Istri saya kaget ketika suatu hari anak perempuan kami tiba-tiba menanyakan sesuatu yang kadang tabu dibicarakan, “perkosa itu apa sih mi?”
Tentu saja istri gelagapan menjawabnya karena tak mungkin dijelaskan secara terang-benderang. Lalu, di tengah kebingungannya ia jawab asal saja.
“Nak..perkosai tu perbuatan yang tidak baik”
Nah lu. Abstrak sekali kan? Bayangkan kalau misalnya anak kami melihat temannya membuang sampah sembarangan. Karena ia melihatnya sebagai tindakan tidak baik, ia pun, misalnya, bilang, “eh..jangan buang sampah sembarangan, kata ummi, itu perkosa,”nah gawat kan?
Tetapi terus terang, saya sendiri ketika membicarakan masalah-masalah yang terkait dengan kesehatan alat-alat reproduksi, bingung sendiri. Tidak mudah memulainya. Di samping karena factor budaya, karena masih dianggap tabu, juga pengetahuan tentang pendidikan kesehatan reproduksi masih dangkal.
Pada hal saya sadar zaman sudah berubah. Silang sengkarut informasi yang mengalir kayak air bah tak bisa dibendung. Pembendaharaan kosa kata baru gampang sekali diterima anak. Anak dengan mudah menyerapnya melalui TV atau dalam pergaulan sebaya.
Kosa kata yang anak terima kadang aneh dan mengejutkan, sehingga membuat orang tua hanya bisa geleng-geleng kepala. Bahkan kosa kata yang diterima anak itu nampak dewasa, melampaui usianya. Yang paling banyak mereka serap dari lagu yang liriknya sangat ngepop, langsung, dan easy listening seperti lagu saat ini.
Soal kosa kata perkosa, memang saya tidak menanyakan sama anak dari mana ia dengar. Mungkin saja ia dengar dari berita di TV. Bisa jadi juga dari teman-teman sekolahnya. Dan sampai sekarang jawaban atas pertanyaan itu masih menggantung. Maklum, perlu pengetahuan dan keterampilan tehnis menjelaskan hal-hal yang masih tabu dibicarakan terbuka dalam masyarakat kita. Sayangnya, pengetahuan dan keterampilan tehnis itu belum kami kuasai.
Cuma satu hal, kami selalu berusaha untuk membuka dialog. Meski ini pun tidak gampang, karena membutuhkan kesabaran luar biasa. Sayangnya, kesabaran ini gampang diucapkan, tetapi sulit dilakukan.
Kami sadar, dalam manghadapi banjir informasi dan lingkungan yang makin tidak ramah terhadap anak, tak ada alasan bagi orang tua untuk berpuas diri. Kemauan untuk terus untuk belajar menjadi orang tua yang cerdas dan bijak adalah mutlak dilakukan, di samping berdo’a kepada Yang Maha Melindungi, agar anak menjadi orang baik, jujur, dan bermanfaat bagi sesamanya.
Matorsakalangkong
Sumenep, 5 november 2011
gambar: diunduh dari google