Ini cerita kawan saya sesama orang Madura. Kejadiannya sudah lama. Kira-kira tahun 1997 ketika saya masih kuliah di IAIN (sekarang UIN) Jakarta. Bersama kawan-kawan lintas suku, saya mengontrak rumah secara patungan, sekalian jadi tempat kajian dan diskusi.
Saat itu, seorang kawan dari jawa menyuruh kawan saya dari Madura, yang baru beberapa bulan hijrah ke Jakarta untuk kepentingan kuliah. Kebetulan sore itu kami lagi santai nongkrong di beranda rumah.
“bisa ambilkan bendera NU gak di kamar saya”, kata si jawa sama teman saya.
Teman saya yang masih yunior (maksudnya baru kuliah) mau saja disuruh seniornya (maksudnya kuliahnya gak kelar-kelar). Dengan malas ia beranjak masuk ke kamar si jawa. Dari dalam kamar si madura teriak, “bendera NU yang biru ini ya?”
Sontak saja kawan-kawan yang lagi nongkrong di beranda rumah tak kuat menahan tawa.
“Orang Madura buta warna”, teriak kawan saya yang lain. Saya sambil ketawa kasihan juga melihat kawan baru yang masih polos itu jadi bahan tertawaan lintas suku. Mungkin dia juga gak ngerti, “salah apa saya. Bukankah bendera NU memang biru?”
Saya bilang sama dia, “di Madura memang warnanya biru, tapi kalau di sini warnanya berubah jadi hijau”.
Memang dalam bahasa Madura tidak ada kosa kata “hijau”. Misalnya, warna daun di Madura juga disebut “biru”. Terus, warna biru di Madura disebut “bungu” (ungu). Jadi warna langit sama orang Madura ya “bungu”. Jadi, tak salah jika dibilang orang Madura buta warna.