Sore tadi ketika saya berbincang dengan seorang distributor buku, saya sungguh terperangah. Kali ini ia bercerita tentang cara-cara bisnis yang dilakukan guru, bahkan sebagian kepala sekolah/wakil kepala, di lingkungan sekolah yang seharusnya dijauhkan dari transaksi bisnis. Yang miris, bisnis di lingkungan pendidikan justru banyak terjadi di sekolah negeri.
Menurutnya, baik buku paket maupun buku Lembar Kerja Siswa (LKS) seakan menjadi bancakan para guru. Guru mengambil fee yang lumayan besar dari penjualan buku kepada para siswanya. Dalam kasus ini, cerita teman saya focus pada masalah buku LKS.
Kiat Distributor
Seorang distributor ketika menawarkan LKS ke seolah pertama yang dilobby adalah kepala sekolahnya. Jika kepala sekolah deal, urusan lancar. Karena kepala sekolah langsung memberi instruksi kepada guru untuk menjadikan LKS itu sebagai pengayaan materi ajarnya. Istilah teman saya, “jika kepala bilang merah, bawahannya pasti merah”.
Yang kedua, distributor akan melobby waka kurikulum. Ia juga besar pengaruhnya dalam mempengaruhi kepala sekolah dalam menentukan LKS mana yang akan dijadikan buku ajar. Setelah itu baru kepada guru pemegang bidang studi.
Kalau di sebuah sekolah diserahkan kepada gurunya untuk menentukan LKS, maka distributor langsung melobby guru bersangkutan. Meski hampir semua sekolah memiliki koperasi, tetapi distributor tidak langsung bertransakasi dengan pihak koperasi. Semua bisnis di bawah kendali guru.
Laba 100%
Menurut teman saya, LKS rata-rata dijual oleh distributor 3 ribu rupiah. Kepada para siswa oleh pihak sekolah dijual dengan harga 5 ribu-6 ribu. Tapi hampir semua sekolah negeri menjualnya 6 ribu. hanya satu sekolah negeri yang menjual 5 ribu. jika dijual 6 ribu berarti pihak sekolah memperoleh laba 100%, atau 3 ribu/eks. Bayangkan jika jumlah siswanya seribu. Berarti 3 ribu x seribu siswa = 3 juta. Itu baru satu LKS. Nah..Kalau semua pelajaran menggunakan LKS, ya tinggal dihitung saja.
Mungkin kalau laba penjualan kepada siswa itu untuk keperluan pengembangan sekolah masih mending. Lalu kemana aliran laba penjualan itu mengalir? Menurut teman saya, itu dibagi-bagi. Biasanya 5% untuk kepala, 5% untuk guru bidang studi, dan 5% untuk koperasi sekolah. Sisanya, dibagi rata untuk semua guru.
Sekedar pembanding. Di Madrasah saya, transaksi buku/LKS dilakukan langsung antara koperasi dengan distributor. Waka kurikulum hanya memberi rekomendai LKS mana yang harus dibeli oleh koperasi. Kalau buku paket, madrasah kami menggunakan buku BSE yang harganya sangat murah, kemudian dipinjamkan sama siswa secara gratis oleh perpustakaan.
Soal LKS, di koperasi madrasah kami dijual dengan harga sangat terjangkau. Jika dari distributor harganya 3 ribu rupiah, koperasi menjualnya 3.500 rupiah. Koperasi hanya mengambil keuntungan 500 ratus rupiah/eksnya. Sepenuhnya laba digunakan untuk pengembangan koperasai madrasah.
Saya hanya prihatin, begitu teganya guru bisnis di lingkungan pendidikan. Pada hal hampir semua sekolah sudah memiliki koperasi. Apalagi dari cerita teman saya, pihak guru mengambil laba terlalu tinggi. Pada hal, mungkin, banyak siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu.
Yang makin saya tidak paham, bukankah guru negeri/PNS sudah memiliki gaji yang cukup? Apalagi sebagian besar sudah memperoleh tunjungan sertifikasi? Kenapa masih tega bisnis di sekolah? saya jadi inget petuah orang tua di kampung bahwa, “dunnya reya cong… tada’ tabunna” (harta itu nak tidak ada tepinya). Makanya banyak orang masih merasa kurang, meski sebenarnya telah sangat cukup.
Matorsakalangkong
Sumenep, 22 oktober 2011