Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

Wawancara dengan Pimpinan Syiah Sampang: ”Saya Tak Mau Direlokasi”

1 Januari 2012   02:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:30 1534 4

Kemarin (31/12), sebelum tiba di Sampang, pikiran saya sudah dipenuhi kecemasan. Hawatir suasananya masih mencekam . Ternyata dugaan saya salah. Di dalam kota masyarakat masih beraktivitas seperti biasa. Di sana-sini nampak penjual terompet yang mengais rizki menyambut pergantian tahun.

Memang, di beberapa sudut tampak polisi berjaga-jaga. Tetapi tidak terlalu banyak. Maklum lokasi kejadian pembakaran rumah ustadz Tajul Muluk jauh dari kota, tepatnya di kecamatan Omben, puluhan kilo dari kota. Menurut informasi, polisi dalam jumlah banyak berjaga-jaga di daerah basis penganut syiah, karena hampir seluruh pengikut syiah meninggalkan rumah, dievakuasi ke Gedung Olah raga (GOR) di kota Sampang.

Saya berangkat dari rumah di Sumenep sekitar jam 07.00, berdua naik motor bersama sahabat saya. Tiba di Pamekasan saya mampir ke kos teman, seorang mahasiswa asal Sampang yang rencananya saya ajak ikut serta ke Sampang. Di kos teman saya lumayan lama berdiskusi tentang kasus pembakaran itu. Tetapi sayang, teman saya tidak bisa ikut, karena di ada kegiatan di kampusnya.

Tiba di Sampang saya langsung menuju Masjid. Di situ saya mencoba kontak dua wartawan local yang kontaknya saya peroleh dari teman juga. Saya juga mencoba kontak seorang teman anggota DPRD Sampang untuk mencari informasi awal tentang kasus pembakaran itu. Saya janji ketemu dengan anggota DPRD itu. Sehabis shalat, sambil menunggu teman saya cari warung makan. Di situlah kami berdiskusi hingga hampir 14.00.

Di GOR, Ketemu Ustadz Tajul

Sehabis berdiskusi dengan anggota dewan, saya berangkat ke GOR, tempat dimana pengikut syiah dievakuasi. Saya membayangkan sekali lagi, di sekitar GORmencekam. Dijaga berlapis-lapis hingga sulit untuk menemui korban.

Dugaan saya meleset lagi. Di depan GOR hanya nampak 6-8 polisi. Saya pun masuk ke ke GOR yang memiliki halaman luas itu. Saya menyerahkan kartu identitas saya kepada seorang polisi yang disebut “komandan”.Saya dipersilahkan mengisi buku tamu. Begitu mudah.

Saya melangkah masuk ke dalam ruangan. Suasana sangat rame. Perempuan-lak-lakii, tua-muda, juga anak-anaktumpah-ruah di dalam ruangan. Saya melihat seorang laki-laki, nampak diwawancarai sambil berdirioleh seorang yang katanya dari Jakarta. Tiba-tiba ada seorang laki-laki menghampiri saya dan berbisik, “itu ustadz Tajul.”

Ternyata yang ngobrol itu ustadz Tajul. Ia mengenakan sarung, pake kaos loreng-loreng berkerah, dan tanpa kopiah. Saya kaget. Gambaran saya ustadz Tajul sudah tua. Ternyata ia masih muda, sekitar 35-40 tahun.

Sambil menunggu wawancara, saya amati korban yang nampak lugu di dalam ruangan. Mereka ngobrol membentuk kelompok-kelompok kecil sesama korban. Wajah-wajah mereka tanpa senyum, seakan menyembunyikan kepedihan yang dalam. Tak ada tawa. Tak ada canda. Kebanyakan dari mereka adalah petani. Seluruh korban yang dievakuasi sekitar 360, termasuk anak-anak.

Selesai wawancara dengan tamu dari Jakarta, saya menghampiri ustadz Tajul. Dengan ramah ia menyambut saya, ketika saya mengutarakan niat melakukan wawancara. Pertama yang saya tanyakan kabar dan kondisinya. Ia jawab, baik-baik saja. Ia hanya menoleh kepada ratusan pengikutnya yang menemaninya ketika saya melakukan wawancara.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun