Lihatlah kedua bola mataku ini, tidak cerah lagi, ada garis-garis merah menyerupai akar menyayat bola mataku ini, dan lihatlah sekarang ! mataku berkaca-kaca, air mataku sudah tidak dapat turun lagi, habis terkikis oleh kejamnya kelakuan tikus-tikus di negeri ini.
Sekarang, ARGGHHHH .. !! (sambil menutup telinga) “Kuping ku sakit, sakit, sakit sekali ! suara riang gembira tikus-tikus tadi memekakan telingaku ini !”
Mendekatlah kemari, dengarkanlah suaraku, parau sekali bukan ? “lelah aku berkoar-koar untuk mengusik tikus-tikus di negeri ini, mereka terlampau besar dan banyak, sedangkan aku hanya manusia kecil, dimata tikus-tikus tadi aku hanyalah liliput kecil. Tak heran kalau suaraku ini tidak masuk sampai ke gendang telinga mereka.”
Tikus permasalahan utama di Negeri ini, tikus-tikus di negara ini sudah terlalu banyak menggerogoti sendi-sendi vital di Negeri ini, virus mereka bagaikan racun zombie, menyebar dengan luas hanya dengan sekali gigitan, lain dengan zombie yang menggunakan gigitan mereka sebagai sarana penyebaran virus. Para tikus di negara ini menggunakan “Uang.”
Siapa yang tidak kenal Uang ? seorang teman pernah berujar “uang itu perlu, tetapi bukanlah segalanya.” Sangat setuju dengannya, dan memang benar. Seandainya semua orang berpikir seperti ini, maka tentramlah negara ini. Yang segalanya adalah kehidupan akur bersama dan saling bertenggang rasa.
Persoalannya adalah, ketika ucapan tadi berubah menjadi “Oke .. Uang bukanlah segalanya .. tetapi, bukankah segalanya membutuh uang .. ?”
Semua orang akan terjebak dalam sebuah dilema yang besar, ketika pilihannya dihadapkan kepada “berkata jujur,” sedangkan keluarga akan menderita dirumah, ataukah memilih “menutup mulut,” lalu bersama keluarga bisa plesiran ke Bali mungkin, atau ke luar negeri, misalnya ke makau, atau bahkan kalian bisa mendapatkan hadiah paspor khusus agar dapat berdomisili di luar negeri, ke Guyana misalkan.
Inilah doktrin yang diterapkan oleh para tikus dalam menyebarkan virusnya, banyak orang dengan mudah terpengaruh dan parahnya lagi. Ikut menjelma menjadi tikus.
Tikus di Indonesia selain suka tinggal di gorong-gorong yang gelap dan lembab, mereka juga suka menyelinap masuk di kepolisian, kejaksaan, mahkamah agung. Tidak hanya menyelinap, mereka juga turut menyebarkan virusnya.
Tidak heran dapat kita temui tikus-tikus “gendut” yang berpakaian setelan necis cokelat muda dan cokelat tua. Tidak luput pula lencana yang menghiasi pakaian mereka.
Adapula tikus-tikus berjubah hitam berdasi kain putih dan memegang palu keadilan.
Lebih banyak lagi, tikus-tikus yang merambah di dunia perbisnisan, sebagai pengusaha-pengusaha kaya. Yang selalu ingin langgeng usahanya memperoleh keuntungan yang banyak, namun dengan pajak yang seminimal mungkin, atau mungkin tidak usah sekalian.
Tikus-tikus di Indonesia sudah tidak lagi tersentralisir di pusat pemerintahan negara ini, melainkan juga sudah terdesentralisir menjalar ke daerah-daerah. Buktinya, contoh kecil saja seorang tikus di Sulawesi utara, tepatnya di Tomohon. Sudah jelas tikus itu mengkorupsi sampai 19,8 miliar, tetapi tepat saja dilantik sebagai wali kota.
Tak jarang Tikus-tikus dapat tertangkap sementara waktu. Lalu dengan sedikit kongkalikong, atau dengan sedikit pelumas, dapat kembali bebas berkeliaran lagi.
Lihatlah seorang tikus yang sekarang mendapatkan remisi mungkin karena sudah berjasa saat di tahanan, sebagai guru les bahasa inggris. Hebatnya lagi, sel tahanan- nya terbilang mewah, berbintang lima. Terdapat penyejuk udara, televisi, boks bayi, dan kamar mandi dengan toilet duduk.
Lihat juga seorang tikus mantan bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan timur, yang pada 2007 lalu terbukti terlibat korupsi sebesar 34 miliar. Sudah begitu diberikan grasi pengurangan pidana oleh sang RI-I hanya karena alesan sang tikus terkapar di rumah sakit.
Bandingkan dengan “keadilan” yang diterima oleh
Supriyadi bin Nurajid warga Pasuruan, Jawa timur dihukum 1 tahun 20 hari penjara. Dia didakwa mengambil singkong milik tetangganya senilai tak lebih dari “SERIBU RUPIAH”
Lalu, Rasminah binti Rawan, oleh pengadilan negeri Tangerang Banten, dituntut hukuman 5 bulan penjara karena mencuri enam piring dan 1,5 kg “BUNTUT SAPI”
Perbandingan yang sangat tragis bukan ?
Sangatlah sulit untuk membasmi generasi tikus-tikus di Indonenesia, karena keadilan di negara ini justru berpihak kepada tikus-tikus. Aneh sekali, tidak ada racun yang benar-benar mematikan untuk para tikus di negeri ini. Tikus-tikus di Indonesia terlampau besar dan sangat banyak.
Dewan Perwakilan Rakyat sibuk dengan urusan plesiran dan sibuk dengan urusan bergotong-royong membangun gedung baru senilai 180 miliyar, sementara pak beye malah mengeluh akan gajinya yang tidak naik-naik selama 7 tahun. Sungguh #Ironi. Harus kemana lagi kita mengadu, harus kemana lagi kita mengeluh, harus kemana lagi kita menuntut keadilan?
Kalau begini caranya, tikus-tikus di Indonesia akan tetap berkeliaran terus. Coba kita tengok di negara-negara tetangga.
Tikus-tikus di China populasinya tidak banyak, mungkin sekarang tidak ada lagi, bahkan yang ingin menjelma menjadi tikus pun, akan berpikir ribuan kali. Pasalnya, jika kedapatan tikus berkeliaran, maka langsung ditangkap dan di”HUKUM MATI.”
Sementara, Latvia kurang lebih sama seperti di Hongkong. Kedua negara ini membuat gebrakan dengan memotong generasi pada aparat birokrasi dan penegak hukum untuk memutus mata rantai Tikus-tikus.
Ada baiknya apabila kita bercermin ke negara-negera tadi, sampai kapan kita harus bertahan dalam situasi kondisi seperti ini ? kapan racun tikus paling mutahir ditemukan untuk membasmi tikus-tikus di negara ini ?
Sadarlah Korupsi itu bukan hanya sekedar merampok harta orang, tetapi juga merampok hak orang untuk menikmati keadilan. Tidak salah kalau dikatakan Themis sang dewi keadilan telah diperkosa, parahnya lagi diperkosa oleh tikus-tikus di negara ini.
Sedih melihat masyrakat Indonesia banyak cenderung apatis, rasa kecintaan yang dulu dibangun atas dasar “keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia,” kini tidak lagi membanggakan ketika mereka menyuarakannya. Lebih baik diam dan menertawakan jantung keadilan mereka terhunus oleh pedang keadilan. Daripada terus-menerus menuntut keadilan kepada negara ini. mereka banal melihat tikus-tikus tertawa di depan mereka. Rasa kecintaan akan negera ini tergerus drastis, hanya sedikit mungkin yang masih peka, yang menginginkan adanya perubahan di negera ini.
Kita sudah terlalu lama terperangkap dalam labirin korupsi nyaris tanpa petunjuk jalan keluar yang cukup berarti. Korupsi bahkan beranjak menjadi semacam monster tikus besar yang membunuh peradaban. dan selamanya membuat kesejahteraan berhenti menjadi sekedar teks yang tak lagi memiliki arti. Mari kita bunuh tikus-tikus yang sudah memperkosa dewi keadilan.