Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Hindari 6 Hal Saat Konflik dengan Pasangan

27 Agustus 2011   00:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:26 770 2
[caption id="attachment_128039" align="aligncenter" width="597" caption="diunduh dari google"][/caption]

Konflik – atau yang lebih halus perbedaan pendapat— pasangan suami-istri dalam keluarga tak mungkin dihindari. Konflik itu akan selalu mengiringi selama dan setua apapun usia keluarga dibangun. Sifatnya imperative. Pasti melekat ketika dua orang diikat dalam sebuah keluarga.

Inilah pertama mungkin yang harus diterima oleh pasangan yang berkeluarga. Tanpa menerima fakta ini dalam kesadarannya, maka akan sulit pasangan menerima konflik sebagai sesuatu yang wajar. Kewajaran menerima akan sangat berpengaruh ketika hendak merespon masalah yang menjadi sumber konflik.

Mari kita pahami pasangan yang diikat dalam sebuah keluarga. Mereka datang dari keluarga berbeda. Latar budaya dan tradisi yang beda. Status social-ekonomi yang beda. Mungkin pendidikan yang beda. Bahkan yang paling sederhana, selera makan yang beda.

Yang berbeda ini kemudian mencoba bersatu dalam jalinan keluarga. Perbedaan itu akhirnya dinegosiasikan. Dalam proses negosiasi tentu tidak semua perbedaan melebur. Tetapi seiring waktu, pasangan sudah mulai melakukan penyesuaian-penyesuaian pandangan dan sikap dalam merespon perbedaan. Tentu untuk sampai pada tingkat “bersatu dalam perbedaan” dibutuhkan proses yang melibatkan sikap tenggang rasa, kesabaran, kedewasaan berpikir, hingga kemauan untuk selalu introspeksi diri ketimbang selalu menuntut pasangan.

Jika diletakkan dalam posisi seperti ini konflik yang pasti menghadirkan marah, kesel, sebel, saling serang, saling tuntut dan seterusnya masih dalam koridor kewajaran. Menjadi tidak wajar ketika konflik tidak bisa dikendalikan sehingga bisa mengakibatkan bangunan rumah tangga runtuh. Setidaknya saya mencatat ada 6 hal yang harus dihindari oleh pasangan ketika dilanda konflik.

  1. Jangan Mengancam cerai (ini tentu berlaku bagi suami). Ancaman cerai sangat melukai istri. Istri seperti berada dalam tekanan luar biasa, karena ia selalu berada dalam bayang-bayang perceraian/dicerai. Tekanan ini tentu akan memperngaruhi kondisi psikologis istri dan tentu akan mempengaruhi aktivitasnya baik sebagai istri maupun dalam menjalankan perannya di ruang public. Di samping itu, dari sudut pandang agama, ancaman cerai sangat nista. Karena pernikahan bukan barang mainan.
  2. Jangan melakukan kekerasan fisik. Tujuan pernikahan jelas, sakinah, mawaddah warahmah. Bagaimana mungkin tujuan itu bisa tercapai, jika ada kekerasan fisik? Karena memukul, menempeleng, menendang, dsb hanya akan membuat pasangan menderita. Yakinlah, kekerasan yang suami/istri lakukan, tak akan menjadikan pahlawan. Malah dalam batin terdalam sebenarnya tersembunyi kerapuhan akut.
  3. Jangan melakukan kekerasan psikis. Kekerasan ini biasanya terjadi dalam tindak verbal maupun simbolik yang melukai perasaan pasangan. “kamu bodoh, jalang, awas.., ds”, adalah contoh tindakan verbal yang sering digunakan pasangan yang sedang konflik.
  4. Jangan berantem di depan anak. Satu hal yang harus dipastikan oleh pasangan, pedulikan anak dengan tidak mempertontonkan konflik di hadapannya. Anak yang sering merekam peristiwa konflik orang tuanya akan sangat berpengaruh pada perkembangan psikologis anak. Hal ini tentu akan mempengaruhi mood, pikiran, parasaan, hubungan social, serta tindakannya. Belum jika anak membeber konflik itu pada orang lain, justru masalah akan tambah runyam
  5. Jangan curhat sama sembarang orang. Curhat tentang konflik rumah tangga sama sembarang orang hanya akan memperkeruh masalah. Lebih-lebih curhat sama mantan, hati-hatilah. Dalam situasi konflik, seringkali kita tidak sadar, ada orang yang akan mengambil keuntungan. Jika mau curhat carilah sahabat yang memang sangat dipercaya.
  6. Jangan cerita sama Ortu. Ini juga risikonya besar. Jika suami dan istri sama-sama mengandalkan ortunya sebagai tempat curhat, masalah dengan cepat akan makin melebar. Yang awalnya melibatkan dua orang, akhirnya bisa melibatka keluarga. Belum lagi jika ortu masing-masing pasangan juga bercerita sama saudara-saudaranya tentu akan lebih runyam
  7. Ada yang mau nambah?

Itulah kira-kira yang harus dihindari ketika pasangan konflik. Mungkin 6 hal itu bisa dijadikan indicator apakah konflik sehat atau tidak. Paling akhir, konflik terkadang melahirkan “konflik lain” yang terjadi di “ranah lain” pula he..he..  Dan itulah seni yang melahirkan kreativitas tak terbatas he..he...

Matorsakalangkong

Kampung damai, 27 agustus 2011.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun