungan. Bahkan saya mengundang teman yang memiliki pengetahuan dan keterampilan membuat pupuk organik untuk sharing pengalamannya dan melatih pembuatannya.Saya bahagia, setidaknya ada dua orang yang sudah menggunakan pupuk organik. Tetapi saya juga sedih, karena alasan lebih praktis, dua tetangga saya ini kembali lagi ke pupuk kimia. Fakta ini mendorong saya untuk menyewa sawah (karena saya memang tidak punya sepetak pun) ukuran 300 m2. Saya mengkampanyekan manfaat pupuk organik dengan tindakan riil.  Saya menjadikan sawah itu sebagai demplot pertanian organik. Di musim tanam yang ketiga ini, sawah saya sudah sepenuhnya bebas dari pupuk kimia. Hasilnya menggembirakan. Setidaknya, ongkos produksi untuk keperluan pupuk organik jauh lebih murah dari tetangga saya yang menggunakan pupuk kimia. Jika tetangga saya, untuk sawah yang sedikit lebih luas dari sawah yang saya sewa, menghabiskan Rp. 500 – 600 ribu, saya hanya Rp. 150 ribu. Perkembangan pertanian pun tak kalah dengan sawah yang menggunakan pupuk kimia. Jadi masih tinggal menunggu hasilnya, karena musim panen masih dua bulan lagi. [caption id="attachment_134116" align="aligncenter" width="314" caption="pertanian organik itu (dok pribadi)"][/caption]
  5. Dalam keluarga, saya sangat “cerewet” sama urusan listrik. Anggota keluarga saya, istri atau pun anak, jika menghidupkan/mematikan lampu tidak tepat waktu, saya tegur. Bahkan saat ini sudah menjadi kebiasaan di keluarga saya, jika keluar dari kamar ke ruang santai atau ke ruang tamu sekali pun, lampu kamar dimatikan dulu. Jika masuk baru dihidupkan kembali.
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun