Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi Artikel Utama

Facebook Tetangga, Kompasiana Rumah

13 November 2010   03:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:39 374 1

Tentu saya telah banyak memperoleh manfaat darinya. Saya bisa bersilaturrahim dengan banyak teman yang tidak saya kenal. Bahkan beberapa dari belahan dunia lain. Yang paling saya syukuri saya bisa bertemu dengan teman lama ketika kuliah dulu. Sesuatu yang sebelumnya di luar dugaan, mengingat saya bukan tipe orang yang rapi menulis alamat teman di buku harian.

Tapi yang lucu, saya juga berteman dengan tetangga saya. Di dunia nyata, ia tidak akrab. Tetapi di dunia maya justru (sok) dekat. Di pertemuan-pertemuan resmi ia bukan penanggap setia, di dunia maya justru semangat menanggapinya tak terkira.

Lama-lama saya merasakan lelah. Facebook kurang menantang. Saya yang punya hobi menulis, kurang memperoleh kepuasan dari facebook. Betul ada fasilitas berbagi tulisan. Tapi tetap saja dorongan menulis kurang menggelora.

Beruntung saya kenal kompasiana. Meski sejak lama saya tahu kompasiana,tapi saya baru bergabung bulan oktober tahun ini. Sungguh saya rasakan jauh beda antara facebook dan kompasiana. Baru saja bergabung, kompasiana sudah menebar tantangan. Saya harus menguras energi untuk berebut tempat dengan puluhan ribu penulis.

Sebagai penghuni baru, tentu saja awalnya saya mengalami keterasingan. Kompasiana hadir dengan seribu wajah. Kadang sejuk tapi sangar. Sepi tapi rame. Ramah tapi sadis. Kawan sekaligus lawan. Serius tapi lucu. Berat tapi ringan.

Tulisan tiap detik berdatangan. Saling mengintai. Berebut pengaruh di hadapan scoring machine. Mulai sejak tertinggi, terbanyak, dan terpopuler. Belum lagi simbol yang menandakan berapa skor pembaca, pemberi komentar, atau simbol yang menandakan tulisan saya “inspiratif” atau tidak. Sungguh tak mudah saya menaklukkannya.

Wajar jika kompasianer menginginkan tulisannya menjadi headline. Dibaca oleh ribuan dan dikomentari oleh ratusan orang. Tetapi kalau kelewat terobsesi, akan mencari siasat yang tidak fair. Misalnya, judul yang menggoda. Meski ketika dibaca, tulisan tak sepenuhnya nyambung dengan judul. Atau bisa juga copas.

Jadi saya belajar menulis tanpa peduli sama scoring machine. Scoring machine akan menjadi beban jika saya meniatkan menulis hanya sekedar ingin menjadi selebriti. Ketika menulis saya berusaha mengingat petuah guru waktu masih MI, “nak...membuang duri kecil saja di jalan itu adalah ibadah”. Petuah itu yang mendorong saya menulis dengan hati. Tak peduli dibaca satu orang. Jika itu memberi manfaat bagi yang baca, saya sudah memperoleh pahala.

Kompasiana bagi saya bukan sekedar tempat belajar menulis. Lebih dari itu kompasiana bagi saya tempat belajar untuk ikhlas, rendah hati, saling berbagi. Pendeknya, kompasiana boleh disebut "universitas berbasis karakter". Sebuah universitas yang menjadi media untuk menghaluskan budi, membangun karakter, dan mencerdaskan emosi. Saya banyak menemukan orang-orang hebat di sini, yang tulisannya memunculkan inspirasi. Bukan sekedar inspirasi untuk menulis, tetapi  inspirasi untuk bertindak demi kepentingan sesama dan kemanusiaan

Dengan ikhlas saya menetapkan kompasiana sebagai rumah saya. Saya sudah at home. Jika sebelum mengenal kompasiana, setiap kali buka internet facebook yang pertama kali saya buka, sekarang tidak lagi. Kompasiana –sebagai rumah saya—yang pertama saya buka. Facebook hanyalah tetangga. Sebagai tetangga, hanya sewaktu-waktu facebook saya kunjungi. Masa ke tetangga setiap hari minum kopi?

sumber foto : kompasiana

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun