Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi

Membaca Kompasiana Edisi Tengah Malam

9 Januari 2011   14:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:47 444 1

Nah.. malam menyediakan diri bagi kita untuk beristirahat. Untuk tidur. Asal tahu saja, pengalaman saya tidur malam lebih menyegarkan ketimbang tidur di siang hari. 4 jam tidur malam hari tak bisa dibandingkan dengan 4 jam tidur di siang hari. Tidak bisa memejamkan mata di malam hari juga lebih tersiksa ketimbang di siang hari. Jadi memaknai malam dalam pengertian ragawi itu tidak terlalu sulit. Cukup manfaatkan malam untuk tidur. Besok dijamin fisik kita segar.

Justru bagi saya yang paling sulit adalah memaknai malam dan keharusan istirahat dalam makna subtantifnya. Dalam pemaknaan ini, malam di samping untuk istirahat secara ragawi, juga menjadi lokus bagi batin dan kesadaran untuk berefleksi. Merenungi segala hal yang sudah kita lakukan di sing hari. Dan meretas jalan untuk kegiatan esok harinya. Ya..kira-kira dalam makna ini, malam adalah waktu yang tepat bagi kita untuk recharge. Men-caskembali batin, nurani, kesadaran setelah seharian tertutup oleh rutinitas hidup yang membosankan. Harapannya esok hari raga dan jiwa kita lebih segar. Gagasan baru muncul. Mendorong kita lebih kreatif, syukur kalau esok hari kita tambah bijak dan lebih bermanfaat bagi sesama.

Lain lagi malam –lebih tepat tengah malam— bagi hamba yang mencintai-Nya. Malam adalah keindahan yang ditunggu-tunggu dan saat yang tepat untuk menenggelamkan diri dalam kerinduan kepada kekasih-Nya. Mencoba melampaui jasadnya, kesehariannya, dunianya, kekuasaannya, karena semua itu tak sebanding dengan kerinduan pada kekasih-Nya. Itulah yang saya dengar lakon para sufi. Seorang hamba yang tidak membiarkan sedetik saja untuk tidak mengingat-Nya.

Lambat laun malam mengalami perluasan makna. Makna yang tidak lagi sama dengan zaman dulu. Kapitalisme telah mengubahnya menjadi rame. Penuh hiruk pikuk dan tidak sunyi lagi. Malam yang oleh orang dulu dianggap menakutkan karena banyak makhlus halus bergentanyan, di tangan kapitalisme malam telah dipoles menjadi menghibur. Malah menggairahkan. Malam yang dulu menjadi jedah untuk istirahat dan tidur, sekarang tak ada ubahnya dengan siang. Dengan mudah kita bisa menyaksikan, orang banyak yang tidak tidur karena kebetulan aktivitasnya memang di waktu malam. Sepertinya saat ini, batas siang-malam sebagai waktu beraktivitas atau istirahat sudah kabur dan meluber.

Lalu, bagaimana kompasiana di malam hari? Tak beda. Kompasiana tidak sunyi. Malah semakin malam, semakin rame. Atau lebih tepat semakin menggairahkan. Kompasiana edisi tengah malam benar-benar menjadi lokusmelepas hasrat libidonal yang menyelubungi alam bawah sadar siapapun saja. Di edisi malam, batas-batas apakah kompasiana sebagai ruang publik atau ruang privat meleleh. Kabur. Melebur.

Membaca komentar kompasianer juga lucu-lucu. Terus terang, polos, dan juga apa adanya. Saya membayangkan, para kompasainer yang berkomentar itu seperti ngobrol di ruang tertentu. Spontan. Penuh tawa. Rame. Bahkan ada yang terlalu bergairah (kata bang Rhoma, Ter...la...lu...). Soal yang banyak diobrolkan memang masalah (gambar) kodok. Meski kodok di sini tentu berfungsi sebagai simbol saja.

Sebenarnya di kompasiana edisi tengah malam sebelumnya, banyak yang mempublish tulisan sejenis. Dan bisa diduga, tulisan jenis ini selalu memperoleh rating tinggi. Suatu bukti bahwa masalah sex saat ini adalah masalah keseharian kita. Sama dengan masalah harga cabe yang mahal, misalnya.

Sungguh membaca kompasiana edisi tengah malam mengingatkan saya sama gedung bioskop yang memutar film midnight show. Suasana batin ketika membacanya campur aduk. Tak salah kiranya jika saya mengatakan, kompasiana di tengah malam memetamorfose menjadi gadis yang erotis. Ah...saya tak hendak menilai, justru saya ingin tanya, bagaimana Anda menilainya? Monggo...

Matorsakalangkong

Sumenep, 9 januari 2011

Posting sebelumnya : kompasiana pun kehilangan kesederhanaannya

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun